Kamis, 27 Agustus 2009

Korupsi Sudah Membudaya

Apakah korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini? Sehingga peringatan Hari Anti-Korupsi Se-Dunia diadakan di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Sabtu (9/12). Apakah ini menjadi bentuk satir terhadap Indonesia?
Ada dua kemungkinan pokok yang dapat dimungkinkan, selebihnya terserah Anda bagaimana mempersepsikannya. Pertama, di negeri ini korupsi memang sudah membudaya. Sehingga untuk meng-antikorupsi-kannya juga harus dengan pendekatan kebudayaan. Kedua, persoalan intern panitia karena sudah menjadi keputusan bahwa kegiatan dilaksanakan di tempat tersebut. Ini mungkin karena di kantor-kantor pemerintahan merasa enggan untuk menjadi tempat kegiatan semacam itu. Persoalan tempat bisa saja dianggap sebagai semacam satir.
Definisi korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Gejalanya dimana para pejabat badan-badan Negara menyalah gunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidak beresan lainnya. Korupsi juga dapat berarti penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan. Korupsi memerlukan dua pihak, yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Dari sudut pandang hukum, perbuatan korupsi mencakup unsur-unsur: melanggar hukum yang berlaku, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara, memperkaya pribadi/diri sendiri. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas/kejahatan.
Berbicara korupsi dalam ranah budaya, maraknya korupsi di negeri ini sebagai identifikasi bahwa korupsi sudah membudaya. Ada pertanyaan yang menggelitik dalam ruang pikir kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Disampaikan dengan pekik atau lemah; korupsi atau mati? Dengan tegas atau lembut; berantas korupsi atau budayakan korupsi? Dengan bahagia atau bertetes-tetes air mata; biarlah-sudahlah korupsi—toh semua “sama-sama” korupsi?
Ironis, tragis, miris, mistis; sudah cukupkah menggambarkan atau hanya sekedar mendiskripsikan? Entah dan terserah. Toh adanya apa adanya, seperti itu jua. Tidaklah pernah melegakan nafas kita.
Mengenai Peringatan Hari Anti-Korupsi Se-Dunia 9 Desember yang digelar oleh Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Jateng, Sabtu (9/12), diisi dengan pergelaran wayang dongeng yang dimainkan oleh seniman Trontong Sadewo dan orasi budaya oleh KH Mustofa Bisri.
Ki Trontong menampilkan lakon yang berjudul Asu Malang Kadal. Dalam dongengan yang dibalut dengan guyonan segar dan sentilan-sentilan berbau satir, diceritakan di suatu negeri binatang yang bernama Broto Sejati bertakhta seorang raja gagah dan bijaksana bernama Sinuwun Macan Gembong. Tegas, jujur, dan berani adalah sifat utama sang raja di samping bijaksana. Sinuwun Macan Gembong sangat antikorupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, karena memiliki sifat yang semacam itu, Sinuwun dibenci para pejabat bawahannya, terutama Patih Asu, dan penasihat kerajaan bernama Menthok. Dua pejabat kerajaan itu dikenal serakah dan suka korupsi.
Asu sejati di kerajaan Broto Sejati memiliki sifat yang serakah, bermuka dua, dan menghalalkan segala cara untuk menggulingkan pemerintahan yang syah. Melalui aksi profokasi, fitnah keji, tipu-tipu dan kekerasan, berhasillah Sinuwun digulungkan dari tahktanya. Untuk menyelamatkan diri, Sinuwun melarikan diri ke hutan belantara. Kesengsaraan hidup pun dijalaninya.
Begitulah sepenggal kisah yang dibawakan oleh Ki Trontong dengan apik. Dalam lakon itu, Trontong ingin menggambarkan, jadi orang jujur dan bijaksanan di zaman korupsi sekarang ini sangat sulit. Bahkan, seorang raja dengan segala kekuasaannya pun tak mampu bertahan kala dia tetap bertahan pada kejujuran dan sikap bijaksananya.
Sementara itu, KH Mustofa Bisri dalam orasi budayanya, mengungkapkan bahwa pangkal dari segala tindak korupsi adalah karena ketidakberdayaan dalam menangkis kecintaan terhadap dunia secara berlebihan.
“Biasanya orang yang bicara korupsi itu memfokuskan pada koruptor dan perilaku-perilakunya. Jarang sekali yang berbicara mengenai sumber dari kejahatan yang namanya korupsi. Di kalangan kepolisian, saya dengar dari polisi, ada rumus yang terkenal di sana, yang disebut N K. N itu niat, K itu kesempatan. Kata polisi, terjadinya kriminal, korupsi dan sebgala macam ini karena kumpulnya N dan K, niat dan kesempatan. Meskipun orang berniat korupsi tapi tidak punya kesempatan, tidak terjadi tindak korupsi. Meskipun ada kesempatan tapi tidak ada niat korupsi, tidak akan terjadi.
Sekarang dalam hal korupsi, masalahnya kesempatan begitu luas. Bahkan segala cara orang untuk memperluas kesempatan itu. Mulai dari aturan sampai segala macam. Sehingga sementara niat ini yang ngopeni jarang sekali, yang membyuka kesempatan banyak sekali. Sehingga dimana-mana ada kesempatan korupsi, niat tidak pernah diopeni, ya ikut-ikutan milih yang enaknya tadi. Karena yang lain-lainnya banyak yang niat korupsi, pengin tidak korupsi sendiri kayaknya kok ora pathi pantes (tidak begitu pantas).
Menyintai dunia yang berlebih-lebihan atau menyintai materi yang berlebih-lebihan, itulah pokk daripada kesalahan, sumber daripada kesalahan.,” terang kiai yang sering disapa akrab dengan Gus Mus.
Korupsi menjadi ironi; jika tidak korupsi, yang lain mengenyangkan diri dengan cara korupsi. Korupsi menjadi teka-teki; bagaimana mencari solusi pencegahannya? Banyak cerita tentang korupsi, tapi tak pernah berhasil membasmi korupsi. Gara-gara keengganan atau karena memang sudah tradisi? Semua menjadi pertanyaan dan tak pernah ada jawabnya. Korupsi adalah tanda tanya. Siapa yang berani bertanya, itu menjadi jawabannya. Tanyakan pada diri sendiri, kapan terakhir kali tidak korupsi? (Eko Pujiono)

Mahasiswa Harus Bersikap

Pemilu 2009 putaran pertama untuk memilih wakil rakyat telah dilaksanakan. Mereka yang terpilih bakal duduk di kursi DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi, dan DPR di tingkat pusat, serta menjadi anggota DPD. Meski dapat dibilang lancar, namun pesta demokrasi itu masih meninggalkan PR bagi kita. Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT), kecurangan saat penghitungan suara, dan berbagai jenis pelanggaran turut mewarnai pelaksanaan pesta itu.

Jumlah Partai Politik (Parpol) yang lumayan banyak turut menambah dilematika Pemilu. Para pemilih merasa bingung dengan banyaknya partai dan nama-nama caleg yang terpampang di kertas suara yang luasnya melebihi lembaran kertas koran. Apalagi cara memberikan suara berbeda. Pada Pemilu sebelumnya kertas suara dicoblos, sekarang harus dicontreng menggunakan ballpoint warna biru.

Saat penghitungan suara baru sebagain, media memberitakan tentang banyaknya caleg yang stress berat, gila, bahkan ada beberapa yang bunuh diri. Ternyata para calon wakil rakyat kita banyak yang tidak siap menerima kekalahan. Hal ini menandakan bahwa ego politik kita masih terlalu tinggi.

Karenanya, nafsu ingin menang telah menyeret sebagian politisi kita menggunakan berbagai macam cara demi satu tujuan: menang. Mereka bahkan berani membagi-bagikan uang supaya rakyat mau memilihnya. Hal itu juga dibuktikan dengan tingginya angka pelanggaran Pemilu. Kesimpulannya, para politisi kita hanya ingin menang dan tidak mau kalah.

Sehingga tak heran jika rakyat apatis dalam Pemilu. Mereka enggan menggunakan hak suaranya. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka golput.

Kini, giliran pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung segera digelar. Berepa nama calon mengemuka. Mereka adalah para tokoh elite politik kita. Belajar dari pemilihan anggota legislatif yang telah lalu, kita dihadapkan beberapa persoalan yang tidak jauh berbeda pada saat Pemilu putaran pertama lalu.

Persoalan DPT masih menjadi tanda tanya. Politik uang, golput, kecurangan-kecurangan pun membayangi. Muncul pertanyaan, bagaimanakah figur pemimpin bangsa harapan rakyat yang dapat membawa Indonesia menuju ke arah lebih baik? Lalu, bagaimanakah seharusnya mahasiswa bersikap?

PEMBINAAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH

Oleh Eko Pujiono (NPM 07410728)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
IKIP PGRI Semarang

I. LATAR BELAKANG
Seperti sudah banyak diungkap oleh para pemerhati dan pengamat bahasa Indonesia bahwa rendahnya mutu penggunaan bahasa Indonesia tak hanya berlangsung di kalangan siswa, tetapi juga telah jauh meluas di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan, para pejabat yang secara sosial seharusnya menjadi anutan pun tak jarang masih ”belepotan” dalam menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Penggunaan bahasa Indonesia bermutu rendah, lantaran belum jelasnya strategi dan basis pembinaan. Pemerintah cenderung kurang peduli dan menyerahkan sepenuhnya kepada Pusat Bahasa. Sebagai tangan panjang pemerintah, Pusat Bahasa memiliki tugas menyusun strategi dan kebijakan dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Namun, ada beberapa pihak yang menilai bahwa strategi dan kebijakan Pusat Bahasa masih cenderung elitis. Artinya, kebijakan yang dilakukan Pusat Bahasa hanya menyentuh lini dan kalangan tertentu, seperti Jurusan Pendidikan Bahasa atau Fakultas Sastra di Perguruan Tinggi. Sementara, Pendidikan Dasar dan Menengah yang seharusnya menjadi basis pembinaan justru luput dari perhatian.
Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah diserahkan sepenuhnya kepada para guru bahasa. Guru-guru mata pelajaran lainnya, seolah tidak memiliki tanggungjawab terhadap pembinaan bahasa Indonesia. Padahal, pembinaan bahasa bukan hanya menjadi tanggungjawab guru bahasa. Banyak pihak yang terlibat.
Mengingat kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, maka pembinaan bahasa Indonesia merupakan sesuatu yang penting, terlebih di sekolah.
Dari uraian di atas, permasalah yang diangkat dalam makalah ini adalah: (1). bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia? (2) bagaimana pentingnya pembinaan bahasa Indonesia? (3) bagaimana pembinaan bahasa Indonesia di sekolah?

II. PEMBAHASAN
A. Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia disahkanlah konsep yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta, menjadi Undang-Undang Dasar yang kemudian dikenal sebagai UUD 1945. Di dalam UUD 1945 tercantum dalam pasal 36, kedudukan bahasa Indonesia ditetapkan: bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
Kedudukan itu tetap tak tergoyahkan dalam ketiga Undang-Undang Dasar yang pernah dimiliki negara Indonesia, yaitu UUD 1945, UUD RIS, dan UUDS 1950.
Walaupun tidak ada penjelasan akan arti “bahasa negara” namun kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara adalah langkah lanjutan dari pengakuan sebagai bahasa persatuan yang tertera dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Sumpah pemuda merupakan pernyataan kebulatan tekad yang dijalin oleh tiga unsur yang saling berkaitan. Unsur pertama dan kedua merupakan pengakuan terhadap tanah air Indonesia yang satu, yang didukung oleh satu kesatuan bangsa Indonesia. Unsur yang ketiga merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
1.Lambang kebanggaan nasional,
2.Lambang jati diri (identitas) nasional,
3.Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakng sosial budaya dan bahasanya dan,
4.Alat perhubungan antar budaya antar daerah.

B. Pembinaan Bahasa Indonesia
Mengingat kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia yang sangat penting, seperti tersebut di atas, maka perlu dilakukan pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kelestarian bahasa Indonesia.
Di Indonesia, pengembangan dan pembinaan bahasa dilakukan oleh Pusat Bahasa. Pusat Bahasa memiliki tugas menyusun strategi dan kebijakan dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
Untuk kepentingan praktis, telah diambil sikap bahwa: (1) pembinaan terutama difokuskan kepada penuturnya, yaitu masyarakat pemakai bahasa Indonesia, dan (2) pengembangan terutama difokuskan kepada bahasa dalam segala aspeknya. Pembinaan dan pengembangan bahasa mencakup dua arah, yaitu (1) pengembangan bahasa mencakup dua masalah pokok (masalah bahasa dan masalah kemampuan/sikap) dan (2) pembinaan yang mencakup dua arah (masyarakat luas dan generasi muda). Pengembangan aspek bahasa meliputi ragam bahasa lisan dan bahasa tulis.
Dalam hal pengembangan kemampuan dan sikap, telah ditempatkan dasar yang kuat, yaitu dicantumkannya di dalam GBHN bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa dilakukan dengan mewajibkan peningkatan mutu pengguna bahasa Indonesia sehingga penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Di samping itu, telah dan terus dilakukan pengembangan kemampuan dan sikap positif pemakai bahasa Indonesia dengan media televisi dan radio. Ada pula upaya penyuluhan kebahasaan secara langsung bagi para pelaku ekonomi dan pembangunan, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, di berbagai propinsi. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh keseragaman kaidah dan penerapannya dalam berbagai laras bahasa (jenis penggunaan bahasa) sehingga tujuan pengembangan bahasa-salah satu tujuan itu adalah pembakuan bahasa dapat dicapai.
Ada dua hal yang harus dilakukan dalam pengembangan dan pembinaan bahasa, antara lain kebijakan bahasa dan perencanaan bahasa. Ini bertujuan agar masalah pemilihan atau penentuan bahasa tertentu sebagai alat komunikasi di dalam negara itu tidak menimbulkan gejolak politik yang pada gilirannya akan dapat menggoyahkan kehidupan bangsa di negara tersebut.
1.Kebijakan bahasa
Dalam seminar politik bahasa nasional yang diadakan di Jakarta tahun 1975, kebijakan bahasa diartikan sebagai pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberi perencanaan, pengarahan dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengelolaan keseluruhan kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional.
Tujuan kebijakan bahasa adalah dapat berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan komunikasi intra bangsa dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak sosial dan gejolak sosial yang dapat mengganggu stabilitas bangsa.
Oleh karena itu, kebijakan bahasa yang telah diambil Indonesia dari perkataan di atas bisa dilihat bahwa kebijaksanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunukasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Selain itu, kebijakan bahasa harus pula memberi pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa itu yang biasa disebut sebagai korpus bahasa.
2.Perencanaan bahasa
Istilah perencanaan bahasa (language planning) mula-mula digunakan oleh Haugen (1959). Ia menyatakan bahwa perencanaan bahasa adalah usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang di inginkan oleh para perencana. Menurut Hougen selanjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah.
Di Indonesia kegiatan yang serupa dengan language planning ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu diperkenalkan oleh Hougen (Moeliono 1983), yakni sejak zaman pendudukan Jepang ketika ada Komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjahbana menerbitkan majalah Pembina Bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau mau dilihat lebih jauh, language planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van op huijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia).
Lalu, siapa yang harus melakukan perencanaan bahasa itu? Siapapun sebenarnya bisa menjadi pelaku perencanaan itu dalam arti perseorangan atau lembaga pemerintah atau lembaga swasta. Dalam sejarahnya, tampaknya, yang menjadi pelaku perencanaan itu adalah lembaga kebahasaan, baik dalam instansi maupun bukan.
Suatu perencanaan bahasa tentunya harus diikuti dengan langkah-langkah pelaksanaan apa yang direncanakan. Pelaksanaan yang berkenaan dengan korpus bahasa adalah penyusunan sistim ejaan yang ideal (baku) yang dapat digunakan oleh penutur dengan benar, sebap adanya sistem ejaan yang di sepakati akan memudahkan dan melancarkan jalannya komunikasi.
Pelaksanaan perencanaan bahasa ini kemungkinan besar akan mengalami hambatan yang mungkin akibat dari perencanaannya yang kurang tepat; bisa juga dari para pemegang tampuk kebijakan, dari kelompok sosial tertentu, dari sikap bahasa para penutur, maupun dari dana dan ketenagaan. Perencanaan yang kurang tepat bisa bersumber dari pengambilan kebijaksanaan yang tidak tepat atau keliru, karena salah mengistemasi masalah kebahasaan yang harus diteliti.
Hambatan dari pemegang tampuk kebijakan bisa terjadi karena mereka yang memegang tampuk kebijakan diluar bidang bahasa. Di Indonesia, misalnya tidak jarang, ada orang yang cukup berpengaruh bukannya tidak memberi contoh penggunaan bahasa yang baik, malah juga melakukan tindakan yang tidak menunjang pembinaan bahasa. Antara lain dengan mengatakan “soal bahasa adalah urusan guru bahasa”.

C. Pembinaan bahasa Indonesia di sekolah
Sebagai institusi pendidikan, sekolah dinilai merupakan ruang yang tepat untuk melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan linguistik (bahasa). Di sanalah jutaan anak bangsa memburu ilmu. Bahasa Indonesia jelas akan menjadi sebuah kebanggaan dan kecintaan apabila anak-anak di sekolah gencar dibina, dilatih, dan dibimbing secara serius dan intensif sejak dini. Bukan menjadikan mereka sebagai ahli atau pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan.
Seperti yang pernah disampaikan oleh Dr. Durdje Durasid (1990), bahwa berbahasa yang baik adalah berbahasa yang mengandung nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakaiannya; sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa yang secara cermat mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang berlaku.
Oleh sebab itu, perencanaan mutlak dibutuhkan supaya penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar tidak akan terus terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan kejelasan strategi dan basis pembinaan. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini adalah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah kebahasaan yang berlaku.
Generasi semacam itu dapat dibentuk di sekolah. Mengingat bahasa Indonesia digunakan sebagai pengantar dalam pengajaran di sekolah-sekolah. Dengan menjadikan sekolah sebagai basis dan sasaran utama pembinaan bahasa, kelak diharapkan generasi bangsa yang lahir dari ”rahim” sekolah benar-benar akan memiliki kesetiaan, kebanggaan, dan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa negerinya sendiri, tidak mudah larut dan tenggelam ke dalam kubangan budaya global yang kurang sesuai dengan jatidiri dan kepribadian bangsa. Bahkan, bukan mustahil kelak mereka mampu menjadi ”pionir” yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Iptek yang berwibawa dan komunikatif di tengah kancah percanturan global, tanpa harus kehilangan kesejatian dirinya sebagai bangsa yang tinggi tingkat peradaban dan budayanya.
Melahirkan generasi yang memiliki idealisme dan apresiasi tinggi terhadap penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar memang bukan hal yang mudah. Meskipun demikian, jika kemauan dan kepedulian dapat ditumbuhkan secara kolektif dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, tentu bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.
Pembinaan bahasa Indonesia di sekolah tidak boleh hanya ditumpukan kepada guru bahasa, melainkan semua pihak yang terlibat di sekolah. Mulai dari Kepala Sekolah, guru-guru mata pelajaran lain, karyawan, hingga siswa itu sendiri.
Hal ini dapat dilakukan, antara lain dengan cara: (1) menciptakan suasana kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa secara baik dan benar, (2) membiasakan siswa menggunakan tutur lengkap dan tutur ringkas, dan (3) menyediakan buku-buku yang baik bagi siswa.
Pertama, menciptakan suasana kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa secara baik dan benar. Guru sebagai pihak yang paling akrab dengan siswa di sekolah harus mampu memberikan keteladanan dalam hal penggunaan bahasa, bukannya malah melakukan ”perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupun sintaksis seperti yang selama ini kita saksikan.
Kedua, tutur lengkap dan tutur ringkas. Tutur lengkap (elaborated code) dan tutur ringkas (restricted code) adalah dua istilah yang dimunculkan oleh Basil Berstein dari London University. Menurut Berstein, tutur lengkap cenderung digunakan dalam situasi-situasi seperti debat formal atau diskusi akademik. Sedangkan, tutur ringkas cenderung digunakan dalam suasana tidak resmi seperti dalam suasana santai.
Dalam kaitan dengan pemerolehan bahasa oleh seseorang anak, maka tutur lengkap dan tutur ringkas perlu diangkat ke permukaan. Tutur lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap dan sesuai dengan tuntutan kaidah-kaidah sintaktis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan secara jelas. Perpindahan dari kalimat yang satu ke kalimat yang lainnya terasa runtut dan logis, tidak dikejutkan oleh faktor-faktor non-kebahasaan yang aneh-aneh.
Tutur ringkas sering mengandung kalimat-kalimat pendek, dan biasanya hanya dimengerti oleh peserta tutur. Orang luar kadang-kadang tidak dapat menangkap makna tutur yang ada, sebab tutur itu sangat dipengaruhi antara lain faktor-faktor non-kebahasaan yang ada pada waktu dan sekitar pembicaraan itu berlangsung. Bahasa yang dipakai dalam suasana santai antara sahabat karib, sesama anggota keluarga, antar teman, biasanya berwujud singkat-singkat seperti itu.
Ketiga, menyediakan buku yang ”bergizi”, sehat, mendidik, dan mencerahkan bagi dunia anak. Buku-buku yang disediakan tidak cukup hanya terjaga bobot isinya, tetapi juga harus betul-betul teruji penggunaan bahasanya sehingga mampu memberikan ”vitamin” yang baik ke dalam ruang batin anak. Perpustakaan sekolah perlu dihidupkan dan dilengkapi dengan buku-buku bermutu, bukan buku ”kelas dua” yang sudah tergolong basi dan ketinggalan zaman.
Buku-buku wajib untuk dapat mempelajari bahasa Indonesia dengan baik dan benar, antara lain:
1.Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional - Balai Pustaka, 2007 - edisi ketiga) - 1387 halaman. Kamus ini akan membimbing kita akan makna tepat suatu kata dan menunjukkan mana kata-kata baku mana kata-kata nonbaku.
2.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi dkk., Balai Pustaka, 2003, edisi ketiga) - 486 halaman. Buku ini walaupun bersifat akademik, masih cukup praktis untuk digunakan mempelaari semua aturan bahasa Indonesia.
3.Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 1972, 1988, 1992, 2005). Kedua buku ini bersifat praktis untuk menuntun kita menulis kata-kata dalam bahasa Indonesia dan menerjemahkan istilah asing.
Itulah ketiga buku yang harus ada bila bersungguh-sungguh ingin mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagai tambahan atas buku-buku itu, banyak buku praktis yang dapat meningkatkan ketrampilan kita berbahasa Indonesia yang baik dan benar, misalnya seperti di bawah ini:
1.Berbahasa Indonesialah dengan Benar : Petunjuk Praktis untuk Pelajar, Mahasiswa, dan Guru (Zaenal Arifin, 1986, edisi terbarunya - 2005).
2.Buku-buku pembinaan bahasa Indonesia tulisan Yus Badudu, dan
3.Masih banyak buku-buku pembinaan bahasa Indonesia yang lain dari berbagai penulis. Misalnya, "Masalah Bahasa yang Dapat Anda Atasi Sendiri" (Anton Moeliono, Sinar Harapan, 1990), dan "Problematika Bahasa Indonesia : Sebuah Analisis Praktis Bahasa Baku" (Kusno Santoso, PT Rineka Cipta, 1990).

III. PENUTUP
Di dalam UUD 1945 tercantum dalam pasal 36, kedudukan bahasa Indonesia ditetapkan: bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: lambang kebanggaan nasional, lambang jati diri (identitas) nasional, alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya dan, alat perhubungan antar budaya antar daerah.
Mengingat kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia yang sangat penting, maka perlu dilakukan pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kelestarian bahasa Indonesia.
Sebagai institusi pendidikan, sekolah dinilai merupakan ruang yang tepat untuk melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan linguistik (bahasa). Hal ini dapat dilakukan dengan cara: (1) menciptakan suasana kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa secara baik dan benar, (2) membiasakan siswa menggunakan tutur lengkap dan tutur ringkas, dan (3) menyediakan buku-buku yang baik bagi siswa.
Patut diingat bahwa membina bahasa Indonesia bukan hanya menjadi tanggung jawab para pakar bahasa yang berkecimpung dalam dalam bahasa dan sastra Indonesia, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua putra dan putri Indonesia yang cinta tanah air, bangsa dan bahasa. Dengan perkataan lain, membina bahasa Indonesia itu menjadi kewajiban kita semua, bangsa Indonesia.


Daftar Pustaka :
Rosidi, Ajip. 2001. Bahasa Indonesia Bahasa Kita Sekumpulan Karangan. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
http://ferdinan01.blogspot.com/2009/02/sosiolinguistik-pengembangan-dan.html
http://ibahasa.blogspot.com/2008/03/pembinaan-bahasa-indonesia.html
http://www.mail-archive.com/iagi-net@iagi.or.id/msg23289.html
http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?info=artikel&infocmd=show&infoid=56&row=3

Kapitalisme dalam Cerpen Mardijker karya Damhuri Muhammad Sebuah Manifestasi Perlawanan

Eko Pujiono (NPM 07410728)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Semarang

Abstrak

Tulisan ini berjudul “Kapitalisme dalam Cerpen Mardijker karya Damhuri Muhammad Sebuah Manifestasi Perlawanan”. Adapun permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana wujud perlawanan terhadap kapitalisme dalam Cerpen Mardijker karya Damhuri Muhammad.
Tulisan ini merupakan tulisan berdasarkan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan Marxisme. Dari analisis ditemukan bahwa wujud perlawanan terhadap kapitalisme berawal dari hubungan sejarah masa lalu Natan Soedira sebagai “mardijker”. Masa lalu itu tersingkap bersamaan dengan adanya kapitalisme kolonialis dan kapitalisme imperialis. Pada saat sekarang, terjadi apa yang dinamakan kapitalisme borjuis atau industrial modern yang diwujudkan dengan adanya ketergantungan sebagian masyarakat kota terhadap Latanza Café yang merupakan alat ekonomi kaum borjuis, dengan mengunjungi tempat itu. Sementara itu, Natan Soedira dilihat dari tampilan luarannya tidak ubahnya seperti gembel, mewakili golongan proletar melakukan perlawanan terhadap kaum borjuis. Perlawanan itu dimanifestasikan dengan setiap hari dan hampir setiap waktu Natan Soedira berada di sekitar Latanza Café kemudian berteriak-teriak menganggil “mardijker” kepada semua pengunjung cafe. Perlawanan ini dimenangkan oleh kaum pemodal.

Kata kunci: kapitalisme, manifestasi, perlawanan


I. PENDAHULUAN
Menurut Wellek (1990 : 110) kritikus aliran marxisme tidak hanya mempelajari kaitan sastra dengan masyarakat tetapi juga memberi batasan bagaimana seharusnya hubungan itu dalam masyarakat zaman sekarang dan masyarakat di masa mendatang yang tidak mengenal kelas. Lebih jauh Wellek (1990 : 129) menyebut bahwa kaum marxisme memandang kemajuan bergerak dari feodalisme melewati fase kapitalisme borjuis menuju “kekuasaan kaum proletar”. Menurut Noor (2004 : 122) marxisme merupakan teori yang erat kaitannya dengan ekonomi, sejarah, masyarakat, dan revolusi.
Mardijker merupakan Cerpen karya Damhuri Muhammad yang dimuat di harian Suara Merdeka edisi Minggu, 18 Januari 2009. Dari judulnya, Mardijker, berarti “orang merdeka”, mempunyai antonim “orang terjajah”. Terjajah apakah? Kapitalisme? Dari uraian di atas, tulisan ini menguraikan bagaimanakah wujud perlawanan terhadap kapitalisme dalam Cerpen Mardijker karya Damhuri Muhammad?

II. PEMBAHASAN
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kapitalisme berarti sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan-perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasaran bebas. Kapitalisme berasal dari asal kata kapital yang berarti modal. Sementara itu, kapitalis adalah kaum bermodal; orang yg bermodal besar; golongan atau orang yg sangat kaya.
Weber (2006: 78) membedakan dua tipe dasar kapitalisme: “kapitalisme politis” dan “industrial modern” atau “kapitalisme borjuis”. Dalam kapitalisme politis, peluang datangnya laba tergantung pada persiapan bagi eksploitasi peperangan, penaklukan, dan kekuasaan prerogatif administrasi politik. Termasuk dalam kapitalisme tipe ini adalah imperialis, kolonial, petualangan atau penjarahan, dan fiskal. Dengan kapitalisme imperialis, Weber (2006: 78) menunjuk pada sebuah situasi dimana kepentingan laba merupakan pembuka jalan atau ahli waris ekspansi politik. Contoh utamanya adalah Imperium Romawi dan Inggris, serta imperialisme kompetitif zaman ini. Kapitalisme kolonial, terkait erat dengan imperialisme politik, menunjuk pada kapitalisme yang memetik keuntungan dari eksploitasi komersial hak prerogatif politik atas wilayah takhlukan. Hak prerogatif seperti itu meliputi monopoli dagang yang dijamin secara politis, juga kerja paksa. Kapitalisme petualangan, menunjuk pada serangan yang dipimpin secara kharismatik atas negeri-negeri asing demi mengeruk harta karun. Harta demikian mungkin saja diambil dari berbagai kuil, kuburan, tambang, atau lemari para pangeran yang dikalahkan, atau bisa pula ditarik sebagai pengutan pada perabot hias dan perhiasan penduduk (Weber, 2006 : 78). Kapitalisme fiskal, sebagaimana digunakan Weber (2006 : 79), menunjuk pada peluang keuntungan tertentu yang berasal dari eksploitasi hak prerogatif politik.
Keunikan kapitalisme industrial modern terletak pada fakta bahwa suatu pembentukan produksi spesifik muncul dan diperluas dengan mengorbankan unit-unit produksi pra-kapitalis. Pembentukan produksi ini mempunyai prakondisi legal, politik, dan ideologisnya, dan bagaimanapun juga pra kondisi itu secara historis unik (Weber, 2006 : 79).
Bagi Weber (2006 : 80), kapitalisme adalah bentuk tertinggi dari operasi-operasi rasional; tetapi hal itu diimplementasikan dengan dua irasionalitas: sisa-sisa sikap yang sebelumnya tertambat secara religius: seruan irasionalitas dan dorongan untuk melakukan kerja berkesinambungan; sosialisme modern, dipandang sebagai “utopia” dari mereka yang tidak sanggup bertahan dalam apa yang bagi mereka tampak sebagai ketidak-adilan tidak masuk akal dari sebuah tatanan ekonomi yang membuat mereka bergantung pada pengusaha dengan hak milik.
Marx, menurut Weber (2006 : 81) menambahkan sebuah aspek historis dengan menekankan sifat modern spesifik kelas borjuis dan proletar. Konsep dasar pemikiran Marx, yaitu falsafah historic-materialisme dan dialectica. Menurut falsafah itu, struktur masyarakat sangat menentukan kehidupan sosial, politik, intelektual, dan kebudayaan. Dalam evolusi sejarah yang terus menerus akan terlihat bahwa bermacam-macam interaksi ekonomi akan menciptakan berbagai kelas yang bertentangan, yang pada akhirnya dimenangkan oleh kelas tertentu. Interaksi ekonomi yang baru akan menciptakan kelas baru, dan terjadi lagi perlawanan terhadap kelas yang berkuasa. Demikian terus menerus terjadi bentuk pertentangan kelas. Falsafah ekonomi Marx menerangkan bahwa pertentangan kaum borjuis melawan kaum proletar pasti melahirkan revolusi yang menghancurkan sistem kapitalis sehingga tercipta masyarakat tanpa kelas (Noor; 2004 : 122).
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, perlawanan berarti perjuangan; usaha mencegah (menangkis, bertahan, dsb); atau pertentangan. Sedangkan manifestasi /maniféstasi/ adalah perwujudan sebagai suatu pernyataan perasaan atau pendapat; perwujudan atau bentuk lahir dari sesuatu yang tidak kelihatan.
Perlawanan tidak selalu identik dengan kekerasan. Seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi, yang terlahir di India tanggal 2 Oktober 1869 dengan nama Mohandas Karamchand Gandhi, dikenal sebagai figur yang memperjuangkan kemanusiaan dengan konsep ahimsa (tanpa kekerasan).
Melalui perjuangannya, kasta Sudra – yaitu golongan kelas bawah atau budak di India -yang sebelumnya dikucilkan, mulai mendapat perlakuan yang lebih manusiawi. Gandhi juga memperjuangkan hak-hak kaum wanita yang sebelumnya sangat tertindas di India. Melalui perjuangannya yang tak kenal lelah, akhirnya India memperoleh kemerdekaan dari Inggris.
Dalam menjalankan aksi perlawanannya, ia selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis gerakan. Beberapa gerakan tersebut, antara lain; Ahimsa, Satyagraha, Swadesi dan Hartal. Secara etimologi, ahimsa berarti “tidak menyakiti”. Namun bagi Gandhi, Ahimsa diartikan sebagai tindakan menolak keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri sendiri dengan memperalat dan mengorbankan orang lain. Menurut Gandhi, ahimsa dan kebenaran ibarat saudara kembar yang sangat erat. Namun, ia membedakannya dengan jelas bahwa ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan kebenaran sebagai tujuannya. Tindakan mengejar kebenaran dengan sarana ahimsa tanpa adanya kekerasan, merupakan wujud dari satyagraha. Sedangkan swadesi adalah cinta tanah air sendiri, dan hartal, merupakan semacam pemogokan nasional, toko-toko dan urusan dagang ditutup sebagai protes politik.

Dalam cerpen ini kaum proletar diwakili oleh tokoh Natan Soedira. Proletar adalah orang dari golongan proletariat. Sementara itu, proletariat berarti lapisan sosial yang paling rendah; golongan buruh, khususnya golongan buruh industri yang tidak mempunyai alat produksi dan hidup dari menjual tenaga.
Dilihat dari tampilan luar dengan bajunya yang lusuh dan penuh tambalan dengan jahitan serampangan, menunjukkan bahwa Natan Soedira berasal dari lapisan sosial yang paling rendah. Perhatikan kutipan di bawah ini:

..lelaki ringkih itu tidak jauh berbeda dari gembel-gembel yang terus membiak seperti kuman ganas yang menggerogoti kota ini.

Sementara itu, golongan borjuis atau golongan kapitalis (pemilik modal) diwakili oleh pemilik Latanza Café. Lihat kutipan di bawah ini:

Seorang pengusaha dari Jakarta membeli rumah kuno peninggalan zaman VOC itu (kabarnya dengan harga miring), lalu merenovasi sedemikian rupa hingga menjadi Latanza Café, tempat nongkrong anak-anak muda kalangan kelas menengah kota ini.

Pengungkapan tentang jatidiri Natan Soedira tidak bisa lepas dari jasa Timor, tokoh lain dari cerpen tersebut. Timor adalah mahasiswa pecandu kafe. Ia adalah mahasiswa sejarah yang waktu-waktunya banyak dihabiskan di Latanza Café dari pada di bangku kuliah. Timor merasa tergerak mencari jatidiri gembel gaek yang sering mengganggu kenyamanan pengunjung Latanza Café, termasuk dirinya. Timor merasa tertantang karena kalau dia tahu apa arti “Mardijker”, maka lelaki gembel itu akan pergi dari sini.
Di dalam cerpen ini Natan Soedira merupakan keturunan kesekian dari marga Soedira. Marga Soedira adalah salah satu dari dua belas marga yang namanya tertera di duabelas pintu gereja di kota ini (latar tempat cerpen tersebut). Selain Soedira, ada nama Jonathans, Leander, Loens, Bakar, Samuel, Jakob, Laurens, Joseph, Tholense, Iskah, dan Zadokh. Nama-nama ini erat kaitannya dengan Cornelis Chanstelein, tuan tanah yang pernah hidup di kota ini ratusan tahun silam.
Cornelis adalah anak dari Anthony Chastelien. Seorang yang selamat dari peristiwa malam Bartholomeus dan kemudian melarikan diri ke Belanda dan menikah dengan putri walikota, Maria Cruydenier. Lalu, menginjakkkan kaki di tanah Batavia pada 16 Agustus 1674. Setelah berhenti menjadi pejabat VOC, Cornelis keluar dari Batavia dan membeli sebidang tanah di kota ini. Kedua belas marga tersebut merupakan orang yang menggarap tanah Cornelis. Perhatikan kutipan di bawah ini:

Digarapnya tanah itu menjadi lahan perkebunan yang menghasilkan panen yang melimpah. Orang-orang yang menggarap lahan itu adalah tawanan perang (berstatus budak) setelah Belanda mengalahkan Malaka, 1941. Cornelis memerdekakan budak-budak itu hingga mereka disebut “Mardijker” atau “orang merdeka”. Supaya gampang diatur, ia mengelompokkan mereka menjadi dua belas marga.

Di bagian ini ditemukan kesesuaian dengan teori kapitalisme yang disampaikan oleh Weber. Jamak diketahui bahwa VOC adalah kongsi dagang Belanda yang melakukan imperialisme di negeri ini. Hal ini merujuk adanya kapitalime imperialis. Selain itu, bentuk lain kapitalisme juga ditemukan, yakni kapitalisme kolonial. Hal ini dipertegas dengan adanya sistem perbudakan yang tak lain sebagai bentuk kerja paksa. Tidak hanya itu, jika dirunut, maka kapitalisme petualangan atau penjarahan, dan fiskal akan ditemukan.
Natan Soedira memang hanyalah seorang individu yang belum tentu mewakili golongannya (kelas paling rendah). Namun, di dalam cerpen ini dia menyebut dirinya dan orang-orang yang ia anggap sebagai bagian dari dirinya dengan sebutan “mardijker”. Mardijker berarti orang merdeka. Panggilan mardijker atau orang merdeka secara tidak langsung di lain sisi akan mengingatkan bahwa orang yang bersangkutan dulunya adalah orang yang tidak merdeka atau orang terjajah. Dengan kata lain, meski sebagai “orang merdeka” belum tentu merupakan orang yang benar-benar merdeka. Natan Soedira ternyata menyimpan sejarah masa lalu sebagai bagian dari orang terjajah, demikian pula dengan orang-orang yang sering dipanggil Soedira sebagai “mardijker”, yaitu para pengunjung Latanza Café.
Hubungan Natan Soedira dan Latanza Café terungkap pula lewat penyelidikan yang dilakukan Timor. Dalam surat wasiatnya, Chastelein menyebut marga “Soedira” sebagai satu-satunya pewaris villa itu, sekaligus dengan koleksi lukisan-lukisan yang sangat berharga itu. Boleh jadi café itu adalah bekas landhuis (semacam villa) milik Chastelein pada masa lalu.
Para pengunjung Latanza Café termasuk Timor—sebelumnya juga—tidak tahu maksud “mardijker” yang dilontarkan Natan Soedira kepada mereka. Dengan memanggil sebutan itu, Natan Soedira ingin menyadarkan para pengunjung Latanza Café bahwa mereka adalah bagian dari golongan proletar yang sama seperti Natan Soedira.
Di bagian ini ditemukan apa yang dikatakan Weber sebagai industrial modern atau yang disebut sebagai kapitalisme borjuis. Mereka, para pengunjung Latanza Café termasuk Timor, terikat dengan pemilik modal, yaitu pengusaha pemilik Latanza Café. Setiap hari dan setiap waktu mereka datang mengunjungi Lantanza Café. Hal ini mengidentifikasi adanya ketergantungan di antara kedua belah pihak. Mereka terperangkap dalam sebuah tatanan ekonomi yang membuat mereka bergantung pada pengusaha dengan hak milik, seperti yang dikatakan Weber di atas.
Natan Soedira sebagai seorang individu, mewakili golongannya, berusaha menyadarkan mereka (para pengunjung Latanza Café yang dia anggap sebagai mardijker juga) sekaligus melakukan perlawanan terhadap kaum bojuis, pemilik modal (pengusaha Latanza Café). Perhatikan kutipan di bawah ini:

Tapi, tepat jam setengah lima sore, pada saat pengunjung Latanza Café sedang ramai, ia akan tampak berbeda dari gelandangan-geladangan yang lain. Lelaki itu akan bediri dengan dada sedikit membusung, mengacung-acungkan jari telunjuk ke arah Latanza Café, lalu berteriak,
“Rumah itu memang sudah jadi milik kalian. Tapi jangan sombong! Kalian tetap saja Mardijker, sama seperti saya.”

Perlawanan yang dilakukan oleh Natan Soedira tidak menggunakan kekerasan. Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi. Dalam menjalankan aksi perlawanannya Gandhi mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis gerakan. Yang dilakukan oleh Natan Soedira adalah wujud dari ahimsa yang berarti “tidak menyakiti” dalam perlawanan yang dilakukan Gandhi. Natan Soedira bukanlah tipe orang yang gampang menyerah dalam melakukan perlawanan. Perhatikan kutipan di bawah ini:
Padahal, bermacam-macam cara sudah mereka lakukan, mulai dari membujuknya dengan nasi bungkus, rokok murahan, bahkan ia pernah diseret paksa oleh tiga orang satpam sekaligus.

Perlawanan itu berakhir dengan kematian Natan Soedira sebagai simbol golongan proletar. Hal ini juga menunjukkan kekalahan golongan proletar itu sendiri. Namun, kekalahan itu juga disusul dengan ambruknya golongan borjuis (pengusaha) Lantaza Café. Lihat kutipan di bawah ini:

Tapi, sejak dua hari lalu, Latanza Café, tutup. …pengelola Latanza Café merugi lantaran sepi pengunjung. Ini terjadi sejak tua bangka gembel yang saban hari bersilinjur di sisi kiri pintu masuk café itu mati mengenaskan. Mayatnya ditemukan menggelanatung di salah satu dahan pohon beringin, lebih kurang dua puluh langkah dari pelataran halaman Latanza Café.

Meski begitu, tak lama kemudian, di sebelah barat bekas Latanza Café berdiri sebuah mall, pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Rumah usang itu berganti pemilik. Meski tidak sampai dirobohkan, tata ruangnya dirancang dengan sentuhan yang bernuansa metropolitan. Namanya berubah menjadi Olala Café. Olala Café dan pusat perbelanjaan terbesar itu merupakan manifestasi baru atas kaum borjuis dalam industrial modern seperti saat ini.
Di sini pandangan Marx berlaku bahwa bermacam-macam interaksi ekonomi akan menciptakan berbagai kelas yang bertentangan, yang pada akhirnya dimenangkan oleh kelas tertentu. Interaksi ekonomi yang baru akan menciptakan kelas baru, dan terjadi lagi perlawanan terhadap kelas yang berkuasa. Demikian terus menerus terjadi bentuk pertentangan kelas.

III. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wujud perlawanan terhadap kapitalisme berawal dari hubungan sejarah masa lalu Natan Soedira sebagai “mardijker”. Masa lalu itu tersingkap bersamaan dengan adanya kapitalisme kolonialis dan kapitalisme imperialis. Pada saat sekarang, terjadi apa yang dinamakan kapitalisme borjuis atau industrial modern yang diwujudkan dengan adanya ketergantungan sebagian masyarakat kota terhadap Latanza Café yang merupakan alat ekonomi kaum borjuis, dengan mengunjungi tempat itu. Sementara itu, Natan Soedira dilihat dari tampilan luarannya tidak ubahnya seperti gembel, mewakili golongan proletar melakukan perlawanan terhadap kaum borjuis. Perlawanan itu dimanifestasikan dengan setiap hari dan hampir setiap waktu Natan Soedira berada di sekitar Latanza Café kemudian berteriak-teriak menganggil “mardijker” kepada semua pengunjung cafe. Perlawanan ini dimenangkan oleh kaum pemodal.

Daftar Pustaka

Noor, Redyanto; dkk. 2004. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

Suara Merdeka. 18 Januari 2009

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Weber, Max. 2006. Sosiologi (penerjemah Noorkholis dan Tim Penerjemah Promothea). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (diidonesikan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

http://batampos.co.id/Mingguan/Buku/Gandhi_dan_Nasionalisme_Humanis_.html

http://firmanbudi.wordpress.com/2009/04/09/mahatma-gandhi-siapa-dia/

http://id.wikipedia.org/wiki/Mahatma_Gandhi

tanpa judul

Bersabarlah...
Itu kata-kata yang sering aku ucapkan untukmu
Bukan karena aku tiada waktu bagimu
Hanya saja, seperti kataku, kesabaran akan menjadikan sesuatu lebih memesona

Kesabaran jugalah yang membuat aku bertahan
Menemani setiap rasa yang kau tumpahkan
Kejengkelan, amarah, cemburu, silang pendapat, dan apalah
Karena kamu tidak begitu percaya kapadaku
Bahwa aku sayang kamu

Aku tidak ingin memaksakan untuk kamu bisa mengerti
Tidak! Aku hanya bisa mengingatkan, “bersabarlah”

Cerita kita telah panjang, meski begitu aku tidak akan mau dan tak pernah ingin cerita ini menjadi segumpalan darah beku di otak. Menjadi semacam tumor yang merugikan.

Aku butuh waktu. Hanya sedikit waktu. Tapi, aku tak tahu seberapa lama. Satu detikkah, satu menitkah, satu jam, satu hari, bulan, tahun... aku tak tahu.
Hanya untuk merenung. Menimbang yang terbaik bagi kita.

Terkadang, aku teringat banyang-bayang masa lalu. Tentang kamu. Yang kadang sedikit keras kepala. Sedikit memaksakan keinginan. Meski hal itu sepele sih memang.

Sastra yang Paling Moderen

Oleh Eko Pujiono

Pada dasarnya karya sastra diciptakan dari, oleh, dan untuk manusia. Hal ini didasarkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengemban ”misi suci” tertentu. Dan, pada dasarnya setiap manusia diberi ”misi” itu berbeda dengan manusia yang lain. Setiap manusia memiliki ”misi” yang khas. Kekhasan untuk mendapatkan ”kemuliaan”.

Tidak ada universalisme dalam kehidupan manusia. Manusia itu berbeda satu sama lain. Bukan berarti dengan perbedaan itu akan menjadi bahan pertentangan. Tidak ada yang baik dan buruk dalam hal perbedaan. Setiap orang harus memahami perbedaan. Perbedaan inilah yang menjadi warna keindahan kehidupan manusia. Nilai estetik hanya dapat diperoleh ketika seseorang dapat memahami perbedaan.

Tak heran jika ditemui seseorang memiliki ”wajah” yang berbeda-beda. Satu ”roh” di dalam ”wadag” yang berbeda-beda. Inilah contoh indahnya perbedaan. Bisa lebih fleksibel, beraneka ragam. Setiap perbedaan yang dimiliki oleh menusia bukan untuk melengkapi perbedaan yang dimiliki manusia lain. Manusia dilahirkan ke dunia ini sudah dalam kondisi yang lengkap. Tanpa satu kekurangan apapun. Inilah sisi lain untuk mendapatkan ”kemuliaan” itu tadi. Memahami perbedaan.

Oleh sebab itu, tidak boleh ada pengkotak-kotakan manusia. Entah dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, hobi, umur, berat badan, pekerjaan, pandangan hidup, sikap, dan lain sebagainya. Manusia itu berbeda. Tidak boleh dibeda-bedakan dengan mengklasifikasikannya.

Manusia itu adalah pribadi yang lepas. Bebas. Jika ada pribadi yang memiliki beban, itu karena pilihannya sendiri. Bukan didasarkan oleh kehendak Tuhan. Jika ada manusia yang menangguk beban suatu peribadatan agama, itu karena pilihan manusia itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia tidak ”gila” ingin disembah makhluk ciptaanNya sendiri. Tuhan itu membebaskan manusia. Manusialah yang menentukan pilihan. Karena manusia memang memiliki banyak pilihan. Dan, setiap pilihan memiliki beban dan konsekuensi masing-masing.

Setiap pilihan manusia akan berimbas kepada persoalan tertentu. Karena suatu pilihan, setiap manusia akan merasakan sesuatu, memikirkan sesuatu, mengatakan sesuatu, melakukan sesuatu, dan sesuatu-sesuatu yang lain, termasuk beban dan konsekuensi atas pilihannya itu.

Oleh karena itu, sastra tidak boleh memberikan pilihan kepada penikmatnya. Karya sastra harus sudah tuntas. Sudah lengkap, meski berbeda. Kenapa begitu? Karya sastra yang memberikan pilihan, yakni belum tuntas, belum lengkap, belum final, akan memberikan beban kepada kepada pembacanya. Bukankah setiap pilihan memiliki beban dan konsekuensi masing-masing. Karya sastra harus menghindari itu, karena karya sastra bukan beban untuk manusia. Manusia sudah memiliki banyak beban, meski itu atas pilihannya sendiri, jangan ditambah beban lagi.

Maka dari itu, karya sastra harus lepas dari tuntutan. Entah tuntutan ”ke dalam” maupun ”ke luar”. Entah berasal dari/kepada pengarangnya sendiri. Di samping itu, karya sastra juga tidak boleh dituntut. Karya sastra harus menjadi karya sastra itu sendiri. Yang bebas, endependence, tidak terikat terhadap suatu apapun. Tidak bercabang ataupun mendua.

Jalan keluarnya, karya sastra harus membawa dan memberikan pesan. Pesan dari, oleh, dan untuk manusia. Supaya manusia mengingat kembali hakekat manusia, nilai-nilai kemanusiaan, kekhasan manusia, misi suci untuk mencapai kemuliaan.
Jika pesan ini tak tersampaikan, juga bukan menjadi persoalan. Bukankah karya sastra tidak boleh menuntut.

Pada dasarnya manusia tidak memiliki hak dan kewajiban di dalam kehidupan di dunia ini. Manusia ”terjerembab” ke dalam persoalan hak dan kewajiban, itu disebabkan oleh pilihan manusia sendiri.

Dalam struktur karya sastra, hal itu diwujudkan ke dalam tema, tokoh dan penokohan, sudut pandang, latar, alur, konflik, dan pesan. Kesemuanya itu berorientasi kepada manusia yang memiliki kekhasan tentunya. Dalam hal tema, karya sastra haruslah bertemakan manusia. Apapun yang berkaitan dengan manusia yang hidup dalam realitas. Termasuk manusia dalam sejarah, bukan manusia dalam impian.

Dalam hal tokoh dan penokohan, setiap tokoh harus dapat mencerminkan pribadi dan karakter yang berbeda. Tokoh adalah gambaran manusia yang sudah lengkap. Ia dapat berkarakter berbeda-beda dan berubah-ubah, asalkan itu merupakan satu bagian tak terpisahkan dari satu tokoh.

Sementara sudut pandang mestilah dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap tokoh, dan terhadap suatu persoalan.

Latar harus dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap sesuatu yang berada di luar diri tokoh. Meski berada di luar, latar harus dapat memberi esensi terhadap tokoh. Tidak mbalelo terhadap keberadaan tokoh. Tidak mengingkari eksistensi tokoh sebagai penggambaran manusia yang utuh dan lengkap.

Alur tidak boleh bercabang ataupun mendua. Alur adalah sesuatu yang lurus. Tidak berbelok. Boleh maju ataupun mundur. Alur adalah sesuatu jalan yang tidak membingungkan. Meski ada kemisteriusan yang melingkupi, alur haruslah sesuatu yang lurus dan jelas jika dipandang secara keseluruhan.

Pengais Sampah Itu

Cerpen Eko Pujiono

AKU SEDANG MAKAN PAGI ketika bau busuk itu meyerang. Selera makanku mendadak hilang. Segera kucari arah datangnya bau. O, seorang perempuan paruh baya mengais-ngais sampah di bak depan rumah.

Sampah-sampah itu ia masukkan ke dalam gerobak. Kuperhatikan dari teras rumah, perempuan itu tidak jijik bersentuhan dengan sampah yang menimbulkan bau sangat busuk itu. Ia memakai baju lengan panjang berwarna cokelat dan celana panjang biru yang di banyak tempat terdapat noda-noda hitam dan kecoklatan. Perempuan itu bertopi bertulis nama sebuah instansi pemerintah di kota ini. Tampak ia kurang cekatan dalam mengambil dan kemudian memasukkan sampah itu ke dalam gerobak. Ia menggunakan dua bilah papan dan sesekali kulihat memakai gancu. Banyak sampah yang tercecer. Walhasil, bau busuk kian menyebar ke mana-mana. Perutku terasa mual. Makanan yang baru saja kumakan mendakak ingin keluar. Aku ingin muntah, tapi kutahan.

Aku masih belum tahu siapa perempuan itu. Biasanya, bukan dia yang mengambil sampah. Yang aku tahu, biasanya seorang laki-laki paruh baya yang melakukan pekerjaan itu. Aku lupa nama laki-laki petugas pemungut sampah yang biasanya itu. Aku tidak pernah ambil peduli dengan pekerjaan yang remeh itu. Cuma soal sampah.

Sebagai pegawai negeri di sebuah instansi pemerintah kota, aku lebih disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang penting. Mengurus ini itu demi kepentingan warga kota. Tugasku hanya memastikan bahwa di kota ini tidak ada lagi orang-orang miskin. Tidak ada gelandangan, pengamen, pengemis atau apapun yang berlabel kere.

Jika orang-orang semacam itu toh ada, aku hanya tinggal mendata mereka. Kemudian membagi-bagikan sembako. Melakukan operasi pasar. Jika usaha ini tak berhasil, aku segera melapor ke atasan bahwa di lapangan makin banyak orang miskin. Segera setelah itu, bantuan akan mengalir dengan derasnya. Kalau perlu, aku mengusulkan dibuka sebuah pundi amal untuk warga miskin. Hanya buka nomor rekening di bank kemudian mengiklankan ke segenap penjuru media massa. Tentunya aku harus melakukan lobi-lobi terlebih dahulu.

Jika tetap tak berhasil, cara pamungkas, ya, aku akan berkoordinasi dengan pihak berwenang untuk melakukan razia. Menjaring mereka-mereka yang berkeliaran di jalan. Mereka yang mengamen, mengemis, dan apapunlah. Yang penting memiliki kesan kere, pasti akan kena razia. Panti sosial menjadi tempat tampungan mereka.
Ahh, untuk apa membahas pekerjaan yang sehari-hari kugeluti. Sudah biasa. Terlalu biasa. Toh, sebentar lagi aku akan berangkat kerja. Bersentuhan dengan hal-hal semacam itu. Keberadaanku di sini hanya karena merasa risih terhadap bau tidak sedap yang telah menghapus selera makan.

Ini gara-gara perempuan pengumpul sampah itu. Mending aku segera berangkat ke kantor. Untuk apa mengurusi hal-hal yang tak penting. Remeh temeh seperti itu. Buang-buang perhatian. Masih banyak hal penting yang harus aku kerjakan di kantor.
Bergegas aku masuk ke dalam rumah. Sisa makanan di atas meja di ruang makan hanya aku pandang ketika lewat. Aku menuju kamar. Kutemui istriku yang sedang berias. Mungkin dia akan arisan. Kuminta ia memakaikan dasi, mengambilkan jas dan tas kerja untukku. Segera kukecup kening istriku dan mengucapkan beberapa patah kata seperlunya. Lalu, kusambar kunci mobil di atas meja rias istriku, di dekat deretan alat kosmetik yang beraneka rupa.

Kupanggil Karjo, pembantuku, untuk membukakan pintu gerbang. Setelah memanasi mesin beberapa saat, mobil dinas ini kukendarai sendiri menuju ke kantor. Jalanan lumayan ramai. Semenjak Perda pelarangan pengemis, pengamen, dan gelandangan berada di tempat-tempat umum ditetapkan, mereka tidak pernah lagi kujumpai. Maklum, sekarang banyak warga kota yang hidup sejahtera. Jauh dari istilah miskin.

Di kantor, aku disambut oleh petugas penerima tamu. Kutanya, apakah ada surat atau pesan untukku. Dijawab, tidak ada. Langsung, aku menuju ke ruang kerja.
Agak lelah rupanya mengendarai mobil selama setengah jam. Untuk menghilangkannya, aku duduk dan memandangi seisi ruangan yang tampak tidak ada perubahan sama sekali. Lambang burung garuda, foto presiden dan wakilnya masih di tempat yang sama, meski foto-foto itu telah beberapa kali berganti orang. Jam dinding itu masih berdetak di tempat yang tetap. Meja kerjaku, masih menghadap pintu masuk. Hanya berkas-berkas yang berubah. Setiap bulan ada file masuk dan keluar. Semuanya dalam bentuk laporan dan proposal yang berjilid bagus. Undangan suatu acara juga silih berganti berdatangan.

Aku sangat puas membaca laporan-laporan pada bulan-bulan terakhir ini. Semua menunjukkan bahwa angka kemiskinan berangsur turun. Bahkan nyaris tidak ada sama sekali. Banyak program-program sosial yang menyangkut kesejahteraan warga, baik dari pemerintah pusat maupun kota, digalakkan. Menurutku, ini pencapaian yang luar biasa dari pemerintah yang sekarang.

Terbuai kemajuan semacam itu, mendadak perutku sakit. Mual rasanya. Aku ingin muntah, tapi tak bisa kutahan. Hasilnya, meja kerjaku penuh dengan ceceran muntahan makanan. Berkas-berkas laporan yang sehari-hari aku periksa penuh dengan muntahan itu. Sungguh pemandangan yang sangat menjijikkan. Seumur-umur inilah kali pertama aku melihat hal semacam itu. Sontak, kepalaku menjadi pening. Tiba-tiba aku terjatuh.

Ketika bangun, pertama kali yang kulihat adalah sesuatu yang berwarna putih. Setelah kuamat-amati cukup lama, jelaslah ternyata itu adalah eternit ruangan. Kulihat sekeliling. Di sampingku ada beberapa orang. Istriku, seorang bawahan dan seorang lagi yang tak kukenal berpakaian serba putih.

Istriku lalu menjejaliku dengan rentetan pertanyaan. Apa yang terjadi, Pa? Kenapa bisa begini? Mengapa? Bagaimana? Dan pertanyaan lainnya. Aku bingung. Tak tahu harus menjawab apa.

Untunglah, bawahanku itu menyela meminta pamit. Jadi, aku tak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan istriku. Bawahanku menyalami dan mendo’akanku agar lekas sembuh. Saat bersalaman dengan istriku, istriku mengucapkan terima kasih karena telah mengantarkanku ke rumah sakit ini.

Lalu, orang yang tak kukenal itu menanyaiku. Tadi bapak makan apa? Bapak kurang berolah raga ya? Pertanyaan itu pun tak kujawab. Kemudian, ia menyatakan bahwa aku terserang stroke stadium dua. Aku kaget. Apa benar aku terserang penyakit yang sama diderita oleh banyak kolegaku?

Setelah lama kupikir-pikir, bisa saja penyakit ini menimpaku. Lha wong, penyakit orang-orang yang berduit kan stroke. Wajarlah kalau penyakit ini juga menyerangku dan banyak warga kota yang menjadi kenalanku. Apalagi pada zaman sekarang orang-orang hidup serba berkecukupan, bahkan banyak orang yang berlebih.

Baru sehari aku di rumah sejak kemarin siang. Aku dinyatakan sembuh setelah dirawat selama tiga hari berturut-turut. Dalam masa pemulihan aku sepenuhnya hanya di rumah. Aku cuti kerja. Bawahanku di kantor pasti memakluminya. Sudah biasa aku cuti kerja dengan 1.001 alasan tentunya.

Pagi ini, seperti pagi-pagi yang dulu, aku menyempatkan sarapan. Menu sarapan berupa nasi goreng. Telur dadar, beberapa helai selada dan irisan tomat berada di atasnya. Ketika menyantap makanan, serbuan bau busuk menyerang. Makanan yang baru beberapa kali kukunyah, kumuntahkan seketika.

Pikiranku langsung tertuju kepada petugas pengais sampah. Segera aku ke luar rumah. Benar; perempuan itu lagi. Pengumpul sampah yang kurang profesional. Sampah tercecer di mana-mana. Geram rasanya.

Umpatan-umpatan kasar keluar dari mulutku. Tentunya kutujukan kepada perempuan itu. Dasar tak tahu diri. Bertugas ya dilakukan pada jam kerja. Jangan pada saat orang sedang sarapan. Dia diam tanpa kata. Kulihat ia tergesa-gesa memasukkan sampah-sampah itu ke dalam gerobak sampahnya. Perempuan itu menggunakan kedua tangannya untuk memungut sampah. Tidak lagi menggunakan dua bilah papan dan gancu. Kemudian, ia mendorong gerobaknya meninggalkan bak sampah di depan rumahku.

***

Sejak kejadian itu, aku tidak lagi menjumpai petugas pengumpul sampah mengambil sampah-sampah di depan rumahku. Kian hari sampah itu menumpuk bagai sebuah gunung. Selain mengganggu pemandangan, juga menimbulkan bau busuk yang amat sangat. Setiap kali pergi dan pulang kerja aku selalu disambut oleh pemandangan serupa itu. Bahkan sering kali kulihat banyak lava keluar dari timbunan sampah. Kini, setiap saat ketika berada di rumah, bau busuk selalu menyerangku. Hampir setiap saat aku muntah-muntah.
Aku sudah menghubungi pihak-pihak terkait untuk mengambil sampah-sampah di depan rumahku, khususnya Pak Lurah. Tapi, sampai aku dibawa ke rumah sakit, sampah itu masih menggunung. Karjo juga pernah aku suruh untuk membuang jauh-jauh sampah itu, tapi ia pinsan duluan setelah lima menit berada di dekat sampah itu.

Tak tahan aku terhadap kondisi ini. Penyakit stroke-ku kambuh dan penyakit-penyakit lain mulai menjangkitiku. Istri dan anak-anakku pun terserang berbagai penyakit. Khususnya yang menyangkut pernafasan dan kulit.

Suatu sore Pak Lurah menjengukku. Sebelumnya aku sendirian berada di kamar rawat ini. Istriku dan dua anakku berturut-turut dirawat di ruang sebelah. Pak Lurah menyatakan turut prihatin terhadap kondisiku. Pak Lurah memohon maaf karena belum bisa mengatasi masalah sampah di depan rumahku. Ia menginformasikan kepadaku bahwa masalah serupa juga dialami warga-warga lain. Masalah ini juga yang menjadi sorotan banyak media massa. Dari rapat di balai kota yang beberapa hari lalu diikuti oleh Pak Lurah, masalah sampah menjadi problem utama pemerintah kota. Kata Pak Lurah lagi, petugas pengumpul sampah di kota ini makin langka. Setelah banyak warga kaya, pekerjaan memungut sampah dianggap sangat hina.

“Pak Syukur yang biasa mengambil sampah di kelurahan kita sudah sebulan sakit. Tugas itu kemudian digantikan oleh istrinya. Tapi, entah kenapa sejak dua minggu lalu ia tak lagi bekerja. Ketika diminta untuk bekerja lagi mengumpulkan sampah, ia tak mau lagi. Bahkan dengan iming-iming peningkatkan gaji hingga dua kali lipat. Ia menolak. Kata istri Pak Syukur, ia memilih tidak bekerja dan hidup miskin daripada dihina dan diumpat-umpat. Aku tak tahu apa yang dimaksud,” terang Pak Lurah sambil memeragakan kejadian ketika ia menemui istri Pak Syukur tadi pagi.

Mendengar penjelasan Pak Lurah, sontak aku terkaget. Masalah ini ternyata timbul gara-gara aku. Yang mengumpat kepada petugas pengumpul sampah itu adalah aku. Ya, aku, seorang pegawai yang bekerja di dinas pemerintah kota yang mengurus tentang kesejahteraan warga. Ternyata akulah penyebab kebusukan itu. Akulah sumber bau busuk itu.

Merasa tidak ada lagi yang perlu Pak Lurah sampaikan kepadaku, ia pamit pulang. Kepergian Pak Lurah menjadikan aku serius berpikir dan merenung.
Kehadiran orang miskin sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang dalam kehidupan sosial masyarakat. Mereka tidak dapat dihilangkan atau dimusnahkan. Aku sadar bahwa menghargai orang lain secara manusiawi adalah sesuatu yang paling penting.

Semarang, 21 Februari 2009

Anggun

Cerpen Eko Pujiono


TUHAN MASIH MENCINTAIMU, walaupun saya tidak lagi. Kamu masih selamat. Percobaan bunuh dirimu gagal total. Tiga hari kamu dirawat di rumah sakit. Saya yang menunggui dirimu. Gara-gara bapak, kamu selamat. Untung bapak pulang ke rumah. Ada sesuatu yang tertinggal. Cepat-cepat bapak pulang dari bengkelnya.

Waktu itu, bapaklah yang membopongmu ke rumah sakit. Bapak histeris melihat keadaanmu yang mengenaskan. Dia marah-marah kepada saya. Mengomel; yang saya dengar bagai angin lalu. Saya hanya membiarkan tubuhmu terkapar di lantai. Menyaksikan dengan bola mata saya, kamu kejang-kejang. Mulutmu mengeluarkan busa. Hanya satu yang terpikirkan oleh saya, ”Dasar tolol! Racun serangga kamu minum.”

Telah satu bulan peristiwa itu berlalu. Saya takut kamu nekat. Kalap. Mencoba bunuh diri lagi. Biarpun waktu itu gagal, saya tetap takut kamu mengulangi. Tak pernah lagi saya ucapkan kata-kata itu. Saya kunci rapat-rapat mulut ini. Saya tidak mau melihat kamu meregang nyawa tepat di hadapanku.

Semenjak itu, saya jarang ngobrol denganmu. Biarpun saya dan kamu tidur sekamar. Kini, saya memilih tidak tidur seranjang denganmu. Saya menggelar tikar di lantai. Itu tempat tidur saya yang nyaman.

Kamu tampak sering melamun. Tak banyak aktivitas yang kamu lakukan sehari-hari. Sering kulihat kamu di dalam kamar. Tidur-tiduran. Sesekali kudengar sesenggukkan tangismu. Tangismu itu tak pernah kuhiraukan. Sudah tuli telinga saya mendengar tangismu.

Waktumu banyak kamu habiskan di rumah. Kamu tidak bekerja. Ijazah sarjanamu tidak berguna. Dulu kamu pernah bekerja, biarpun dua bulan sesudahnya kamu dipecat. Kamu dituduh menggelapkan uang perusahaan. Biarpun tidak terbukti, kamu sudah terlanjur dipecat. Tanpa pesangon. Reputasimu buruk. Sesudah itu, tidak ada perusahaan yang mau menerima lamaranmu.

Sehari-hari, paling-paling yang kamu lakukan hanya ke warung untuk berbelanja. Kadang pula kamu meminta saya mengantar ke pasar. Lalu, ke dapur membuat masakan. Mengurus rumah. Mencuci dan menyetrika pakaian. Sendiri kamu lakukan. Di rumah ini hanya tinggal bapak, saya, dan kamu.

Suatu pagi di ruang makan. Hanya ada saya dan kamu.

”Kamu bohong. Sandiwara apa lagi yang kamu buat?” tanya saya di ruang makan rumah orangtuaku.
”Sandiwara apa? Aku tidak bersandiwara. Bukankah kamu yang suka bersandiwara? Hei, pekerja teater,” katamu terheran-heran sambil memegang gelas berisi air putih yang tinggal setengahnya saja.

”Bukankah kamu sendiri juga tahu. Saya pekerja tata lampu. Teater keliling. Bukan berarti saya suka bersandiwara. Bisa akting saja, tidak! Kamu mungkin yang bersandiwara?” tanya saya dengan sinis.
Lama kamu diam. Sedikit merenung. Mungkin melamun. Kamu letakkan gelas di sebelah piringmu yang masih berisi makanan. Belum habis. Tinggal setengahnya. Saya lihat dari tadi makanmu tidak bernafsu. Kamu aduk-aduk isi piring dengan sendok yang kamu pegang.

”Mau kamu apa?” tanyamu tiba-tiba memecah sepi di antara saya dan kamu.

”Saya hanya ingin pisah darimu...,” saya katakan dengan lembut.

”Pisah? Jangan!” balasmu dengan kaget. ”Aku tidak mau pisah denganmu. Aku terlalu sayang kepadamu. Remuklah hatiku jika kamu benar-benar menginginkan itu,” sambungmu dengan mengiba.

”Biarlah itu terjadi. Sudah hancur lebur hati saya kamu bohongi.”

”Siapa yang bohong?”

”Kamu!”

”Aku?”

”Ya, kamu! Siapa lagi kalau bukan kamu. Dasar tolol!”

Segera kamu bangkit. Pergi ke dapur. Entah apa yang kamu cari di sana. Ketika keluar kamu membawa jerigen kecil berisi minyak tanah. Kamu jinjing menggunakan tangan kanan. Lalu, kamu menghampiri saya. Untuk apa minyak tanah itu, pikir saya.

”Aku rela berpisah denganmu. Satu yang harus kamu tahu, aku sangat mencintaimu.” sekali lagi kamu mengiba di depanku. Tangan kirimu memegang ke dua tangan saya. Tak saya hiraukan.

”Aku rela berpisah denganmu. Satu yang harus kamu tahu, aku sangat mencintaimu.” katamu sekali lagi. Kini sambil berlutut.

Sekali lagi kamu katakan kalimat bodoh itu. Dasar tolol, pikir saya. Kemudian kamu bangkit.

”Ok kalau begitu. Kamu mau pisah? Aku turuti. Kamu harus lihat aku mati.” kamu mengancam.

”Mana berani kamu?” tantang saya.

Matamu berkaca. Sedikit sembab. Mukamu memerah. Saya palingkan muka. Saya tidak mau melihat. Wajah penipu yang memelas. Ahh, tidak patut dilihat.

Beberapa saat kemudian kamu mengoceh. Berkata tentang segala hal. Tentang cinta, saya, dan kamu sendiri. Lalu, kamu mengandai-andai. Bicara mimpi-mimpi indah. Tak lupa, kamu juga berjanji. Terdengar meyakinkan. Bagai sales. Yang saya dengar hanya ocehan belaka. Suara-suara yang memekakkan telinga. Khotbah amburadul. Bla.., bla..., bla... Dasar tak tahu diri. Saraf!

Tiba-tiba tidak terdengar suaramu lagi. Kamu diam. Lama. Ketika saya lihat dirimu, kamu sudah terkapar. Mulutmu berbusa. Saya hanya membiarkan tubuhmu terkapar di lantai. Menyaksikan dengan bola mata saya, kamu kejang-kejang. Hanya satu yang terpikirkan oleh saya, ”Dasar bodoh! Minyak tanah kamu minum. Kebodohan yang kamu ulangi.”

Lagi-lagi Tuhan masih mencintaimu, biarpun saya muak denganmu. Kamu masih hidup. Percobaan bunuh dirimu yang ke-dua gagal total. Karena iba, saya membopongmu ke rumah sakit. Kali ini hanya dua hari kamu dirawat di rumah sakit. Lagi-lagi saya yang menunggui dirimu.

***

Saya masih ingin berpisah darimu, biarpun tak pernah saya ucapkan lagi. Saya hanya ingin pisah darimu. Lain tidak..., tidak lebih. Hanya berpisah. Titik. Saya sudah tidak mau dengar kata-kata rayuanmu lagi. Saya ogah dengan janji-janjimu. Saya sudah muak dengan impian-impian tololmu. Apalagi percobaan bunuh diri yang gagal.
Dulu, katamu, saya tampan. Hati saya membumbung tinggi. Kamu satu-satunya perempuan yang mengatakan itu selain ibu saya. Saya benar merasa sebagai seorang laki-laki. Seseorang yang sempurna. Dipuja seorang perempuan yang mencintai saya seutuhnya.

Dulu, janjimu, kamu mau jika saya nikah. Mau menerima segala keadaan saya. Biar miskin, susah, payah sungguh kamu mau. Saya sangat terharu dengan itu. Memang saya ini seorang yang tak punya apa-apa. Lahir di keluarga miskin. Sedikit pendidikan dan memiliki pekerjaan yang kasar. Sebagai kuli lighting. Bayaran juga tidak menjanjikan.
Dulu, mimpimu, ingin membuatkan saya sebuah rumah sederhana dengan kolam renang kecil di belakang rumah. Kamu juga menjamin bakalan menyejahterakan kehidupan saya kelak ketika sudah menikah. Ahhh..., sungguh indah. Saya, kelak, sebagai seorang suami hanya tinggal ongkang-ongkang kaki. Saya tidak perlu bekerja. Saya hanya cukup menikmati hasil peras keringatmu.

Dulu, sempat saya berangan-angan. Hidup saya bakalan berbahagia, kiranya.
Ahhh..., rupanya itu hanya ilusi yang kamu buat. Tidak cukup lama kamu mampu membuat bayang-bayang semu itu. Hanya dua setengah tahun. Tidak lebih. Saya sudah mulai menguak bobroknya ucapanmu itu. Dasar perempuan pengangguran. Pembual. Penyebar omong kosong. Kini, kamu sama miskinnya dengan hidup saya. Kecantikanmu pun sudah mulai pudar. Wajahmu mulai keriput. Tak pernah kamu rawat. Pekerjaanmu hanya merengek. ”Jangan tinggalkan aku.” Kalau saya tidak menuruti, kamu mengancam. ”Kamu mau pisah? Aku turuti. Kamu harus lihat aku mati.”


***

Mungkin karena sudah muak, Tuhan tidak lagi menyanyangimu. Ajal menjemputmu. Pada percobaan bunuh diri yang ke-tujuh, kamu mampus juga. Di kamar mandi kamu menghembuskan nafas terakhir. Tidak ada yang tahu kapan kamu meregangkan nyawa. Pagi buta itu, bapak yang pertama kali melihat tubuhmu membiru. Kaku. Ceceran darah memberi suasana ngeri kematianmu. Pembuluh darah di pergelangan tangan kirimu putus. Pasti kamu sendiri yang melakukannya.

Pada hari kematianmu, saya berada di luar kota. Biasa, ada pementasan keliling di beberapa kota. Saya agak kaget ketika ditelpon bapak bahwa kamu meninggal. Secepat kilat saya pulang. Saya tidak menduga kamu bunuh diri. Kali ini sukses dan berjalan lancar. Saya turut serta prosesi pemakaman dan memberikan penghormatan terakhir jenazah istri saya yang sedari dulu ingin sekali saya cerai. Sore hari itu, tubuhmu yang dibalut gaun putih telah dikebumikan. Selayaknya pula, saya teteskan air mata untuk mengantar kepulanganmu menghadap Sang Pencipta. Anggun, selamat tinggal.

Malam hari, di kamar terasa senyap. Lebih sunyi daripada hari-hari yang lalu bersamamu yang penuh kebisuan. Ditemani temaran lampu, saya merapikan barang-barang milikmu. Saya tak ingin berlama-lama menyimpan kenangan denganmu. Saya rasa semuanya hanyalah kenangan buruk. Semua barang yang dapat mengingatkan dirimu, saya pak kemudian saya masukkan ke dalam kardus. Pakaianmu, foto-foto, sepatu, sandal, pernak-pernik milikmu, buku, dan semua milikmu, termasuk pula alat rias.

Di dalam laci meja rias, saya menemukan buku harianmu. Sampulnya berwarna biru. Masih tampak baru. Saya tidak pernah melihat kamu menulis buku harian. Aahh.., mungkin itu hobi barumu setelah gagal bunuh diri dengan menenggak racun serangga.

Saya pun membukanya tepat di halaman sebuah pena sebagai pembatas. Halaman terakhir yang kamu tulisi. Tertanggal 25 November, satu hari sebelum kamu bunuh diri. Di halaman itu kamu menulis:

Aku tidak bisa tidur1
Orang ngomong, anjing ngonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendiding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan batu

Aku hendak bicara
Suara hilang, tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali
Dia hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali
Sambil tertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba

Air mata saya tumpah. Perasaan haru membuncah. Membaca kata demi kata kalimat yang tertulis di buku harianmu, perasaan menyesal muncul. Semakin banyak saya baca tulisanmu, semakin dada ini sesak. Semakin banyak halaman saya baca, semakin banyak air mata mengalir. Saya menyesal. Anggun, maaf ....

Semarang, 26 November 2008

1Sajak Chairil Anwar Kesabaran dalam Deru Campur Debu

BIRU di SAVANA

Oleh Eko Pujiono

“Pernahkah kamu keliru dalam mengartikan mengenai sesuatu?” tanya seekor burung elang kepada teman akrabnya, kelinci.

“Misalnya?”

“Soal cinta, aku tak paham apa sejatinya itu cinta.”

“Akupun sama. Ibuku tak pernah memberitahuku apa itu cinta. Kemudian guruku di sekolah dulu juga tak pernah menerangkan apa pengertian dari cinta.”

“Memangnya kamu pernah sekolah?”

“Kayaknya pernah. Pernah nggak ya? Kamu pernah lihat aku sekolah?”

Keduanya tertawa terbahak-bahak. Burung elang dan kelinci sedari dulu sudah berteman akrab. Tempat favorit mereka untuk bertemu adalah di pohon ini. Pohon yang hanya satu-satunya di tengah padang rumput yang terhampar hijau warnanya. Sebenarnya masih banyak pohon lain tumbuh di areal savana ini. Namun, pohon-pohon itu tumbuh di pinggiran padang, di lereng bukit yang tidak jauh di sisi padang luas ini, dimana sang surya kembali ke peraduannya.

Padang ini nampak asri. Di sebelah bukit adalah air mengalir dari sumber mata air yang mancur dari celah-celah bebatuan dari dalam lorong goa yang menyeruak ke dalam bukit itu. Airnya jernih, mengalir. Bukit kecil membawa air itu ke tempat yang lebih jauh dan lebih rendah posisinya.

Biasa, kedua sahabat antara elang dan kelinci melepas penat di pohon ini. Pohon yang tidak cukup rindang, karena memang kecil untuk ukuran pohon-pohon lain di hutan sana. Pohon ini hanya cukup menopang tubuh elang yang mlangkring di salah satu cabangnya. Sedangkan si kelinci—karena tidak bisa manjat pohon—duduk asyik di bawahnya. Di tanah yang sekelilingnya penuh rumput hijau sambil mengunyah-ngunyah beberapa untuk mengemil.

Oh ya, elang berjenis kelamin jantan dan kelinci berjenis kelamin betina. Untuk ukuran manusia, usianya baru menginjak usia remaja. Baru puber. Sejak kecil, keduanya sudah bersahabat. Mereka masih bertetangga. Si kelinci tinggal di balik semak di pinggir padang, dekat parit yang mengalirkan air. Sedangkan si elang tinggal di hutan. Awalnya, keduanya sering kali bertemu. Saat elang diajari induknya untuk terbang dan si kelinci diajari induknya berlari dengan lompatan-lompatan.
“Elang, kamu sedang jatuh cinta?” teriak kelinci setelah beberapa saat keduannya terdiam, membuncahkan suasana.

“Jatuh cinta? Aku tak tahu.”

“Kamu naksir siapa?”

“Aku tak tahu, aku bingung, aku tidak bisa mengungkapkan apa-apa. Perasaanku saja yang selalu memikirkan tentang seekor betina yang nantinya akan menelorkan dan menetaskan darah keturunanku. Tapi dia kan saudaraku.”

“Sudah memang seperti itu kan. Kita harus kawin dengan sejenisnya.”

“Tapi itu apakah ada unsur cinta? Aku mengartikan cinta adalah pangkal dari kebahagiaan. Tanpa cinta, apakah akan diperoleh bahagia?”

Si kelinci menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil seperti mendelik matanya, menelan rumput yang telah dikunyahnya. Kelinci terkenal dengan kecerdasan dan kelincahannya. Tak heran, si elang selalu minta arahan tentang berbagai hal. Seperti kali ini. Si elang setelah diberitahu oleh ibunya akan dikawinkan dengan saudaranya oleh bapaknya. Sebelum dipaksa bapaknya, elang diminta dengan baik-baik oleh ibunya.

Semalam si elang baru diberi tahu. Elang kaget harus berbuat apa. Menolak dengan melawan atau menerima dengan tulus ikhlas sebagai tanda balas budi terhadap apa yang selama ini diberikan oleh kedua orang tuanya kepadanya.

“Hmm…, aku tak bisa berpikir soal itu,” jawab kelinci dengan menunduk. “Mungkin aku akan mengalami hal yang sama seperti kamu nanti.”

“Kamu tahu kan saudaraku, sudah ingusan, tak pernah dandan, bulunya acak-acakan. Pokoknya mirip gelandangan deh.”

“Ya, aku tahu. Malah dia suka berak dan kencing sembarangan.”
“Terus, apa sejatinya arti cinta?”

“Entahlah,” si kelinci menghela, “aku juga sedang mencari pengetahuan tentangnya. Yang pasti, menurutku cinta bukan hanya sebuah kata, apalagi ungkapan. Cinta bukan hanya perasaan, pertautan rasa. Cinta adalah universal, universal cinta, cinta universal.”

“Maksudnya?”

“Kamu pikir, jangan hanya nanya doang. Aku juga mikir.”

Si kelinci menggaruk-garuk kepalanya. Si elang juga nampak berpikir. Angin padang rumput ingi juga berpikir. Angin berlalu-lalang dengan santainya. Sepoi yang terasa. Sengat mentari disapu oleh angin. Suara alam memaki sang terik lewat ceceruit binatang yang bersautan. Elang dan kelinci masih berpikir. Matanya kian belok ke kanan-kiri, ke ats-bawah, ke depan-belakang, ke semua penjuru mata angin. Hela nafaspun kian banyak terdengar. Mentari pun enggan menyaksikan pemandangan ini, apalagi dia dimaki-maki penghuni bumi, maka ia berangsur menggelincir ke ufuk barat. Keringatnya bercucuran. Tapi sayang tidak dijatuhkan lewat hujan yang sudah dinanti-nanti penghuni padang ini.

“Begini,” kelinci mencoba menjelaskan, ”cinta universal-universal cinta artinya setiap makhluk memiliki cinta dan merasakan cinta. Setiap waktu, setiap saat, di manapun tempatnya berada.”

“Terus?”

“Pernahkah kamu berpikir bahwa apa yang diberikan dan dilakukan oleh orang tua kita, dari kita bayi sampai seperti ini adalah perwujudan dari cinta. Mereka, orang tua kita, merawat, memberi makan, menyediakan tempat tinggal, membekali kita dengan ilmu, melatih untuk tetap hidup, mempertahankan hidup, mendidik, dan sebagainya. Tanpa memiliki cinta, apakah dengan ikhlas, rela melakukan itu semua kepada kita.”

“Apakah cinta hanya seperti itu? Hanya dari orang tua kepada anaknya.”

“Tidak! Sudah kubilang cinta itu universal. Menurutku cinta adalah pangkal dan muara dari semua hal. Dari yang kita pikirkan, yang kita rasakan, yang kita perbuat. Pokoknya semua yang menyangkut kita sebagai makhluk. Misalnya, ada perasaan benci, marah terhadap manusia yang suka menebang pohon secara membabi buta, memburu dan memangsa kita. Itu karena perasaan cinta kita terhadap kelangsungan kehidupan kita dan masa depan anak cucu kita.”

“Jadi cinta dapat juga diartikan hidup. Tanpa cinta berarti tidak hidup. Mempertahankan cinta berarti mempertahankan kelangsungan hidup kita. Bukankah begitu?”

“Lebih dari itu. Cinta juga yang akan mewarnai, memperindah dan memperkaya makana akan hidup kita ini. Bukan hanya milik kita pribadi, tapi juga apa yang ada di sekitar kita, termasuk anak cucu kita nantinya.”

“Aku jadi tak mengerti.”

“Begitulah cinta, tidak perlu harus dipahami, apalagi dimengerti. Cinta adalah pangkal dan muara segala hal. Karena cinta, ada rasa suka, bahagia meletup-letup, cemburu, marah benci, posesive, minder, malu, takut, muak, jijik, rindu, rasa menggangngu, menyakitkan, bodoh, cerdik, licik, pandai, jujur, bohong, khianat, amanah, sombong, dan semua hal yang lain. Semuanya ada di cinta.”

“Aku jadi bingung.”

“Bingung juga pangkal dari cinta. Kamu memikirkan cinta, kamu jadi bingung, muser-muser kepala, tujuh keliling muternya.”

“Ternyata sudah sore ya, tak terasa. Kira-kira masih ada tentang cinta yang dapat kamu sampaikan padaku.”

“Masih! Tapi aku tak tahu darimana aku akan mengawalinya dan kapan aku mengakhirinya. Lebih baik dicukupkan.”

Si kelinci langsung melompat-lompat menuju sarangnya. Si elang mengepakkan sayapnya. Terbang menuju hutan, tempat ia tinggal.

*******

Elang jadi menikah dengan saudaranya. Pesta kecil diadakan. Cukup meriah. Keduanya langsung membuat sarang, bulan madu, kawin. Bertelor dan mengeram. Pada saatnya telor-telornya menetas dan bayi elang yang merah keluar dari cangkang telornya. Si elang menjadi bapak. Perasaannya bahagia penuh suka cita. Ia pergi ke pohon di tengah padang untuk memberitahukannya kepada sahabatnya, si kelinci. Tapi si kelinci tak ada. Elang menunggu lama, tetap tak nampak si kelinci.Esoknya elang datang lagi dan tak jumpa dengan kelinci. Esoknya lagi. Esoknya lagi. Esoknya lagi. Tetap tidak berjumpa dengan kelinci. Sampai anaknya sudah cukup besar.

Terhadap anaknya, elang mulai dibuat kerepotan. Anaknya makannya mulai bertambah banyak. Sementara ular yang sebagai makanan pokoknya sudah mulai langka didapat. Elang bertambah bingung ketika pulang tidak membawa makanan hasil buruan. Anaknya merengek-rengek, menangis dengan suara melengking sangat kerasnya. Elang hanya bisa melepas sedikit bingungnya dengan mlangkring di pohon di tengah padang. Tapi, kawannya tetap tidak dijumpainya. Padahal ia ingin mencurahkan segala gundah isi perasaannya, kebingungannya.

Sore selepas hujan mengguyur padang rumput ini, kelinci nampak bercengkerama dengan air yang membasahi tubuhnya, di bawah pohon. Ia mengibas-ibaskan tubuhnya. Beberapa saat kemudian elang datang langsung mlangkring di salah satu cabang yang sudah biasa biasa digunakan untuk menunggu kelinci sehari-harinya.

“Apa kabar elang?” tanya kelinci, “sudah lama kita tak bertemu.”

“Sayang, kabar baik tidak ada menyertai diriku.”

“Ada apa?” tanya kelinci lagi dengan kaget.

“Banyak hal terjadi padaku. Tapi, aku ingin meminta sesuatu padamu.”

“Apa?”

“Aku butuh cinta darimu.”

“Apa kamu gila? Aku kelinci, kamu elang.”

“Tidak! Aku waras. Aku butuh cinta darimu untuk kelangsungan hidup anak-anakku, istriku dan aku sendiri yang sedari kemarin belum makan. Ular sudah tidak dapat aku temui. Aku mau cinta darimu.”

“Maksudmu?,” kelinci terbata-bata dan ketakutan. Ia memutuskan untuk berlari meninggalkan elang secepatnya. Ya, secepatnya.

Mata elang menjadi merah. Tajam. Naluri memburu kian memuncak dengan sasaran si kelinci. Sayapnya ia kepakkan dengan kuatnya. Segera iapun meluncur terbang mengejar kelinci. Yang dikejar berkelit dengan berbelok kesana kemari. Kelinci ingin menuju sarangnya. Kiranya disana akan aman. Menyadari akan apa yang akan dialakukan kelinci, elang semakin beringas. Ia mempercepat dan mempertegas laju terbangnya. Cakar-cakarnya sudah disiapkan dalam posisi mencengkeram. Tajam. Dan, “Creppp.” Cakar itu menghujam ke dalam tubuh kelinci. Kelinci itu mengerang kesakitan. Sakit oleh luka dari cakar elang, lebih sakit lagi perasaan yang dirasakan atas perbuatan sahabatnya sendiri.

“Kenapa kamu tega berbuat seperti ini padaku, sahabatmu sendiri?”

“Semua berpangkal dan bermuara dari cinta, seperti apa yang kamu jelaskan padaku dulu.”

“Kamu salah.”

“Salah juga pangkal dari cinta.”

Luka di tubuh kelinci mengeluarkan darah merah segar begitu banyaknya. Kelincipun mulai megap-megap. Nafasnya tak beraturan. Matanya membuyar tatapannya. Hampir gelap sekelilingnya. Tapi, ia masih tetap dengan jelas mengamati roman muka elang yang penuh dengan suka cita dan gembira.

“Elang,” kelinci berujar, “kamu terlalu egois menyoal cinta.” Kemudian dirasakannya semua menjadi gelap pekat. Si kelinci telah mati. Kelinci telah menjadi bangkai.
Maka segera bangkai itu dibawa terbang menuju sarang elang. Dipotong kecil-kecil dengan paruh elang yang sangat tajam. Potongan itu kemudian disuapkan kepada anak-anaknya. Sangat lahap. Istrinyapun ikut makan dengan lahap. Bangkai itu beberapa saat hampir habis dimakan dengan penuh lahap. Si elang yang juga sudah sangat lapar berkeinginan untuk memakan bangkai itu, biarpun itu kawannya sendiri. Malah elang juga lahap. Semuanya lahap. Hingga akhirnya tinggal kulit tempat melekat bulu kelinci dan tulang belulangnya saja yang tersisa. Sejak saat itu, kelinci menjadi makanan favorit elang. Elang selalu terngiang setiap memakan daging kelinci akan ungkapan dari kelinci sahabatnya, “Semua berpangkal dan bermuara dari cinta.”

Padang Syarifah, 17 Oktober 2006.

Dia Anak Siapa?

Cerpen Eko Pujiono


“DIA ANAK SIAPA?” tanyaku, sepenuh pertanyaan. Mencari jawaban darimu, hai, kekasihku. Aku duduk di sampingmu, di samping dia.

Tiada kau jawab. Jawabanmu hanyalah bisu. Kelu. Kau hanya terbaring saja. Di salah satu ranjang sebuah rumah sakit yang khusus menangani persalinan. Kau terbaring. Tiada kau jawab pertanyaanku. Aku sudah menunggu. Tidak kau ucap sepatah katapun. Tanganmu hanya sibuk mengelus pipi bayi merah itu. Dia, terbaring di sampingmu. Di kanan-kirinya, guling kecil sebagai pembatas. Pipinya halus seperti pipimu.

Kutunggu jawaban. Masih tidak ada. Kini kusaksikan kau memainkan bibir kecil itu. Milik dia. Mirip punyamu. Dia, manusia kecil yang berselimutkan kain putih. Dia terpejam. Kulihat dia menggerakkan kepalanya. Terlihat seperti menggeleng. Masih kamu mainkan bibir kecil itu dengan jarimu. Bibir kecil milik dia, kau mainkan. Sama seperti kau bermain-main dengan pertanyaanku.

“Anak siapa dia?” kuulangi pertanyaan itu.

Pertanyaan yang sama, namun berbeda struktur kalimat. Perlakukan sama aku terima. Kau tidak menjawab. Menggerakkan bibir pun tidak. Tatapan matamu hanya ke langit-langit ruangan. Warnanya putih. Lalu, ke tubuh kecil yang terbungkus kain itu. Warnanya juga putih. Hanya beberapa kali kau arahkan pandangamu kepada diriku. Laki-laki yang sudah memacari kamu selama tiga tahun. Tidak kurang.

Aku masih menunggu jawaban. Beberapa patah kata kunantikan keluar dari mulutmu. Mulut yang memiliki bibir sama seperti milik dia. Aku mohon, satu kata saja. Biar aku puas. Biar aku bisa bertanya menggunakan pertanyaan lain. Pertanyaan yang berbeda. Supaya dapat kukuak siapa sejatinya dia. Bayi merah itu.
Kutaksir-taksir, tinggi dia hanya tiga puluh centimeter. Beratnya pun tak lebih dari dua setengah kilogram. Dia itu kecil. Pendek. Kira-kira sama sepertimu kalau sudah besar. Kulitnya putih. Sama seperti kulitmu.
Setelah puas kau mainkan bibir kecil itu, lalu berpindah ke hidung. Hidung yang mungil. Tidak mancung. Tidak pula pesek. Bisa dibilang proporsional. Persis sama seperti hidungmu. Eksotis. Memesona. Hidungmu adalah bagian dirimu yang membuat aku jatuh cinta. Hidungmu sama seperti hidung dia. Bayi kecil itu. Dia yang sedang tertidur di sampingmu. Dalam jangkauanmu. Dia yang dalam lindunganmu.

“Siapa dia?” tanyaku lagi.

Ayo jawab. Jangan hanya diam. Jawab, dia itu anakmu. Dari siapa? Laki-laki mana yang menidurimu? Siapa orang yang menelanjangimu? Membuka pakaianmu satu per satu. Membuka kancing bajumu. Melepasnya kemudian membuang ke lantai. Membuka rok panjangmu. Terlebih dahulu melepas kait rok dan menurunkan resliting itu.
Kemudian, laki-laki itu menikmati tubuhmu yang hanya berbalut BH dan cawat. Memelototi tubuh indahmu. Lalu, melepas BH dan cawat itu. Membuangnya ke lantai. Laki-laki itu juga telanjang. Melepaskan pakaiannya sendiri. Membuang ke lantai. Pakaian kalian berserakan.

Laki-laki itu menciumimu penuh nafsu. Di pipi, di dahi, di hidung, di bibir, di leher, di ... Di seluruh tubuh. Tidak terkecuali. Dan, tubuh yang putih itu, yang mulus itu, direngkuh. Penuh nafsu. Hanya nafsu!
Dimana kalian melakukan itu? Pastinya, di sebuah ruang tertutup. Tersembunyi dari norma-norma. Yang kedap suara sehingga tidak terdengar teriakan moralitas. Yang terdengar hanya lenguhanmu dan laki-laki itu. Bernafsu!
“Dia siapa?” tanyaku dengan pikiran yang mulai kacau.

Bagai bensin disulut api. Meledak. Namun, tidak seperti bom 11 September. Hanya letupan kecil. Hampir mirip mercon. Hanya letupan pikiran yang mulai kacau.

Lagi-lagi tidak kau jawab. Malah seolah tidak kau hiraukan. Aku hanya ingin tahu siapa bapak dia. Siapa yang telah menghamilimu?

Dari tadi kau hanya sibuk mengelus dia. Tanpa menghiraukanku. Pertanyaan-pertanyaan yang butuh jawaban darimu. Kini, kau mengelus alisnya dengan jari tengah tangan kananmu. Kau memiringkan badan. Menghadap bayi kecil itu yang berada di sebelah kirimu. Berbatasan dengan guling kecil. Kau elus alis bayi ituyang berwarna hitam, tebal, dan halus. Sama seperti alismu. Keduanya, alis punyamu dan alis punya dia, bak rembulan sabit tanggal muda.

Elusanmu turun ke kelopak mata dia yang sedang tertutup. Elusan dengan sangat lembut. Dari yang kiri, pindah ke yang kanan. Begitu terus. Hingga tanpa sengaja, elusan jari tengah tangan kananmu membangunkan bayi itu.
Kelompak matanya terbuka. Didahului tangisan khas bayi, namun hanya sebentar. Hanya dua sampai tiga detik.
”Cup... cup... cup... cup...” begitu ujarmu menghentikan tangisan anak kecil itu.

Itu ujaranmu yang aku dengar setelah lama kau membisu. Itu jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Apakah itu sebuah jawaban? Ahh, setidaknya kamu sudah mulai mau berujar. Mau mengeluarkan suara. Pasti sudah kelu tenggorokkanmu menahan diam.

Astaga! Mata anak kecil itu persis seperti matamu. Sorot matanya jernih, sejernih sorot matamu. Matanya bening, sebening matamu. Lensa matanya hitam, sehitam lensa matamu. Bulat. Sama seperti matamu. Pokoknya sama persis.
“Anak siapa?” tanyaku lagi dengan penuh harapan kamu mau menjawab.

Beritahu aku siapa nama laki-laki itu? Satu orangkah? Dua orang? Atau berapa? Kau sudah berhubungan badan dengan siapa saja. Jika kamu takut aku bakal menghajar laki-laki bejat itu, beritahu inisialnya saja. Dimana alamat rumahnya.

“Siapa?” tanyaku lagi dengan memohon kamu mau menjawab.

Aku ini kekasihmu. Tidakkah kau percaya akan cintaku. Akan kasih sayangku. Aku benar-benar cinta dan sayang kepadamu. Beritahu aku. Kamu melakukan itu atas dasar suka sama suka atau kamu dipaksa. Diperkosa. Oleh satu orang laki-laki atau beramai-ramai.

“Anak...?” tanyaku lagi, tapi aku sangsi akan kau jawab.

Oleh sebab itu, tidak aku tuntaskan kalimat tanya itu. Toh, lagi-lagi kamu tak akan jawab. Namun, arah pandangan matamu, pandangan mata yang sama seperti bayi kecil itu, kamu arahkan ke mataku. Sejurus, arah pandangan mata kita sebidang. Kita saling tatap. Tanpa bicara. Hening. Hanya terdengar tarikan dan helaan nafasku, nafasmu, dan nafas dia. Udara berebut menyesaki paru-paruku, paru-parumu, dan paru-paru dia.

“Dia...?” sambil kutunjuk bayi kecil itu. Tetap pandangan mataku dan matamu sebidang. Kau mulai sedikit demi sedikit buka mulut. Agak bergetar bibirmu. Bibir yang sama persis seperti bibir bayi kecil itu. Tiba-tiba matamu berkaca. Selang beberapa menit kemudian, tetesan mata yang putih itu tumpah dari matamu yang mirip dengan mata bayi kecil itu. Kau masih tetap tak memberikan jawaban. Bibirmu saja yang semakin hebat bergetar.
“Dia anak siapa?” kuulangi pertanyaanku. Tentunya aku tuntaskan kalimat tanyaku. Dengan kalimat yang memiliki struktur kalimat tanya yang lengkap.

Harapanku mendapatkan jawaban darimu kian terbuka. Mulutmu semakin membuka. Semakin bergetar. Masih tanpa suara. Berangsur-angsur kupandangi matamu yang sama dengan mata bayi kecil itu. Bibir, hidung, alis... Kupandangi wajahmu sama saja kupandangi wajah bayi kecil itu.

”Dia anakmu...,” jawabmu terbata, kemudian kamu balik bertanya, ”masih ingatkah kau waktu itu, di tempat itu?”

Kakiku bergetar. Semakin berat kaki ini menopang tubuhku. Di kepalaku berkelebat bayang-bayang itu. Waktu itu di tempat itu... Sembilan bulan lalu sebelum aku pergi jauh, di ... Di ruang rumah sakit ini aku dan kamu baru bertemu kembali. Ada dia...

Tidak usah kau jawab, ”Dia anak siapa?”


Semarang, 31 Desember 2008 (Untuk Hana dari mimpi 281208)

DOMPET

Cerpen Eko Pujiono

HUJAN TIBA-TIBA mencurahi bumi. Usai adzan Subuh dari surau di ujung jalan itu, air mengguyur dengan derasnya. Tidak ada petir yang menyambar. Hanya kilat sesekali menerobos ke dalam kamar lewat lubang udara. Subadi sudah sedari tadi terjaga. Matanya memandangi langit-langit. Tajam. Rasanya dia ogah bangun. Apalagi dingin menyusup. Sayup-sayup suara iqomat terdengar, dia tidak memedulikannya.

Hati Subadi tidak tenang. Ada apa gerangan? Pertanyaan itu tidak bisa ia jawab. Kosong. Berpikir begini, ada hal begitu yang mengganjal. Berpikir begitu, ada begini. Ah, capek rasanya. Terdengar suara lenguhan dan tarikan nafas panjang Subadi.
Di kamar itu Subadi sendiri. Ia seorang bujang yang sudah tidak patut dikatakan bujang lagi. Umurnya sudah berkepala tiga. Ia hidup merantau di kota ini dan bekerja sebagai tenaga kebersihan di sebuah lembaga pendidikan kenamaan. Ditanya soal gaji, bisa dibilang pas-pasan. Berkekurangan malah. Dia hanya bisa hidup di kamar kos yang sempit ini. Kunci motor kreditan selalu menemani segenap aktivitasnya. Soal makan, dia sering mampir di warteg, tempat makan murah meriah itu. Urusan pulsa tidak selalu lancar. Untuk menyambung hidup, sering kali dia ngutang. Sejak dulu, hidup Subadi tidak jauh berubah.

Seketika Subadi teringat kejadian seminggu lalu. Di tempat bekerja, sore itu, dia menemukan dompet. Dompet itu berwarna kecokelatan. Agak panjang. Dompet seorang perempuan, pikirnya. Punya siapa kiranya? Tanyanya dalam hati. Dia melihat sekelilingnya. Sepi. Petang sudah menyambut. Malam segera menyusul. Di tempat ini aktivitas berangsur hilang. Subadi sebenarnya sudah akan meninggalkan tempat ini. Di lorong, di antara ruang-ruang kuliah, Subadi terbengong sendiri. Dia merenungi dompet yang kini ada ditangannya itu. Dia duduk di atas bangku panjang tempat mahasiswa menanti waktu kuliah tiba. Dompet itu dia temukan di bawah bangku itu. Persis di bawah tempat dia duduk.

Hatinya bimbang. Subadi bingung. Dompet ini dia kembalikan kepada pemiliknya atau dia ambil isinya. Mungkin di dalamnya banyak uangnya. Dompet ini lumayan tebal. Apalagi saat ini sudah tanggal tua. Isi dompetnya menipis. Ah, kalau tidak dia kembalikan, pasti berdosa. Bukankah mengambil barang milik orang lain yang bukan menjadi haknya adalah sama saja dengan mencuri. Hukumnya haram. Bakal dapat dosa. Begitu Subadi teringat pesan guru ngajinya sewaktu ia masih kecil di kampung halamannya.
Dalam perjalanan pulang, Subadi memikirkan jalan terbaik mengatasi persoalan ini. Tak karuan. Perjalanan pulang yang biasanya menempuh waktu hanya lima belas menit, menjadi molor. Laju sepeda motor yang dikendarai Subadi pelan. Sangat pelan.

***

Di depan pintu gerbang sebuah rumah, Subadi terlihat celingukan. Dia melihat ke sana-ke mari. Bagai pencuri tingkah polahnya. Sesekali dia melihat secarik kartu di tangan kanannya. Kartu itu ia ambil dari dalam dompet yang kini berada dalam genggangan tangan kiri. Terlihat dia mencocokkan sesuatu. Benar, Jalan Kepompong nomor sembilan.

Setelah itu, Subadi memarkirkan kendaraannya seenaknya. Merasa yakin, Subadi menggedor gerbang yang tertutup rapat itu.

“Permisi! Permisi…! Selamat sore, Pak! Bu!” teriak Subadi memanggil si empunya rumah.
Rumah itu besar. Sangat besar. Mewah. Pilar-pilarnya tinggi besar. Rumah itu didominasi warna biru muda. Warna langit. Berbagai jenis tanaman menghias depan rumah. Ada yang tinggi berdaun lebar, ada pula yang seukuran pinggang orang dewasa. Deretan pot yang rapi itu juga berisi tanaman hias. Rumput tampak rapi.

Lama Subadi berteriak-teriak. Namun, tak ada satupun orang yang membukakan pintu. Keringatnya mulai bercucuran. Matahari mulai merangkak menuju ufuk. Dia mulai enggan. Bosan menyergap. Terbersit dalam benaknya untuk pulang saja.

Namun, tunggu dulu. Bagaimana dengan dompet itu? Dompet itu masih dibawa Subadi.
“Mmm.., apa yang harus aku lakukan dengan dompet ini? Dari awal aku sudah berniat mengembalikan dompet ini. Meski hasilnya nihil,” pikir Subadi sambil memandangi dompet itu.

Dengan sedikit gemetar, dompet itu dibuka Subadi. Subadi sudah pernah membuka dompet ini. Dia menemukan sebuah kartu nama dan beberapa uang seribuan lusuh. Berkat kartu nama itu, Subadi bisa berada di tempat ini.

Kali ini Subadi membuka ke celah-celah yang ada di dalam dompet. Selain kartu nama dan beberapa lembar uang seribu itu, dia menemukan STNK atas nama Hartanto tinggal di Jalan Udang 11 Semarang, KTP atas nama Nurul beralamat di Kendal, beberapa kertas kuitansi dan uang seratus ribu terselip di antara sebuah foto seorang laki-laki.
“Aku sudah capek berusaha mengembalikan dompet ini. Lelah. Panas. Kalau usaha ini tidak membuahkan hasil, bukan berarti aku mempunyai niat mengambil isi dompet ini. Jumlah uangnya tak seberapa. Hanya seratus ribu rupiah. Itung-itung sebagai uang lelah bagi aku. Pemilik rumah mewah itu tidak akan jatuh miskin kehilangan uang segitu,” pikir Subadi lagi.

Subadi mengambil uang itu. Lalu, dia meletakkan dompet itu lewat celah yang ada di bawah gerbang. Dia menyorongkannya ke dalam.

“Selain uang, aku tidak membutuhkan barang yang ada di dalam dompet. Mungkin barang-barang itu sangat berharga bagi pemiliknya. Uang ini anggap saja sebagai imbalan. Dompet ini sudah kukembalikan,” bisiknya lirih.

Subadi tidak yakin atas perbuatannya. Mungkin perbuatannya berdosa. Mungkin tidak apa-apa. Dalam hati yang gamang, segera motor itu Subadi arahkan menuju kosnya. Usai sudah urusannya dengan dompet itu.

***

Nurul tidak bisa tidur. Matanya enggan diajak kompromi. Sekarang sudah pukul empat pagi. Dia merasakan sakit yang luar biasa dari dalam perutnya. Nurul belum makan sejak siang tadi. Uangnya habis. Jatah uang dari orangtua Nurul untuknya selama di kota ini telah habis. Dia baru bisa mengambil jatuh uang bulan depan, satu minggu lagi. Nurul kuliah di sebuah lembaga pendidikan kenamaan di kota ini. Sesekali dia mendapat penghasilan tambahan dengan memberi les privat.

Dompet Nurul hilang bersama isinya, tepat satu minggu yang lalu. Beberapa hari yang lalu Nurul mendapat bayaran les bulan ini dari keluarga yang tinggal di sebuah rumah mewah di Jalan Kepompong. Namun, uang itu tak seberapa. Uang itu juga sudah habis tepat pagi tadi untuk sarapan.

Adzan Subuh menggema. Tubuh yang ringkih itu bangkit dari tempat tidur. Terlihat Nurul mengambil mukena. Dia berjalan menuju sumber suara adzan itu. Ketika dia sampai di surau itu, hening menyambut. Setelah berwudhu, dia masuk ke dalam surau itu.
Tiba-tiba hujan mengguyur dengan derasnya. Tak lama iqomat mengalun. Segera Nurul mendirikan sholat Subuh berjamaah.

Sambil menahan sakit, Nurul melakukan gerakan sholat sebisanya. Dalam benaknya terlintas pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan Tuhan, serta nasib baik dan buruk. Dalam dekapan dingin dan curahan air dari langit, tiba-tiba tubuh Nurul menggigil. Dari bibir Nurul yang tipis itu, keluar suara yang sangat lirih: “Apakah Tuhan itu benar-benar adil?”


Mijen, 13 Juni 2009