Kamis, 27 Agustus 2009

Anggun

Cerpen Eko Pujiono


TUHAN MASIH MENCINTAIMU, walaupun saya tidak lagi. Kamu masih selamat. Percobaan bunuh dirimu gagal total. Tiga hari kamu dirawat di rumah sakit. Saya yang menunggui dirimu. Gara-gara bapak, kamu selamat. Untung bapak pulang ke rumah. Ada sesuatu yang tertinggal. Cepat-cepat bapak pulang dari bengkelnya.

Waktu itu, bapaklah yang membopongmu ke rumah sakit. Bapak histeris melihat keadaanmu yang mengenaskan. Dia marah-marah kepada saya. Mengomel; yang saya dengar bagai angin lalu. Saya hanya membiarkan tubuhmu terkapar di lantai. Menyaksikan dengan bola mata saya, kamu kejang-kejang. Mulutmu mengeluarkan busa. Hanya satu yang terpikirkan oleh saya, ”Dasar tolol! Racun serangga kamu minum.”

Telah satu bulan peristiwa itu berlalu. Saya takut kamu nekat. Kalap. Mencoba bunuh diri lagi. Biarpun waktu itu gagal, saya tetap takut kamu mengulangi. Tak pernah lagi saya ucapkan kata-kata itu. Saya kunci rapat-rapat mulut ini. Saya tidak mau melihat kamu meregang nyawa tepat di hadapanku.

Semenjak itu, saya jarang ngobrol denganmu. Biarpun saya dan kamu tidur sekamar. Kini, saya memilih tidak tidur seranjang denganmu. Saya menggelar tikar di lantai. Itu tempat tidur saya yang nyaman.

Kamu tampak sering melamun. Tak banyak aktivitas yang kamu lakukan sehari-hari. Sering kulihat kamu di dalam kamar. Tidur-tiduran. Sesekali kudengar sesenggukkan tangismu. Tangismu itu tak pernah kuhiraukan. Sudah tuli telinga saya mendengar tangismu.

Waktumu banyak kamu habiskan di rumah. Kamu tidak bekerja. Ijazah sarjanamu tidak berguna. Dulu kamu pernah bekerja, biarpun dua bulan sesudahnya kamu dipecat. Kamu dituduh menggelapkan uang perusahaan. Biarpun tidak terbukti, kamu sudah terlanjur dipecat. Tanpa pesangon. Reputasimu buruk. Sesudah itu, tidak ada perusahaan yang mau menerima lamaranmu.

Sehari-hari, paling-paling yang kamu lakukan hanya ke warung untuk berbelanja. Kadang pula kamu meminta saya mengantar ke pasar. Lalu, ke dapur membuat masakan. Mengurus rumah. Mencuci dan menyetrika pakaian. Sendiri kamu lakukan. Di rumah ini hanya tinggal bapak, saya, dan kamu.

Suatu pagi di ruang makan. Hanya ada saya dan kamu.

”Kamu bohong. Sandiwara apa lagi yang kamu buat?” tanya saya di ruang makan rumah orangtuaku.
”Sandiwara apa? Aku tidak bersandiwara. Bukankah kamu yang suka bersandiwara? Hei, pekerja teater,” katamu terheran-heran sambil memegang gelas berisi air putih yang tinggal setengahnya saja.

”Bukankah kamu sendiri juga tahu. Saya pekerja tata lampu. Teater keliling. Bukan berarti saya suka bersandiwara. Bisa akting saja, tidak! Kamu mungkin yang bersandiwara?” tanya saya dengan sinis.
Lama kamu diam. Sedikit merenung. Mungkin melamun. Kamu letakkan gelas di sebelah piringmu yang masih berisi makanan. Belum habis. Tinggal setengahnya. Saya lihat dari tadi makanmu tidak bernafsu. Kamu aduk-aduk isi piring dengan sendok yang kamu pegang.

”Mau kamu apa?” tanyamu tiba-tiba memecah sepi di antara saya dan kamu.

”Saya hanya ingin pisah darimu...,” saya katakan dengan lembut.

”Pisah? Jangan!” balasmu dengan kaget. ”Aku tidak mau pisah denganmu. Aku terlalu sayang kepadamu. Remuklah hatiku jika kamu benar-benar menginginkan itu,” sambungmu dengan mengiba.

”Biarlah itu terjadi. Sudah hancur lebur hati saya kamu bohongi.”

”Siapa yang bohong?”

”Kamu!”

”Aku?”

”Ya, kamu! Siapa lagi kalau bukan kamu. Dasar tolol!”

Segera kamu bangkit. Pergi ke dapur. Entah apa yang kamu cari di sana. Ketika keluar kamu membawa jerigen kecil berisi minyak tanah. Kamu jinjing menggunakan tangan kanan. Lalu, kamu menghampiri saya. Untuk apa minyak tanah itu, pikir saya.

”Aku rela berpisah denganmu. Satu yang harus kamu tahu, aku sangat mencintaimu.” sekali lagi kamu mengiba di depanku. Tangan kirimu memegang ke dua tangan saya. Tak saya hiraukan.

”Aku rela berpisah denganmu. Satu yang harus kamu tahu, aku sangat mencintaimu.” katamu sekali lagi. Kini sambil berlutut.

Sekali lagi kamu katakan kalimat bodoh itu. Dasar tolol, pikir saya. Kemudian kamu bangkit.

”Ok kalau begitu. Kamu mau pisah? Aku turuti. Kamu harus lihat aku mati.” kamu mengancam.

”Mana berani kamu?” tantang saya.

Matamu berkaca. Sedikit sembab. Mukamu memerah. Saya palingkan muka. Saya tidak mau melihat. Wajah penipu yang memelas. Ahh, tidak patut dilihat.

Beberapa saat kemudian kamu mengoceh. Berkata tentang segala hal. Tentang cinta, saya, dan kamu sendiri. Lalu, kamu mengandai-andai. Bicara mimpi-mimpi indah. Tak lupa, kamu juga berjanji. Terdengar meyakinkan. Bagai sales. Yang saya dengar hanya ocehan belaka. Suara-suara yang memekakkan telinga. Khotbah amburadul. Bla.., bla..., bla... Dasar tak tahu diri. Saraf!

Tiba-tiba tidak terdengar suaramu lagi. Kamu diam. Lama. Ketika saya lihat dirimu, kamu sudah terkapar. Mulutmu berbusa. Saya hanya membiarkan tubuhmu terkapar di lantai. Menyaksikan dengan bola mata saya, kamu kejang-kejang. Hanya satu yang terpikirkan oleh saya, ”Dasar bodoh! Minyak tanah kamu minum. Kebodohan yang kamu ulangi.”

Lagi-lagi Tuhan masih mencintaimu, biarpun saya muak denganmu. Kamu masih hidup. Percobaan bunuh dirimu yang ke-dua gagal total. Karena iba, saya membopongmu ke rumah sakit. Kali ini hanya dua hari kamu dirawat di rumah sakit. Lagi-lagi saya yang menunggui dirimu.

***

Saya masih ingin berpisah darimu, biarpun tak pernah saya ucapkan lagi. Saya hanya ingin pisah darimu. Lain tidak..., tidak lebih. Hanya berpisah. Titik. Saya sudah tidak mau dengar kata-kata rayuanmu lagi. Saya ogah dengan janji-janjimu. Saya sudah muak dengan impian-impian tololmu. Apalagi percobaan bunuh diri yang gagal.
Dulu, katamu, saya tampan. Hati saya membumbung tinggi. Kamu satu-satunya perempuan yang mengatakan itu selain ibu saya. Saya benar merasa sebagai seorang laki-laki. Seseorang yang sempurna. Dipuja seorang perempuan yang mencintai saya seutuhnya.

Dulu, janjimu, kamu mau jika saya nikah. Mau menerima segala keadaan saya. Biar miskin, susah, payah sungguh kamu mau. Saya sangat terharu dengan itu. Memang saya ini seorang yang tak punya apa-apa. Lahir di keluarga miskin. Sedikit pendidikan dan memiliki pekerjaan yang kasar. Sebagai kuli lighting. Bayaran juga tidak menjanjikan.
Dulu, mimpimu, ingin membuatkan saya sebuah rumah sederhana dengan kolam renang kecil di belakang rumah. Kamu juga menjamin bakalan menyejahterakan kehidupan saya kelak ketika sudah menikah. Ahhh..., sungguh indah. Saya, kelak, sebagai seorang suami hanya tinggal ongkang-ongkang kaki. Saya tidak perlu bekerja. Saya hanya cukup menikmati hasil peras keringatmu.

Dulu, sempat saya berangan-angan. Hidup saya bakalan berbahagia, kiranya.
Ahhh..., rupanya itu hanya ilusi yang kamu buat. Tidak cukup lama kamu mampu membuat bayang-bayang semu itu. Hanya dua setengah tahun. Tidak lebih. Saya sudah mulai menguak bobroknya ucapanmu itu. Dasar perempuan pengangguran. Pembual. Penyebar omong kosong. Kini, kamu sama miskinnya dengan hidup saya. Kecantikanmu pun sudah mulai pudar. Wajahmu mulai keriput. Tak pernah kamu rawat. Pekerjaanmu hanya merengek. ”Jangan tinggalkan aku.” Kalau saya tidak menuruti, kamu mengancam. ”Kamu mau pisah? Aku turuti. Kamu harus lihat aku mati.”


***

Mungkin karena sudah muak, Tuhan tidak lagi menyanyangimu. Ajal menjemputmu. Pada percobaan bunuh diri yang ke-tujuh, kamu mampus juga. Di kamar mandi kamu menghembuskan nafas terakhir. Tidak ada yang tahu kapan kamu meregangkan nyawa. Pagi buta itu, bapak yang pertama kali melihat tubuhmu membiru. Kaku. Ceceran darah memberi suasana ngeri kematianmu. Pembuluh darah di pergelangan tangan kirimu putus. Pasti kamu sendiri yang melakukannya.

Pada hari kematianmu, saya berada di luar kota. Biasa, ada pementasan keliling di beberapa kota. Saya agak kaget ketika ditelpon bapak bahwa kamu meninggal. Secepat kilat saya pulang. Saya tidak menduga kamu bunuh diri. Kali ini sukses dan berjalan lancar. Saya turut serta prosesi pemakaman dan memberikan penghormatan terakhir jenazah istri saya yang sedari dulu ingin sekali saya cerai. Sore hari itu, tubuhmu yang dibalut gaun putih telah dikebumikan. Selayaknya pula, saya teteskan air mata untuk mengantar kepulanganmu menghadap Sang Pencipta. Anggun, selamat tinggal.

Malam hari, di kamar terasa senyap. Lebih sunyi daripada hari-hari yang lalu bersamamu yang penuh kebisuan. Ditemani temaran lampu, saya merapikan barang-barang milikmu. Saya tak ingin berlama-lama menyimpan kenangan denganmu. Saya rasa semuanya hanyalah kenangan buruk. Semua barang yang dapat mengingatkan dirimu, saya pak kemudian saya masukkan ke dalam kardus. Pakaianmu, foto-foto, sepatu, sandal, pernak-pernik milikmu, buku, dan semua milikmu, termasuk pula alat rias.

Di dalam laci meja rias, saya menemukan buku harianmu. Sampulnya berwarna biru. Masih tampak baru. Saya tidak pernah melihat kamu menulis buku harian. Aahh.., mungkin itu hobi barumu setelah gagal bunuh diri dengan menenggak racun serangga.

Saya pun membukanya tepat di halaman sebuah pena sebagai pembatas. Halaman terakhir yang kamu tulisi. Tertanggal 25 November, satu hari sebelum kamu bunuh diri. Di halaman itu kamu menulis:

Aku tidak bisa tidur1
Orang ngomong, anjing ngonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendiding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan batu

Aku hendak bicara
Suara hilang, tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali
Dia hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali
Sambil tertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba

Air mata saya tumpah. Perasaan haru membuncah. Membaca kata demi kata kalimat yang tertulis di buku harianmu, perasaan menyesal muncul. Semakin banyak saya baca tulisanmu, semakin dada ini sesak. Semakin banyak halaman saya baca, semakin banyak air mata mengalir. Saya menyesal. Anggun, maaf ....

Semarang, 26 November 2008

1Sajak Chairil Anwar Kesabaran dalam Deru Campur Debu

Tidak ada komentar: