Rabu, 26 Agustus 2009

Pengaruh Pengayaan Nuklir Iran Terhadap Stabilitas Global

Oleh Eko Pujiono

Nuklir adalah energi yang paling ditakuti di dunia sejak porak-porandanya kota Nagasaki dan Hiroshima pada 9 dan 12 Agustus 1945, akibat dari bom nuklir. Badan Tenaga Atom Dunia (IAEA) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), atau pakar hukum nuklir internasional mengakui bahwa teknologi nuklir mengandung bahaya yang nyata. Meskipun energi nuklir dapat pula digunakan untuk keperluan yang menguntungkan. Misalnya, penghasil energi listrik, radiasi sel-sel kangker dalam bidang kesehatan, dan beberapa lagi manfaat pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun, akhir-akhir ini ketegangan dunia mencuat ketika Iran dan beberapa negara lain seperti Korea Utara, India, Pakistan, dan Israel melakukan pengayaan Uranium dan Plutonium. Keduanya merupakan bahan dasar penghasil energi nuklir. Amerika Serikat (AS) sebagai negara adikuasa menunjukkan aksi yang eksklusif atas kejadian ini. Akibatnya, ancaman ekonomi dan keamanan menebar momok yang menakutkan. Hubungan diplomasi antar beberapa negara pun terancam putus. Terutama sekali antara Iran dan AS.

Bush, Presiden AS bersikukuh bahwa Iran melakukan pengayaan nuklir untuk kepentingan persenjataan. Hal ini diindikasikan dari keengganan Iran menjawab pertayaan mengenai program pengayaan nuklir yang sedang dijalankan oleh Iran, secara tuntas.

Secara terang-terangan Ahmad Dinejaff, Presiden Iran, mengakui bahwa negaranya sedang menjalankan program nuklir. Namun, program ini dimaksudkan untuk keperluan damai, yakni untuk tenaga listrik, riset kedokteran, ilmu pengetahuan dan teknologi; bukan untuk keperluan senjata seperti yang dituduhkan AS dan negara Barat selama ini.

IAEA sebagai kepanjangan tangan dari PBB, beberapa kali diberikan kesempatan oleh Iran untuk melakukan observasi di tempat-tempat pengayaan nuklir Iran. Biarpun tidak diketemukan bukti adanya program senjata nuklir yang sedang dijalankan Iran, namun di beberapa tempat tim dari IAEA dibatasi untuk melakukan penelitian. Hal inilah yang dijadikan indikasi yang kuat bagi AS dan negara Eropa untuk meyakinkan PBB bahwa tuduhan mereka benar, dan segera mengeluarkan sanksinya bagi Iran.

Tindakan ekskulisif AS terhadap Iran pun mulai dilancarkan. Kalaupun dirunut, sebenarnya sudah sejak terjadinya Revolusi Islam tahun 1979, AS telah memberikan sanksi ekonomi bagi Iran. Apalagi ditambah dengan sanksi dari PBB akibat tuduhan terhadap Iran mengenai program senjata nuklir yang dimiiki Iran. Akibatnya, inflasi ekonomi Iran akan mencapai lebih dari 18 persen pada Maret 2008, menurut Bank Sentral. Imbasnya bagi rakyat Iran adalah kenaikan harga-harga barang yang pada gilirannya mencekik rakyat yang pada umumnya rata-rata mendekati miskin.

Secara lebih luas kondisi ini juga berpengaruh terhadap stabilitas global. Pasalnya, Iran sebagai penghasil minyak kedua di OPEC (setelah Arab Saudi) dan terbesar keempat di dunia, dapat mempengaruhi stok ketersediaan minyak dunia yang dapat mengakibatkan fluktuasi harga minyak dunia, mana kala Iran menghentikan ekspor minyaknya. Secara tidak langsung keadaan ini berpengaruh pula pada negara-negara lain di dunia, termasuk Indonesia.

Karena minyak sangat lazim digunakan dan sangat diperlukan sebagai bahan bakar industri dan mobilisasi, yang pada gilirannya sebagai pemacu roda ekonomi suatu negara. Jika roda ekonomi suatu negara terhambat, maka ekonomi akan terpuruk. Jika terus dibiarkan, krisis akan terjadi yang pada gilirannya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguaran dan kemiskinan.

Sebenarnya di dunia ini sudah ada kesepakatan mengenai penggunaan tenaga nuklir, yakni dalam Traktak Nonprofelasi Nuklir (NPT). Dalam traktak/perjanjian ini disepakati bahwa pemanfaatan nuklir harus di luar kepentingan persenjataan. Meskipun begitu menurut laporan tahunan Institut Perdamaian Internasional Stockholm (Stockholm International Peace Research Institute/SIPRI) tahun 2007, beberapa negara yang diakui oleh NPT atau disebut sebagai negara nuklir, yaitu AS, Rusia, China, Inggris dan Perancis, memiliki lebih dari 26.000 hulu ledak nuklir, termasuk senjata pengirimnya dan suku cadangnya, baik dalam penyimpanan aktif atau tidak aktif.

Masih menurut SIPRI, bahwa di seluruh dunia saat ini terdapat sekitar 1.700 ton Uranium dengan pengayaan tinggi (higly enriched uranium/HUE) dan 5.000 ton Plutonium, yang cukup untuk membuat lebih dari 100.000 senjata nuklir. Malahan AS dan Rusia telah mengumumkan kelebihan pengunaan HUE dari kebutuhan militernya.

Hal ini menunjukkan suatu kontradiksi yang nyata antara AS dan Iran. Semestinya AS tidak memiliki hak untuk mengecam Iran dan menekan PBB untuk mengeluarkan sanksi terhadap Iran. AS sendiri nyata-nyata menggunakan Uranium untuk keperluan militer dalam melengkapi persenjataannya. Atas tindakan Amerika, rakyat Iran terancam kesejahteraannya dan dunia mengalami ketidakstabilan ekonomi, imbas dari fluktuasi harga minyak.

AS sebagai negara super power, secara psikologis, merasa akan tersaingi manakala Iran berhasil mengebangkan senjata nuklir. Hal ini jika dibiarkan, Iran akan menjadi bom waktu bagi AS. AS takut akan datangnya ancaman keamanan dari senjata-senjata nuklir yang akan dibuat Iran. Padahal, itu tidak terbukti. Inilah yang menjadikan AS mengeluarkan tuduhan yang tidak mendasar—sama seperti perang yang terjadi di Irak yang berhasil menggulingkan Presiden Saddam Hussein, karena tuduhan kepemilikan senjata massal oleh Irak—padahal tidak terbukti kebenarannya.

Oleh sebab itu, peran aktif dari PBB dibutuhkan, bukan saja memberikan sanksi secara sepihak tanpa suatu bukti yang jelas. Apalagi sanksi itu diberikan atas desakan yang sangat subjektif dari negara anggota tetap dewan keamanan PBB sendiri, seperti AS dan negara Eropa yang merupakan sekutu sejak Perang Dunia II. PBB harus independent memperjuangkan ketercapaian perdamaian dan kesejahteraan dunia.

Indonesia sebagai negara anggota PBB, seharusnya lebih giat menyuarakan perdamaian dunia, termasuk antara AS dan Iran, dengan mencarikan titik temu antar kedua negara itu. Indonesia sebagai pemilik politik luar negeri yang bebas dan aktif semestinya menjadi pioneer keterjalinan hubungan kerjasama yang baik antar kedua belah pihak. Sehingga ketegangan akibat pengayaan Uranium dan Plutonium untuk persenjataan nuklir, berakhir dan tidak terjadi lagi.

Tidak ada komentar: