Kamis, 27 Agustus 2009

Tiga

Cerpen Eko Pujiono

Aku hanya seonggok daging seorang diri. Ditemani sepi. Nyeri. Aku takhluk pada pagi, pada siang, pada sore, pada malam, pada fajar. Kini, setiap waktu aku takhluk. Di dalam kamar gelap ini aku sendiri. Merenung dalam kehampaan kalbu. Angan melayang. Tak tentu arah. Semua telah berubah. Yang ada hanya karang dan jurang dalam pengap sesak kehidupan. Aku sendiri!

Sudah tiga hari, aku masih diam. Kian diam. Sudah…., aku menyendiri. Hanya sayup angin di luar kamar yang berderai. Kadang berontak. Menghantam sesukanya apapun yang ditabrak. Aku hanya mendengar…, dari balik tembok. Angin menyerbu lewat lubang angin-angin itu.

Kau membohongiku…., dasar sialan! Kenapa kau lakukan itu padaku? Angin itu telah membawa tabir kepalsuan milikmu. Palsumu membuat aku ogah. Aku marah. Aku tak bisa berbuat apa-apa…. Sendiri!

Kamu yang dulu kuanggap seperti malaikat kini telah jadi iblis. Dalam sanubariku kau seperti setan yang laknat. Menggodaku dengan sesuatu, kemudian menikam. Aku masih ingat ketika kau katakan perkataan yang indah itu. Aku terbuai.

“Berbuat baiklah kepada siapa saja yang berbuat baik, juga kepada siapa saja yang tidak berbuat baik kepadamu. Maafkan segala kesalahan yang ditimpakan terhadap dirimu. Lupakan perkara-perkara yang tidak penting dan yang selalu menyakitkan. Tinggalkan dan tegakkanlah kebenaran dengan segera.” Itu kata-kata indahmu yang sangat menyejukkan. Kau katakan mengutip pernyataan Abu Hanifah.

Waktu itu, aku sedang dilanda suatu persoalan. Aku sedang putus cinta. Kau yang telah membantuku menyelesaikannya. Beribu terima kasih aku ucapakan, waktu itu….
Berkat nasehat ampuhmu itu, sejak saat itu aku berusaha agar kau dekat denganku. Aku kian tertarik kepada pribadimu yang memesona. Luhur budi pekerti, santun, dan sekalipun tidak pernah bermuka masam.

Kemudian, suatu ketika di sebuah taman kota, di bawah temaran sinar lampu, kau menyatakan sesuatu. Bagai kejatuhan bulan. Kau mengajakku menikah. Kau menginginkan aku menjadi istrimu. Menjadikan aku ibu yang akan melahirkan benih-benih cintamu. Hatiku sangat bahagia.

Malam itu juga, kita bahas rencana pernikahan kita.
Selang dua hari, kau datang ke rumahku bersama kedua orangtuamu. Di ruang tamu, bapak-ibuku menyambut kehadiran kalian. Ada pembicaraan serius di antara kedua orang tua kita. Setelah menyuguhkan teh hangat, aku diajak ikut pembicaraan. Inti pembicaraan adalah bahwa kedua orang tuamu ingin menjadikanku sebagai seorang menantu. Waktu itu kau tersenyum ketika aku mengangguk tanda mau. Bapak-ibuku pun setuju.

Satu bulan sesudahnya kita menikah. Acara pernikahan kita biarpun sederhana tapi sangat mengesankan. Banyak orang yang datang mengucapkan selamat dan memberi do’a restu. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan selama hidupku. Aku menjadi istrimu.

Setengah tahun kita menikah, hari-hari yang kita lalui selalu berbahagia. Setiap ada persoalan selalu kita bicarakan baik-baik. Seperti ketika kau merisaukan keadaan rumah tangga kita yang masih menumpang di rumah orang tuaku. Lalu, kita pindah ke kota ini. Hidup kita berbahagia meski sederhana. Kau bekerja sebagai karyawan di pusat perbelanjaan setelah puluhan kali melamar pekerjaan.

Sudah lebih dari setahun kita di kota ini. Sudah satu setengah tahun kita menikah, kita belum dikaruniai seorang anak. Aku berbahagia menjadi istrimu. Kau laki-laki yang luar biasa. Hingga tiga hari yang lalu kau masih seperti malaikat.
Entah siapa yang memulai. Tiba-tiba saja kau nyatakan sesuatu. Siang itu, di dalam kamar ini pula. Dengan agak basa-basi, lemah-lembut kau nyatakan:
“Kamu tidak mau dengar. Sudah kukatakan jangan paksa aku untuk marah. Kau terus-terusan paksa. Sekarang aku marah!”
”Ada apa?” timpalku dengan keheranan.
Tidak kau jawab.

Kemudian, kamu pergi. Aku tidak tahu apa-apa, selain terhenyak kaget. Mulutku setengah membuka. Tak kusadari kau telah pergi tinggalkan aku sendiri.
Sampai tiga hari yang telah lalu, aku masih ingat kalimat-kalimat terakhir yang kau katakan kepadaku sebelum kau pergi. Ya, sebelum kau meninggalkanku. Harus kau tahu kata-katamu itu masih terngiang di otakku. Mengharu-birukan perasaanku.
Hingga tiga hari yang telah berlalu, aku belum tahu kenapa kau nyatakan itu. Setahuku aku tidak pernah memaksamu. Sekecil apapun bentuknya. Seingatku, aku tidak pernah melakukan tindakan yang seperti kau tuduhkan itu.
Mungkin aku tidak menyadari....

Hanya satu peristiwa yang teringat. Mungkin sebagai pemicu kau lontarkan pernyataan itu, tiga hari lalu. Peristiwa itu terjadi seminggu yang lalu. Di kamar kontrakan kita ini. Waktu itu aku hanya bercanda. Hanya ingin tahu seperti apa amarahmu itu. Sudah hampir dua tahun kita menikah, kita tidak pernah saling marah. Ya, kita tidak pernah saling bertengkar. Sekalipun tidak pernah.

Kau selalu ingatkanku, ”Jangan paksa aku untuk marah. Aku tidak ingin marah.” Kau katakan itu dengan lembut. Masih saja aku ingin melihat kau marah.
Aku hanya merasa aneh saja. Sekian lama kita menjalin pernikahan, tiada pertengkaran sekalipun di antara kita. Sepertinya pernikahan kita ini hambar. Tiada pedas dan kecutnya. Semua tampak manisnya saja. Kau selalu saja bisa membuat aku tersenyum. Kau goda aku. Kau ceritakan hal-hal yang tidak lucu, tetapi aku bisa tertawa. Tawaku bukan karena ceritamu itu. Tingkahmu sangat lucu saat bercerita. Itu yang membuat aku tertawa.

Malamnya kau datang. Matamu merah. Pakaianmu agak kusut. Aku cium aroma parfum dari tubuhmu. Bukan parfum punyamu. Parfum perempuan. Kau membawa tas besar.
Langsung kau membuka lemari pakaian. Kau keluarkan pakaianmu dari dalam lemari. Kemudian kau masukkan ke dalam tas itu.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Kau tergesa-gesa. Bergerak ke sana ke mari. Kau menghampiri aku. Tiba-tiba saja kau nyatakan sesuatu. Bagai guntur di malam buta, kau minta cerai.

”Saya sudah putuskan. Hidup saya tidak akan bahagia jika terus bersamamu. Maaf, saya ingin bercerai darimu,” katamu lembut tapi keras menampar perasaanku.
Kemudian kau keluar rumah. Pergi.

Dengan mengurai air mata, kucoba mencari-cari kemana kau akan pergi. Kulihat dari balik tirai jendela, kau disambut oleh seorang wanita. Dalam remang-remang, kau masuk ke dalam sebuah mobil sedan bersama wanita itu.

Semarang, 17 November 2008

Tidak ada komentar: