Kamis, 27 Agustus 2009

DOMPET

Cerpen Eko Pujiono

HUJAN TIBA-TIBA mencurahi bumi. Usai adzan Subuh dari surau di ujung jalan itu, air mengguyur dengan derasnya. Tidak ada petir yang menyambar. Hanya kilat sesekali menerobos ke dalam kamar lewat lubang udara. Subadi sudah sedari tadi terjaga. Matanya memandangi langit-langit. Tajam. Rasanya dia ogah bangun. Apalagi dingin menyusup. Sayup-sayup suara iqomat terdengar, dia tidak memedulikannya.

Hati Subadi tidak tenang. Ada apa gerangan? Pertanyaan itu tidak bisa ia jawab. Kosong. Berpikir begini, ada hal begitu yang mengganjal. Berpikir begitu, ada begini. Ah, capek rasanya. Terdengar suara lenguhan dan tarikan nafas panjang Subadi.
Di kamar itu Subadi sendiri. Ia seorang bujang yang sudah tidak patut dikatakan bujang lagi. Umurnya sudah berkepala tiga. Ia hidup merantau di kota ini dan bekerja sebagai tenaga kebersihan di sebuah lembaga pendidikan kenamaan. Ditanya soal gaji, bisa dibilang pas-pasan. Berkekurangan malah. Dia hanya bisa hidup di kamar kos yang sempit ini. Kunci motor kreditan selalu menemani segenap aktivitasnya. Soal makan, dia sering mampir di warteg, tempat makan murah meriah itu. Urusan pulsa tidak selalu lancar. Untuk menyambung hidup, sering kali dia ngutang. Sejak dulu, hidup Subadi tidak jauh berubah.

Seketika Subadi teringat kejadian seminggu lalu. Di tempat bekerja, sore itu, dia menemukan dompet. Dompet itu berwarna kecokelatan. Agak panjang. Dompet seorang perempuan, pikirnya. Punya siapa kiranya? Tanyanya dalam hati. Dia melihat sekelilingnya. Sepi. Petang sudah menyambut. Malam segera menyusul. Di tempat ini aktivitas berangsur hilang. Subadi sebenarnya sudah akan meninggalkan tempat ini. Di lorong, di antara ruang-ruang kuliah, Subadi terbengong sendiri. Dia merenungi dompet yang kini ada ditangannya itu. Dia duduk di atas bangku panjang tempat mahasiswa menanti waktu kuliah tiba. Dompet itu dia temukan di bawah bangku itu. Persis di bawah tempat dia duduk.

Hatinya bimbang. Subadi bingung. Dompet ini dia kembalikan kepada pemiliknya atau dia ambil isinya. Mungkin di dalamnya banyak uangnya. Dompet ini lumayan tebal. Apalagi saat ini sudah tanggal tua. Isi dompetnya menipis. Ah, kalau tidak dia kembalikan, pasti berdosa. Bukankah mengambil barang milik orang lain yang bukan menjadi haknya adalah sama saja dengan mencuri. Hukumnya haram. Bakal dapat dosa. Begitu Subadi teringat pesan guru ngajinya sewaktu ia masih kecil di kampung halamannya.
Dalam perjalanan pulang, Subadi memikirkan jalan terbaik mengatasi persoalan ini. Tak karuan. Perjalanan pulang yang biasanya menempuh waktu hanya lima belas menit, menjadi molor. Laju sepeda motor yang dikendarai Subadi pelan. Sangat pelan.

***

Di depan pintu gerbang sebuah rumah, Subadi terlihat celingukan. Dia melihat ke sana-ke mari. Bagai pencuri tingkah polahnya. Sesekali dia melihat secarik kartu di tangan kanannya. Kartu itu ia ambil dari dalam dompet yang kini berada dalam genggangan tangan kiri. Terlihat dia mencocokkan sesuatu. Benar, Jalan Kepompong nomor sembilan.

Setelah itu, Subadi memarkirkan kendaraannya seenaknya. Merasa yakin, Subadi menggedor gerbang yang tertutup rapat itu.

“Permisi! Permisi…! Selamat sore, Pak! Bu!” teriak Subadi memanggil si empunya rumah.
Rumah itu besar. Sangat besar. Mewah. Pilar-pilarnya tinggi besar. Rumah itu didominasi warna biru muda. Warna langit. Berbagai jenis tanaman menghias depan rumah. Ada yang tinggi berdaun lebar, ada pula yang seukuran pinggang orang dewasa. Deretan pot yang rapi itu juga berisi tanaman hias. Rumput tampak rapi.

Lama Subadi berteriak-teriak. Namun, tak ada satupun orang yang membukakan pintu. Keringatnya mulai bercucuran. Matahari mulai merangkak menuju ufuk. Dia mulai enggan. Bosan menyergap. Terbersit dalam benaknya untuk pulang saja.

Namun, tunggu dulu. Bagaimana dengan dompet itu? Dompet itu masih dibawa Subadi.
“Mmm.., apa yang harus aku lakukan dengan dompet ini? Dari awal aku sudah berniat mengembalikan dompet ini. Meski hasilnya nihil,” pikir Subadi sambil memandangi dompet itu.

Dengan sedikit gemetar, dompet itu dibuka Subadi. Subadi sudah pernah membuka dompet ini. Dia menemukan sebuah kartu nama dan beberapa uang seribuan lusuh. Berkat kartu nama itu, Subadi bisa berada di tempat ini.

Kali ini Subadi membuka ke celah-celah yang ada di dalam dompet. Selain kartu nama dan beberapa lembar uang seribu itu, dia menemukan STNK atas nama Hartanto tinggal di Jalan Udang 11 Semarang, KTP atas nama Nurul beralamat di Kendal, beberapa kertas kuitansi dan uang seratus ribu terselip di antara sebuah foto seorang laki-laki.
“Aku sudah capek berusaha mengembalikan dompet ini. Lelah. Panas. Kalau usaha ini tidak membuahkan hasil, bukan berarti aku mempunyai niat mengambil isi dompet ini. Jumlah uangnya tak seberapa. Hanya seratus ribu rupiah. Itung-itung sebagai uang lelah bagi aku. Pemilik rumah mewah itu tidak akan jatuh miskin kehilangan uang segitu,” pikir Subadi lagi.

Subadi mengambil uang itu. Lalu, dia meletakkan dompet itu lewat celah yang ada di bawah gerbang. Dia menyorongkannya ke dalam.

“Selain uang, aku tidak membutuhkan barang yang ada di dalam dompet. Mungkin barang-barang itu sangat berharga bagi pemiliknya. Uang ini anggap saja sebagai imbalan. Dompet ini sudah kukembalikan,” bisiknya lirih.

Subadi tidak yakin atas perbuatannya. Mungkin perbuatannya berdosa. Mungkin tidak apa-apa. Dalam hati yang gamang, segera motor itu Subadi arahkan menuju kosnya. Usai sudah urusannya dengan dompet itu.

***

Nurul tidak bisa tidur. Matanya enggan diajak kompromi. Sekarang sudah pukul empat pagi. Dia merasakan sakit yang luar biasa dari dalam perutnya. Nurul belum makan sejak siang tadi. Uangnya habis. Jatah uang dari orangtua Nurul untuknya selama di kota ini telah habis. Dia baru bisa mengambil jatuh uang bulan depan, satu minggu lagi. Nurul kuliah di sebuah lembaga pendidikan kenamaan di kota ini. Sesekali dia mendapat penghasilan tambahan dengan memberi les privat.

Dompet Nurul hilang bersama isinya, tepat satu minggu yang lalu. Beberapa hari yang lalu Nurul mendapat bayaran les bulan ini dari keluarga yang tinggal di sebuah rumah mewah di Jalan Kepompong. Namun, uang itu tak seberapa. Uang itu juga sudah habis tepat pagi tadi untuk sarapan.

Adzan Subuh menggema. Tubuh yang ringkih itu bangkit dari tempat tidur. Terlihat Nurul mengambil mukena. Dia berjalan menuju sumber suara adzan itu. Ketika dia sampai di surau itu, hening menyambut. Setelah berwudhu, dia masuk ke dalam surau itu.
Tiba-tiba hujan mengguyur dengan derasnya. Tak lama iqomat mengalun. Segera Nurul mendirikan sholat Subuh berjamaah.

Sambil menahan sakit, Nurul melakukan gerakan sholat sebisanya. Dalam benaknya terlintas pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan Tuhan, serta nasib baik dan buruk. Dalam dekapan dingin dan curahan air dari langit, tiba-tiba tubuh Nurul menggigil. Dari bibir Nurul yang tipis itu, keluar suara yang sangat lirih: “Apakah Tuhan itu benar-benar adil?”


Mijen, 13 Juni 2009

Tidak ada komentar: