Rabu, 26 Agustus 2009

Tradisi yang Hampir Mati

Oleh Eko Pujiono

Kota batik di Pekalongan
Bukan Solo, bukan Jogja

Lirik di atas mungkin tak asing di telinga kita. Dilantunkan oleh group band kenamaan Indonesia, Slank. Sekilas, dua baris lirik itu sangat jelas maknanya. Kota batik itu, ya, di Pekalongan. Bukan Solo, juga bukan Jogja. Namun, lewat lirik itu, Slank secara tidak sadar sedang mempersempit ruang “produksi” batik. Dengan kata lain, gudangnya batik, ya, di Pekalongan.

Jika dikaji lebih dalam sebenarnya lirik itu ingin memperjelas, jika tidak mau dikatakan mempertegas, bahwa batik merupakan “monopoli” Pekalongan. Produk batik luar Pekalongan, meski merupakan batik, bukanlah batik “asli” karena bukan buatan Pekalongan. Dengan kata lain, hanya sebagai produk imitasi atau tiruan.

Hipotesis ini bukan berarti ingin menyudutkan Slank yang telah menulis lirik itu, namun ini hanyalah sebuah ajakan untuk peduli terhadap batik. Batik, sekarang ini bahkan sejak lama, dianggap sebagai pakaian kuno dan tidak modis. Ironisnya, batik dipandang sebagai pakaian jadul atau dari zaman bahula. Tak heran jika banyak orang, khususnya kaum muda, enggan memakai baju batik. Tragis memang.

Jika dikaji lebih mendalam, batik merupakan kerajinan yang memiliki nilai estetis tinggi. Batik memiliki banyak pilihan, motif, dan kekhasan. Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki kerajinan yang satu ini. Aneh bukan jika bangsa sendiri tidak banyak yang mengenal?

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga pada masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Istilah batik berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "titik". Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan "malam" (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya "wax-resist dyeing".

Dalam perkembangannya ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah.

Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tradisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Meski batik merupakan tradisi, namun mengamati kondisi saat ini anggapan semacam ini harap dinomorsekiankan. Apa pasal? Karena batik masih dianggap pakaian sakral, sehingga tidak akan banyak dijumpai orang-orang memakai batik di tempat-tempat non-formal. Jarang ditemui orang yang mengenakan batik di pasar, di mall, di tempat rekreasi, bahkan di rumah sendiri. Mengenakan batik tidak berjodoh dengan bersantai, pakaian harian maupun memiliki keakraban dengan masyarakat kita sendiri. Batik hanya berjodoh di acara adat (tradisional) atau di acara semi-formal seperti acara resepsi pernikahan.

Kembali ke lirik lagu Slank di atas, ditemui lagi alasan Slank menulis baris itu, yakni: batik itu tersentral, bukan nasional. Pekalonganlah sentral batik, lainnya tidak. Tak salah jika mengambil kesimpulan bahwa batik telah tereduksi dari tradisi nasional menjadi lokal. Pantaslah jika pamor batik telah meredup.
Teringat pepatah kuno yang tepat menggambarkan kondisi batik saat ini. Hidup segan, mati tak mau. Ya, itulah yang sesuai untuk menyatakan batik sebagai tradisi yang hampir mati…[***]

Tidak ada komentar: