Sabtu, 15 Agustus 2009

Jawa Musnah?

Ajining manungsa saka busana, ajining diri saka lathi

Peribahasa Jawa di atas kurang-lebih berarti: harga manusia dipandang dari apa yang dipakainya, harga diri dari ucapannya. Harga berarti nilai suatu barang yang dijual/dibeli; martabat; atau kehormatan. Harga manusia dapat berarti kehormatan manusia; harga diri bisa berarti martabat diri. Martabat sendiri berarti tingkatan harkat kemanusiaan.

Tampaknya masyarakat Jawa kini telah tercerabut dari akar Jawa-nya. Kenapa demikian? Mengamati kondisi sekarang ini, rasanya makna pepatah itu telah banyak dilupakan oleh banyak orang, lebih-lebih oleh orang Jawa sendiri. Sekarang ini banyak kita jumpai anak muda Jawa yang tidak njawani. Misalkan saja dalam hal bertutur kata, anak-anak muda sekarang tidak banyak menggunakan bahasa Jawa yang menonjolkan kearifan budi dengan bahasa yang santun dan lembut. Mereka cenderung lebih suka menggunakan bahasa ngoko, dan lebih tragisnya lagi dengan ngoko kasar kepada teman sebayanya atau orang yang lebih tua atau yang patut dihormati.

Dalam hal berpakaian, sosok pribadi Jawa tak tampak dalam keseharian anak muda Jawa kita. Mereka lebih suka memakai jeans ketat, kaos oblong, berjaket tebal dengan berbagai model. Mulai dari celana model cutbrei, pensil, sampai celana kedodoran yang memperlihatkan kolor celana dalamnya.

Ini baru pakaian bawahan, belum lagi model pakaian atasan yang beraneka ragam. Mulai dari kaos super ketat yang menampakkan lekuk tubuh si pemakai hingga model tank top yang benar-benar menampakkan bagian tubuh pemakainya—bagian tubuh yang seharusnya dapat tertutupi dengan pakaian yang wajar.

Anehnya lagi mereka tidak memiliki rasa malu berpakaian semacam itu di tempat-tempat umum. Di tempat perbelanjaan atau mall, misalnya. Malah tampaknya mereka merasa enjoy aja.
Gejala ini patut diwaspadai. Jangan-jangan masyarakat Jawa yang adi luhung itu telah punah atau dalam proses menuju kepunahannya. Jika hal ini benar-benar nyata, alangkah tragis kenyataan ini. Manakala bumi Jawa sebagai tempat tumbuh kembang masyarakat Jawa belumlah hancur diguncang gempa atau ditimpa bencana, ternyata masyarakat Jawa telah terkikis habis nilai-nilai kejawennya.

Mungkinkah kita bertanya kepada rumput yang bergoyang? Seperti yang ditanyakan oleh Ebit G. Ade dalam lagunya untuk mempertanyakan kenapa negerinya selalu dirundung bencana? Sama halnya yang terjadi pada masyarakat Jawa kita saat ini, kita sedang ditimpa bencana tapi kita tidak mau tahu apa dan kenapa?


Identitas Jawa

Sekarang ini kita kesulitan mengidentifikasi masyarakat Jawa. Dalam hal berpakaian tradisional Jawa, kita hanya menjumpai dikenakan saat acara-acara seremonial, semisal pernikahan. Sorjan, beskap, kebaya, jarik, selop, blangkon, sanggul, menjadi sesuatu yang asing bagi kaum muda Jawa masa kini.
Bahasa Jawa sebagai salah satu pembeda dengan suku lain di Indonesia, jika kita kaji lebih jauh lagi, ternyata sudah tidak relevan lagi kita gunakan dalam pergaulan nation Indonesia.

Tahun 1928 dalam Kongres Pemuda II, kita telah mengikrarkan diri untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Apakah kita tetap ngotot masih menggunakan Bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi dengan saudara kita dari suku lain? Tentunya tidak. Pastinya mereka tidak begitu paham dengan Bahasa Jawa.

Nasionalisme telah memaksa kita mengikis sedikit demi sedikit kekhasan yang merupakan identitas kesukuan Jawa. Rasa andarbeni Jawa oleh masyarakatnya sedikit demi sedikit beralih pada rasa memiliki Indonesia. Oleh sebab itu rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan pada negeri ini mulai membius kita untuk meninggalkan identitas kesukuan kita.

Karena itu sebagian kepentingan masyarakat Jawa untuk nguri-nguri nilai-nilai dan budayanya harus juga di-legowo-kan untuk kepentingan masyarakat suku lain dalam wadah kepentingan nation Indonesia. Imbasnya, menumbuhkembangkan pengetahuan dan kecintaan kaum muda Jawa masa kini terhadap tradisi Jawa, menjadi persoalan yang pelik.

Apakah kita akan menempatkan kepentingan komunal di atas kepentingan nation agar dapat mengkapanyekan tradisi Jawa diterapkan oleh masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-harinya?


Peran pendidikan

Peran pendidikan (tinggi) bukan saja amat besar, tetapi juga memiliki posisi strategis dalam nguri-nguri nilai dan budaya Jawa. Dibukanya program studi yang khusus menjadikan Jawa menjadi pokok studinya, seperti Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa di beberapa perguruan tinggi, menjadi angin segar bagi kita semua yang menginginkan budaya Jawa tetap eksis dalam masyarakat Jawa.

Pendidikan (tinggi) dengan tri-dharmanya—pendidikan, penelitian, dan pengabdian—akan dapat menggali, meyakinkan masyarakat penggunanya dengan metode-metode ilmiah, mengajarkan pada generasi selanjutnya mengenai bidang kajiannya itu. Budaya akademis yang menjadi imej sentral dalam pendidikan (tinggi) akan mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang menjunjung nilai-nilai keilmiahan. Dengan begitu budaya Jawa akan matang bukan saja dalam ranah teori tetapi juga dalam praktik keseharian, setidaknya oleh para lulusannya.

Namun, menjadi pertanyaan kita semua: apakah pendidikan (tinggi) yang semacam itu akan diminati oleh pemuda Jawa masa kini? Pertanyaan selanjutnya yang muncul, bagaimana pendidikan (tinggi) itu kini dapat memainkan peran strategisnya dalam relung nasionalisme dan di tengah gempuran era globalisasi?

Pemerintah sebagai pengatur regulasi segala hal yang ada di negeri ini, peranannya juga turut diharapkan. Setidaknya pemerintah dapat mengatur penempatan lulusan dari pendidikan (tinggi) itu. Agar mereka—para lulusan—benar-benar diberdayakan pada lajur yang benar sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajarinya, yakni tentang Jawa. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada cerita pendidikan (tinggi) dengan jurusan berembel-embel ”J” sepi peminat atau malah tutup pada waktu tertentu setelah terjadi ledakan peminat yang menggila.

Peran masyarakat pun sangat dibutuhkan. Masyarakat Jawa dengan kondisi seperti ini sangat butuh insan-insan yang sadar akan nilai luhur dan kebudayaan Jawa. Insan yang semacam itulah yang diharapkan mampu mendorong percepatan munculnya sikap yang mengombinasikan berbagai aspek seperti penguasaan kognisi (ilmu pengetahuan dan teknologi), afeksi (wisdom, self-correction, critical thinking and attitude) sebagai bagian pembentukan kultur yang menghimpun berbagai aspek kehidupan seperti norma dan identitas Jawa guna menghadapi berbagai persoalan pembangunan yang kian rumit di masa datang.
Karena itu, kita semua dari berbagai kalangan tidak boleh berpangku tangan. Membudayakan budaya Jawa dalam masyarakat Jawa lebih efektif bila dimulai dari kita sebagai pribadi Jawa yang tak mau luntur nilai-nilai luhur Jawanya. Disadari atau tidak sebagai bagian dari masyarakat Jawa, kita dilahirkan dari nenek moyang Jawa. Akankah kita melupakan nenek moyang kita? Jika ya, maukah kita dilupakan anak turun kita, kelak?

Tidak ada komentar: