Kamis, 27 Agustus 2009

Kapitalisme dalam Cerpen Mardijker karya Damhuri Muhammad Sebuah Manifestasi Perlawanan

Eko Pujiono (NPM 07410728)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Semarang

Abstrak

Tulisan ini berjudul “Kapitalisme dalam Cerpen Mardijker karya Damhuri Muhammad Sebuah Manifestasi Perlawanan”. Adapun permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana wujud perlawanan terhadap kapitalisme dalam Cerpen Mardijker karya Damhuri Muhammad.
Tulisan ini merupakan tulisan berdasarkan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan Marxisme. Dari analisis ditemukan bahwa wujud perlawanan terhadap kapitalisme berawal dari hubungan sejarah masa lalu Natan Soedira sebagai “mardijker”. Masa lalu itu tersingkap bersamaan dengan adanya kapitalisme kolonialis dan kapitalisme imperialis. Pada saat sekarang, terjadi apa yang dinamakan kapitalisme borjuis atau industrial modern yang diwujudkan dengan adanya ketergantungan sebagian masyarakat kota terhadap Latanza Café yang merupakan alat ekonomi kaum borjuis, dengan mengunjungi tempat itu. Sementara itu, Natan Soedira dilihat dari tampilan luarannya tidak ubahnya seperti gembel, mewakili golongan proletar melakukan perlawanan terhadap kaum borjuis. Perlawanan itu dimanifestasikan dengan setiap hari dan hampir setiap waktu Natan Soedira berada di sekitar Latanza Café kemudian berteriak-teriak menganggil “mardijker” kepada semua pengunjung cafe. Perlawanan ini dimenangkan oleh kaum pemodal.

Kata kunci: kapitalisme, manifestasi, perlawanan


I. PENDAHULUAN
Menurut Wellek (1990 : 110) kritikus aliran marxisme tidak hanya mempelajari kaitan sastra dengan masyarakat tetapi juga memberi batasan bagaimana seharusnya hubungan itu dalam masyarakat zaman sekarang dan masyarakat di masa mendatang yang tidak mengenal kelas. Lebih jauh Wellek (1990 : 129) menyebut bahwa kaum marxisme memandang kemajuan bergerak dari feodalisme melewati fase kapitalisme borjuis menuju “kekuasaan kaum proletar”. Menurut Noor (2004 : 122) marxisme merupakan teori yang erat kaitannya dengan ekonomi, sejarah, masyarakat, dan revolusi.
Mardijker merupakan Cerpen karya Damhuri Muhammad yang dimuat di harian Suara Merdeka edisi Minggu, 18 Januari 2009. Dari judulnya, Mardijker, berarti “orang merdeka”, mempunyai antonim “orang terjajah”. Terjajah apakah? Kapitalisme? Dari uraian di atas, tulisan ini menguraikan bagaimanakah wujud perlawanan terhadap kapitalisme dalam Cerpen Mardijker karya Damhuri Muhammad?

II. PEMBAHASAN
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kapitalisme berarti sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan-perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasaran bebas. Kapitalisme berasal dari asal kata kapital yang berarti modal. Sementara itu, kapitalis adalah kaum bermodal; orang yg bermodal besar; golongan atau orang yg sangat kaya.
Weber (2006: 78) membedakan dua tipe dasar kapitalisme: “kapitalisme politis” dan “industrial modern” atau “kapitalisme borjuis”. Dalam kapitalisme politis, peluang datangnya laba tergantung pada persiapan bagi eksploitasi peperangan, penaklukan, dan kekuasaan prerogatif administrasi politik. Termasuk dalam kapitalisme tipe ini adalah imperialis, kolonial, petualangan atau penjarahan, dan fiskal. Dengan kapitalisme imperialis, Weber (2006: 78) menunjuk pada sebuah situasi dimana kepentingan laba merupakan pembuka jalan atau ahli waris ekspansi politik. Contoh utamanya adalah Imperium Romawi dan Inggris, serta imperialisme kompetitif zaman ini. Kapitalisme kolonial, terkait erat dengan imperialisme politik, menunjuk pada kapitalisme yang memetik keuntungan dari eksploitasi komersial hak prerogatif politik atas wilayah takhlukan. Hak prerogatif seperti itu meliputi monopoli dagang yang dijamin secara politis, juga kerja paksa. Kapitalisme petualangan, menunjuk pada serangan yang dipimpin secara kharismatik atas negeri-negeri asing demi mengeruk harta karun. Harta demikian mungkin saja diambil dari berbagai kuil, kuburan, tambang, atau lemari para pangeran yang dikalahkan, atau bisa pula ditarik sebagai pengutan pada perabot hias dan perhiasan penduduk (Weber, 2006 : 78). Kapitalisme fiskal, sebagaimana digunakan Weber (2006 : 79), menunjuk pada peluang keuntungan tertentu yang berasal dari eksploitasi hak prerogatif politik.
Keunikan kapitalisme industrial modern terletak pada fakta bahwa suatu pembentukan produksi spesifik muncul dan diperluas dengan mengorbankan unit-unit produksi pra-kapitalis. Pembentukan produksi ini mempunyai prakondisi legal, politik, dan ideologisnya, dan bagaimanapun juga pra kondisi itu secara historis unik (Weber, 2006 : 79).
Bagi Weber (2006 : 80), kapitalisme adalah bentuk tertinggi dari operasi-operasi rasional; tetapi hal itu diimplementasikan dengan dua irasionalitas: sisa-sisa sikap yang sebelumnya tertambat secara religius: seruan irasionalitas dan dorongan untuk melakukan kerja berkesinambungan; sosialisme modern, dipandang sebagai “utopia” dari mereka yang tidak sanggup bertahan dalam apa yang bagi mereka tampak sebagai ketidak-adilan tidak masuk akal dari sebuah tatanan ekonomi yang membuat mereka bergantung pada pengusaha dengan hak milik.
Marx, menurut Weber (2006 : 81) menambahkan sebuah aspek historis dengan menekankan sifat modern spesifik kelas borjuis dan proletar. Konsep dasar pemikiran Marx, yaitu falsafah historic-materialisme dan dialectica. Menurut falsafah itu, struktur masyarakat sangat menentukan kehidupan sosial, politik, intelektual, dan kebudayaan. Dalam evolusi sejarah yang terus menerus akan terlihat bahwa bermacam-macam interaksi ekonomi akan menciptakan berbagai kelas yang bertentangan, yang pada akhirnya dimenangkan oleh kelas tertentu. Interaksi ekonomi yang baru akan menciptakan kelas baru, dan terjadi lagi perlawanan terhadap kelas yang berkuasa. Demikian terus menerus terjadi bentuk pertentangan kelas. Falsafah ekonomi Marx menerangkan bahwa pertentangan kaum borjuis melawan kaum proletar pasti melahirkan revolusi yang menghancurkan sistem kapitalis sehingga tercipta masyarakat tanpa kelas (Noor; 2004 : 122).
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, perlawanan berarti perjuangan; usaha mencegah (menangkis, bertahan, dsb); atau pertentangan. Sedangkan manifestasi /maniféstasi/ adalah perwujudan sebagai suatu pernyataan perasaan atau pendapat; perwujudan atau bentuk lahir dari sesuatu yang tidak kelihatan.
Perlawanan tidak selalu identik dengan kekerasan. Seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi, yang terlahir di India tanggal 2 Oktober 1869 dengan nama Mohandas Karamchand Gandhi, dikenal sebagai figur yang memperjuangkan kemanusiaan dengan konsep ahimsa (tanpa kekerasan).
Melalui perjuangannya, kasta Sudra – yaitu golongan kelas bawah atau budak di India -yang sebelumnya dikucilkan, mulai mendapat perlakuan yang lebih manusiawi. Gandhi juga memperjuangkan hak-hak kaum wanita yang sebelumnya sangat tertindas di India. Melalui perjuangannya yang tak kenal lelah, akhirnya India memperoleh kemerdekaan dari Inggris.
Dalam menjalankan aksi perlawanannya, ia selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis gerakan. Beberapa gerakan tersebut, antara lain; Ahimsa, Satyagraha, Swadesi dan Hartal. Secara etimologi, ahimsa berarti “tidak menyakiti”. Namun bagi Gandhi, Ahimsa diartikan sebagai tindakan menolak keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri sendiri dengan memperalat dan mengorbankan orang lain. Menurut Gandhi, ahimsa dan kebenaran ibarat saudara kembar yang sangat erat. Namun, ia membedakannya dengan jelas bahwa ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan kebenaran sebagai tujuannya. Tindakan mengejar kebenaran dengan sarana ahimsa tanpa adanya kekerasan, merupakan wujud dari satyagraha. Sedangkan swadesi adalah cinta tanah air sendiri, dan hartal, merupakan semacam pemogokan nasional, toko-toko dan urusan dagang ditutup sebagai protes politik.

Dalam cerpen ini kaum proletar diwakili oleh tokoh Natan Soedira. Proletar adalah orang dari golongan proletariat. Sementara itu, proletariat berarti lapisan sosial yang paling rendah; golongan buruh, khususnya golongan buruh industri yang tidak mempunyai alat produksi dan hidup dari menjual tenaga.
Dilihat dari tampilan luar dengan bajunya yang lusuh dan penuh tambalan dengan jahitan serampangan, menunjukkan bahwa Natan Soedira berasal dari lapisan sosial yang paling rendah. Perhatikan kutipan di bawah ini:

..lelaki ringkih itu tidak jauh berbeda dari gembel-gembel yang terus membiak seperti kuman ganas yang menggerogoti kota ini.

Sementara itu, golongan borjuis atau golongan kapitalis (pemilik modal) diwakili oleh pemilik Latanza Café. Lihat kutipan di bawah ini:

Seorang pengusaha dari Jakarta membeli rumah kuno peninggalan zaman VOC itu (kabarnya dengan harga miring), lalu merenovasi sedemikian rupa hingga menjadi Latanza Café, tempat nongkrong anak-anak muda kalangan kelas menengah kota ini.

Pengungkapan tentang jatidiri Natan Soedira tidak bisa lepas dari jasa Timor, tokoh lain dari cerpen tersebut. Timor adalah mahasiswa pecandu kafe. Ia adalah mahasiswa sejarah yang waktu-waktunya banyak dihabiskan di Latanza Café dari pada di bangku kuliah. Timor merasa tergerak mencari jatidiri gembel gaek yang sering mengganggu kenyamanan pengunjung Latanza Café, termasuk dirinya. Timor merasa tertantang karena kalau dia tahu apa arti “Mardijker”, maka lelaki gembel itu akan pergi dari sini.
Di dalam cerpen ini Natan Soedira merupakan keturunan kesekian dari marga Soedira. Marga Soedira adalah salah satu dari dua belas marga yang namanya tertera di duabelas pintu gereja di kota ini (latar tempat cerpen tersebut). Selain Soedira, ada nama Jonathans, Leander, Loens, Bakar, Samuel, Jakob, Laurens, Joseph, Tholense, Iskah, dan Zadokh. Nama-nama ini erat kaitannya dengan Cornelis Chanstelein, tuan tanah yang pernah hidup di kota ini ratusan tahun silam.
Cornelis adalah anak dari Anthony Chastelien. Seorang yang selamat dari peristiwa malam Bartholomeus dan kemudian melarikan diri ke Belanda dan menikah dengan putri walikota, Maria Cruydenier. Lalu, menginjakkkan kaki di tanah Batavia pada 16 Agustus 1674. Setelah berhenti menjadi pejabat VOC, Cornelis keluar dari Batavia dan membeli sebidang tanah di kota ini. Kedua belas marga tersebut merupakan orang yang menggarap tanah Cornelis. Perhatikan kutipan di bawah ini:

Digarapnya tanah itu menjadi lahan perkebunan yang menghasilkan panen yang melimpah. Orang-orang yang menggarap lahan itu adalah tawanan perang (berstatus budak) setelah Belanda mengalahkan Malaka, 1941. Cornelis memerdekakan budak-budak itu hingga mereka disebut “Mardijker” atau “orang merdeka”. Supaya gampang diatur, ia mengelompokkan mereka menjadi dua belas marga.

Di bagian ini ditemukan kesesuaian dengan teori kapitalisme yang disampaikan oleh Weber. Jamak diketahui bahwa VOC adalah kongsi dagang Belanda yang melakukan imperialisme di negeri ini. Hal ini merujuk adanya kapitalime imperialis. Selain itu, bentuk lain kapitalisme juga ditemukan, yakni kapitalisme kolonial. Hal ini dipertegas dengan adanya sistem perbudakan yang tak lain sebagai bentuk kerja paksa. Tidak hanya itu, jika dirunut, maka kapitalisme petualangan atau penjarahan, dan fiskal akan ditemukan.
Natan Soedira memang hanyalah seorang individu yang belum tentu mewakili golongannya (kelas paling rendah). Namun, di dalam cerpen ini dia menyebut dirinya dan orang-orang yang ia anggap sebagai bagian dari dirinya dengan sebutan “mardijker”. Mardijker berarti orang merdeka. Panggilan mardijker atau orang merdeka secara tidak langsung di lain sisi akan mengingatkan bahwa orang yang bersangkutan dulunya adalah orang yang tidak merdeka atau orang terjajah. Dengan kata lain, meski sebagai “orang merdeka” belum tentu merupakan orang yang benar-benar merdeka. Natan Soedira ternyata menyimpan sejarah masa lalu sebagai bagian dari orang terjajah, demikian pula dengan orang-orang yang sering dipanggil Soedira sebagai “mardijker”, yaitu para pengunjung Latanza Café.
Hubungan Natan Soedira dan Latanza Café terungkap pula lewat penyelidikan yang dilakukan Timor. Dalam surat wasiatnya, Chastelein menyebut marga “Soedira” sebagai satu-satunya pewaris villa itu, sekaligus dengan koleksi lukisan-lukisan yang sangat berharga itu. Boleh jadi café itu adalah bekas landhuis (semacam villa) milik Chastelein pada masa lalu.
Para pengunjung Latanza Café termasuk Timor—sebelumnya juga—tidak tahu maksud “mardijker” yang dilontarkan Natan Soedira kepada mereka. Dengan memanggil sebutan itu, Natan Soedira ingin menyadarkan para pengunjung Latanza Café bahwa mereka adalah bagian dari golongan proletar yang sama seperti Natan Soedira.
Di bagian ini ditemukan apa yang dikatakan Weber sebagai industrial modern atau yang disebut sebagai kapitalisme borjuis. Mereka, para pengunjung Latanza Café termasuk Timor, terikat dengan pemilik modal, yaitu pengusaha pemilik Latanza Café. Setiap hari dan setiap waktu mereka datang mengunjungi Lantanza Café. Hal ini mengidentifikasi adanya ketergantungan di antara kedua belah pihak. Mereka terperangkap dalam sebuah tatanan ekonomi yang membuat mereka bergantung pada pengusaha dengan hak milik, seperti yang dikatakan Weber di atas.
Natan Soedira sebagai seorang individu, mewakili golongannya, berusaha menyadarkan mereka (para pengunjung Latanza Café yang dia anggap sebagai mardijker juga) sekaligus melakukan perlawanan terhadap kaum bojuis, pemilik modal (pengusaha Latanza Café). Perhatikan kutipan di bawah ini:

Tapi, tepat jam setengah lima sore, pada saat pengunjung Latanza Café sedang ramai, ia akan tampak berbeda dari gelandangan-geladangan yang lain. Lelaki itu akan bediri dengan dada sedikit membusung, mengacung-acungkan jari telunjuk ke arah Latanza Café, lalu berteriak,
“Rumah itu memang sudah jadi milik kalian. Tapi jangan sombong! Kalian tetap saja Mardijker, sama seperti saya.”

Perlawanan yang dilakukan oleh Natan Soedira tidak menggunakan kekerasan. Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi. Dalam menjalankan aksi perlawanannya Gandhi mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis gerakan. Yang dilakukan oleh Natan Soedira adalah wujud dari ahimsa yang berarti “tidak menyakiti” dalam perlawanan yang dilakukan Gandhi. Natan Soedira bukanlah tipe orang yang gampang menyerah dalam melakukan perlawanan. Perhatikan kutipan di bawah ini:
Padahal, bermacam-macam cara sudah mereka lakukan, mulai dari membujuknya dengan nasi bungkus, rokok murahan, bahkan ia pernah diseret paksa oleh tiga orang satpam sekaligus.

Perlawanan itu berakhir dengan kematian Natan Soedira sebagai simbol golongan proletar. Hal ini juga menunjukkan kekalahan golongan proletar itu sendiri. Namun, kekalahan itu juga disusul dengan ambruknya golongan borjuis (pengusaha) Lantaza Café. Lihat kutipan di bawah ini:

Tapi, sejak dua hari lalu, Latanza Café, tutup. …pengelola Latanza Café merugi lantaran sepi pengunjung. Ini terjadi sejak tua bangka gembel yang saban hari bersilinjur di sisi kiri pintu masuk café itu mati mengenaskan. Mayatnya ditemukan menggelanatung di salah satu dahan pohon beringin, lebih kurang dua puluh langkah dari pelataran halaman Latanza Café.

Meski begitu, tak lama kemudian, di sebelah barat bekas Latanza Café berdiri sebuah mall, pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Rumah usang itu berganti pemilik. Meski tidak sampai dirobohkan, tata ruangnya dirancang dengan sentuhan yang bernuansa metropolitan. Namanya berubah menjadi Olala Café. Olala Café dan pusat perbelanjaan terbesar itu merupakan manifestasi baru atas kaum borjuis dalam industrial modern seperti saat ini.
Di sini pandangan Marx berlaku bahwa bermacam-macam interaksi ekonomi akan menciptakan berbagai kelas yang bertentangan, yang pada akhirnya dimenangkan oleh kelas tertentu. Interaksi ekonomi yang baru akan menciptakan kelas baru, dan terjadi lagi perlawanan terhadap kelas yang berkuasa. Demikian terus menerus terjadi bentuk pertentangan kelas.

III. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wujud perlawanan terhadap kapitalisme berawal dari hubungan sejarah masa lalu Natan Soedira sebagai “mardijker”. Masa lalu itu tersingkap bersamaan dengan adanya kapitalisme kolonialis dan kapitalisme imperialis. Pada saat sekarang, terjadi apa yang dinamakan kapitalisme borjuis atau industrial modern yang diwujudkan dengan adanya ketergantungan sebagian masyarakat kota terhadap Latanza Café yang merupakan alat ekonomi kaum borjuis, dengan mengunjungi tempat itu. Sementara itu, Natan Soedira dilihat dari tampilan luarannya tidak ubahnya seperti gembel, mewakili golongan proletar melakukan perlawanan terhadap kaum borjuis. Perlawanan itu dimanifestasikan dengan setiap hari dan hampir setiap waktu Natan Soedira berada di sekitar Latanza Café kemudian berteriak-teriak menganggil “mardijker” kepada semua pengunjung cafe. Perlawanan ini dimenangkan oleh kaum pemodal.

Daftar Pustaka

Noor, Redyanto; dkk. 2004. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

Suara Merdeka. 18 Januari 2009

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Weber, Max. 2006. Sosiologi (penerjemah Noorkholis dan Tim Penerjemah Promothea). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (diidonesikan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

http://batampos.co.id/Mingguan/Buku/Gandhi_dan_Nasionalisme_Humanis_.html

http://firmanbudi.wordpress.com/2009/04/09/mahatma-gandhi-siapa-dia/

http://id.wikipedia.org/wiki/Mahatma_Gandhi

Tidak ada komentar: