Kamis, 27 Agustus 2009

GADIS CILIK DAN PERMENNYA

Oleh Eko Pujiono

Seorang gadis cilik berjalan menyusuri lorong. Gadis cilik itu mengenakan ransel. Botol minuman dijinjing. Langkahnya gontai. Rasa-rasanya ransel itu dipenuhi batu berat, nampak roman muka si gadis cilik menciut kecut. Punggungnya merunduk takluk.
Ia menengok-tengok ke sekelilingnya. Yang dilihat cahaya menggelap, udara memekat. Mata dan hidung hambar dibuatnya. Kicau-kicau burung yang biasa menceruit tak lagi terdengar. Hari ini sibuk, penghuni bumi dibuat sibuk. Si gadis cilik itu apakah sibuk? Entahlah, aku tak tahu.

Akupun, karena melihat gadis cilik itu menunduk, turut menunduk. Aku tak bisa bergoyang-digoyang oleh angin. Hari ini angin enggan bertiup menyejukkan apa saja yang dilewatinya. Untuk sekedar lewat saja, angin tak mau. Angin tidak ada. Angin bersembunyi entah dimana. Aku tidak tahu. Aku juga tak tahu kapan angin akan keluar dari persembunyiannya. Atau jangan-jangan angin sedang tertidur. Terlelap oleh hembusannya sendiri. Atau malah angin muak dengan gadis cilik itu. Sangat iri karena tidak diberi minuman dari botol yang dijinjing si gadis cilik, saat angin memintanya karena sangat kehausan. Angin mendelik, kemudian minggat.

Itupun aku tak tahu. Aku bukan Tuhan Yang Maha Tahu. Aku bukan angin atau si gadis cilik, pelaku perang dingin itu. Aku adalah aku. Siapakah aku? Akupun rasa-rasanya pun tidak tahu. Untuk menunjuk jati diriku, lihatlah aku. Sebagai mahkluk ciptaan Tuhan, yang mengharap tahu akan secuil rahasia-Nya tentang diriku sendiri. Sebagai individu, kukuak siapa aku sendiri. Aku: dari, oleh, untuk aku. Tapi tak seorangpun kan tahu, pun untuk mengaku, “Aku adalah aku.”

Aku sering dianggap “lain” oleh yang “lain”. Padahal aku bagian dari dirinya, bahkan bagian dari dirimu juga. Biarpun itu dulu. Aku bukan kamu. Tapi aku ada di dirimu. Semua biarlah: aku sudah memilih untuk menyerah. Katanya hidup penuh pilihan. Dan akupun sudah memilih (menyerah). Hargailah pilihanku. Angkatlah topimu untukku. Berilah sambutan kehangatan dengan senyumanmu.

Sudah, kalau engkau tidak mau lakukan itu. Ini menjadi salah satu resiko yang harus aku tanggung atas pilihan yang aku ambil: (menyerah). “Pecundang,” lirihmu saat aku terbuai dengan mimpi. Sudah cukup anggap aku pecundang. Lirihmu itu sudah keras menampar relung hatiku.

Kalau kau masih menghujat, maka engkau masih tetap menghujat bagian dari dirimu. Perhatikan dirimu sendiri. Lihat gadis cilik itu. Ia menghentikan langkah: diam di satu titik tumpu dua kakinya yang mungil. Cahaya masih menggelap, udara masih memekat. (Kian). Angin sedang genjatan senjata!

Tangan kecil itu menyibak-nyibak rok merah ¾. Kemudian dialihkan untuk merogoh sesuatu di dalam kantong baju putih dekil itu. Lihat dengan sepenuh penglihatanmu, sepenuh hatimu, gadis cilik itu tidak lagi menunduk. Apa kamu menunduk? Aku tidak lagi menunduk. Kuperhatikan dengan hati-hati setiap gerak-gerik gadis cilik itu. Gerakannya sangat luwes sekali seperti hendak menari. Senyumnya menyimpul. Ternyata sebungkus permen yang ia rogoh. Rambut hitam bergelombang mendekati untuk dinyatakan keriting, mengayun-ayun seolah mengisyaratkan tanda girang dan suka cita.

Uuupppsstt…., permen itu jatuh. Belum sempat bibir kecil itu melumat.

“Sayang…, cepat ambil. Belum juga lima menit. Cepat ambil, tunggu apa lagi. Ayo…, sayang kan,” bisik-bisik ini, hesstttt!, jangan bilang-bilang, aku dengar dari batok tempurung kepalanya. Suaranya sangat lirih, hampir-hampir tidak terdengar sama sekali. Aku harus hening untuk dapat mendengarkannya.

Yang sedang saya lakukan ini adalah pekerjaan yang katanya paling menjengkelkan sekaligus mengasyikkan. Pekerjaan ini adalah menguping. Banyak orang yang jengkel jika saja pembicaraan seriusnya dikuping oleh orang lain. Banyak orang keasyikan menguping pembicaraan orang lain. Jurus jitu menguping hanya satu. Selalu pasang ancang-ancang untuk mensensitifkan telinga.

Hei, coba kamu perhatikan dirimu sendiri sebelum melakukan pengamatan terhadap anak kecil itu. Dia masih kecil, kamu? Dia masih sekolah, kamu? Dia sendiri, kamu? Aku memperhatikannya, kamu? Perang dingin, kamu? Aku memperhatikannya, kamu? Aku mengupinginya, kamu? Hei apa yang kamu lakukan?

Anak kecil itu kini bermuram durja. Permennya terjatuh dan belum sempat diemut. Tidak! Permen itu tidak dipungut. Ubin teras sekolah merasa keenakkan menjilat-jilat permen anak kecil itu. Seolah ubin itu tidak tahu bagaimana perasaan sang anak yang masih cilik itu. Sungguh terlalu. Prettttt! Ubin itu kan benda mati, tidak punya perasaan. Rocker saja juga manusia, apalagi ubin. Berperasaan ….? Gila! Kamu?

Belum lagi lima menit, sang anak masih tetap tidak mau beranjak dari tempat ia berdiri. Ia masih pada posisi yang sama. Kakinya masih di situ. Permen itu juga masih di situ. Tapi ada yang tidak di situ, apa? Pikiran anak kecil itu entah dimana. Kalau kamu tanya padaku, mana kutahu. Kalaupun kau Tanya Tora Sudiro atau Aming atau pemain Ekstravaganza lainnya, pasti dijawab, “Meneketehek.”

Aku bukan pembaca pikiran orang lain. Kadang saja, malah sering, aku tidak paham akan pikiranku sendiri. Bagaimana pikiranku? Kadang melayang, melambung, terpendam, jenius, bahkan sering pula pikiranku terpaut dengan perasaan yang sedang aku rasakan. Rasanya gimana-gimana gitu. (Ganti). Kamu bagaimana? Pikiranmu itu?

Telah habis lima menit. Maka telah jadi tidak steril (permen) itu. Basi. Telah tidak layak untuk dipungut. Kesempatan telah melayang hilang. Kesempatan telah disia-siakan. Tidak boleh ada penyesalan.

Gadis cilik itupun kini mulai menggerak-gerakkan tubuhnya. Dikibaskan tangannya, kemudian gigit jari. Ia tidaklah meneteskan air mata, menangis pun tidak, apalagi merengek. Ia tampak tegar. Tidak digoyangkan kakinya. Ia tetap berpijak. Kuat. Formasi tubuhnya seperti menara Eiffel. Kaki-kakinya adalah posisi kuda-kuda.
Ia diam. Lama. Ia tidak melakukan apa-apa. Tetap berdiri sendiri di lorong-teras kelas suatu sekolah. Angin telah berperang dingin dengannya. Tarikan dan hembusan nafasnya saja yang terlihat. Detak-detak jantungnya saja yang terdengar. Nafas dan detak adalah pertanda bahwa gadis cilik itu hidup.

Lama-kelamaan aku bosan juga menyaksikan si cilik itu. Tanpa polah, tanpa ekspresi. Tanpa apa-apa, hanya botol minuman yang sepertinya sudah habis isinya, ia tenteng dipundaknya. Seharusnya kan anak kecil itu ceria, banyak canda, menggemaskan, dan menyenangkan orang-orang dewasa, seperti aku. Lama-kelamaan aku muak pada anak kecil itu. Tampak egois dan tidak bersemangat.

Lama-kelamaan aku benci pada anak kecil itu.

Aku runutkan; awalnya anak itu berjalan, terus genjatan senjata dengan angin, perang dingin. Kemudian permennya terjatuh, kesempatan untuk mengambil pun hilang. Permen itu menjadi sia-sia. Ia diam. Tampak tegar. Berdiri diam. Aku sendiri jadi muak. Ia mengingatkanku pada sejatinya diriku sendiri.

Aku ceritakan, aku adalah pohon, adalah daun, adalah akar adalah buah (mangga) di depan kelas, dekat lorong-teras, lima meter di depan gadis cilik itu. Daunku rimbun, rantingku, cabangku, batangku, akarku adalah bagian-bagian tubuhku; bagian dari dirimu juga.

Tidak usah merasa aneh, aku dulu juga sama sepertimu, “manusia”. Aku hanyalah makhluk yang terkutuk menjadi pohon. Aku dikutuk tentu ada sebabnya. Aku kecewa telah membiarkan begitu saja suatu kesempatan. Saat kesempatan itu telah raib, laiknya dirimu, aku menyesal.

Suatu sore seperti sore ini ketika ada bocah cilik ini, di tempat yang sama, di sini, ketika aku bergenjatan senjata dengan angin, aku ……. menggantung di pohon mangga, yang kini telah menjadi tubuhku.

Ajaib, tubuhku tersedot kuat masuk ke relung pohon. Aku, lambat-laun menyusup ke bagian-bagian tubuh pohon, kemudian ke otak dan perasaan. Hingga pada suatu masa aku menguasai pohon mangga ini seutuhnya. Aku yang mengatur semua atas diri pohon mangga yang tidak lain adalah diriku sendiri. Aku adalah pohon mangga itu.

Aku dulu kecewa. Kini aku melihat anak perempuan kecil yang kecewa, tapi tidak mengecewakan dirinya sendiri, pun orang lain. Ia tidak kecewa atas putusannya, secara emosional pribadi ciliknya. Gadis cilik….., permenmu jatuh.

Semarang, 070701

Tidak ada komentar: