Kamis, 27 Agustus 2009

Pengais Sampah Itu

Cerpen Eko Pujiono

AKU SEDANG MAKAN PAGI ketika bau busuk itu meyerang. Selera makanku mendadak hilang. Segera kucari arah datangnya bau. O, seorang perempuan paruh baya mengais-ngais sampah di bak depan rumah.

Sampah-sampah itu ia masukkan ke dalam gerobak. Kuperhatikan dari teras rumah, perempuan itu tidak jijik bersentuhan dengan sampah yang menimbulkan bau sangat busuk itu. Ia memakai baju lengan panjang berwarna cokelat dan celana panjang biru yang di banyak tempat terdapat noda-noda hitam dan kecoklatan. Perempuan itu bertopi bertulis nama sebuah instansi pemerintah di kota ini. Tampak ia kurang cekatan dalam mengambil dan kemudian memasukkan sampah itu ke dalam gerobak. Ia menggunakan dua bilah papan dan sesekali kulihat memakai gancu. Banyak sampah yang tercecer. Walhasil, bau busuk kian menyebar ke mana-mana. Perutku terasa mual. Makanan yang baru saja kumakan mendakak ingin keluar. Aku ingin muntah, tapi kutahan.

Aku masih belum tahu siapa perempuan itu. Biasanya, bukan dia yang mengambil sampah. Yang aku tahu, biasanya seorang laki-laki paruh baya yang melakukan pekerjaan itu. Aku lupa nama laki-laki petugas pemungut sampah yang biasanya itu. Aku tidak pernah ambil peduli dengan pekerjaan yang remeh itu. Cuma soal sampah.

Sebagai pegawai negeri di sebuah instansi pemerintah kota, aku lebih disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang penting. Mengurus ini itu demi kepentingan warga kota. Tugasku hanya memastikan bahwa di kota ini tidak ada lagi orang-orang miskin. Tidak ada gelandangan, pengamen, pengemis atau apapun yang berlabel kere.

Jika orang-orang semacam itu toh ada, aku hanya tinggal mendata mereka. Kemudian membagi-bagikan sembako. Melakukan operasi pasar. Jika usaha ini tak berhasil, aku segera melapor ke atasan bahwa di lapangan makin banyak orang miskin. Segera setelah itu, bantuan akan mengalir dengan derasnya. Kalau perlu, aku mengusulkan dibuka sebuah pundi amal untuk warga miskin. Hanya buka nomor rekening di bank kemudian mengiklankan ke segenap penjuru media massa. Tentunya aku harus melakukan lobi-lobi terlebih dahulu.

Jika tetap tak berhasil, cara pamungkas, ya, aku akan berkoordinasi dengan pihak berwenang untuk melakukan razia. Menjaring mereka-mereka yang berkeliaran di jalan. Mereka yang mengamen, mengemis, dan apapunlah. Yang penting memiliki kesan kere, pasti akan kena razia. Panti sosial menjadi tempat tampungan mereka.
Ahh, untuk apa membahas pekerjaan yang sehari-hari kugeluti. Sudah biasa. Terlalu biasa. Toh, sebentar lagi aku akan berangkat kerja. Bersentuhan dengan hal-hal semacam itu. Keberadaanku di sini hanya karena merasa risih terhadap bau tidak sedap yang telah menghapus selera makan.

Ini gara-gara perempuan pengumpul sampah itu. Mending aku segera berangkat ke kantor. Untuk apa mengurusi hal-hal yang tak penting. Remeh temeh seperti itu. Buang-buang perhatian. Masih banyak hal penting yang harus aku kerjakan di kantor.
Bergegas aku masuk ke dalam rumah. Sisa makanan di atas meja di ruang makan hanya aku pandang ketika lewat. Aku menuju kamar. Kutemui istriku yang sedang berias. Mungkin dia akan arisan. Kuminta ia memakaikan dasi, mengambilkan jas dan tas kerja untukku. Segera kukecup kening istriku dan mengucapkan beberapa patah kata seperlunya. Lalu, kusambar kunci mobil di atas meja rias istriku, di dekat deretan alat kosmetik yang beraneka rupa.

Kupanggil Karjo, pembantuku, untuk membukakan pintu gerbang. Setelah memanasi mesin beberapa saat, mobil dinas ini kukendarai sendiri menuju ke kantor. Jalanan lumayan ramai. Semenjak Perda pelarangan pengemis, pengamen, dan gelandangan berada di tempat-tempat umum ditetapkan, mereka tidak pernah lagi kujumpai. Maklum, sekarang banyak warga kota yang hidup sejahtera. Jauh dari istilah miskin.

Di kantor, aku disambut oleh petugas penerima tamu. Kutanya, apakah ada surat atau pesan untukku. Dijawab, tidak ada. Langsung, aku menuju ke ruang kerja.
Agak lelah rupanya mengendarai mobil selama setengah jam. Untuk menghilangkannya, aku duduk dan memandangi seisi ruangan yang tampak tidak ada perubahan sama sekali. Lambang burung garuda, foto presiden dan wakilnya masih di tempat yang sama, meski foto-foto itu telah beberapa kali berganti orang. Jam dinding itu masih berdetak di tempat yang tetap. Meja kerjaku, masih menghadap pintu masuk. Hanya berkas-berkas yang berubah. Setiap bulan ada file masuk dan keluar. Semuanya dalam bentuk laporan dan proposal yang berjilid bagus. Undangan suatu acara juga silih berganti berdatangan.

Aku sangat puas membaca laporan-laporan pada bulan-bulan terakhir ini. Semua menunjukkan bahwa angka kemiskinan berangsur turun. Bahkan nyaris tidak ada sama sekali. Banyak program-program sosial yang menyangkut kesejahteraan warga, baik dari pemerintah pusat maupun kota, digalakkan. Menurutku, ini pencapaian yang luar biasa dari pemerintah yang sekarang.

Terbuai kemajuan semacam itu, mendadak perutku sakit. Mual rasanya. Aku ingin muntah, tapi tak bisa kutahan. Hasilnya, meja kerjaku penuh dengan ceceran muntahan makanan. Berkas-berkas laporan yang sehari-hari aku periksa penuh dengan muntahan itu. Sungguh pemandangan yang sangat menjijikkan. Seumur-umur inilah kali pertama aku melihat hal semacam itu. Sontak, kepalaku menjadi pening. Tiba-tiba aku terjatuh.

Ketika bangun, pertama kali yang kulihat adalah sesuatu yang berwarna putih. Setelah kuamat-amati cukup lama, jelaslah ternyata itu adalah eternit ruangan. Kulihat sekeliling. Di sampingku ada beberapa orang. Istriku, seorang bawahan dan seorang lagi yang tak kukenal berpakaian serba putih.

Istriku lalu menjejaliku dengan rentetan pertanyaan. Apa yang terjadi, Pa? Kenapa bisa begini? Mengapa? Bagaimana? Dan pertanyaan lainnya. Aku bingung. Tak tahu harus menjawab apa.

Untunglah, bawahanku itu menyela meminta pamit. Jadi, aku tak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan istriku. Bawahanku menyalami dan mendo’akanku agar lekas sembuh. Saat bersalaman dengan istriku, istriku mengucapkan terima kasih karena telah mengantarkanku ke rumah sakit ini.

Lalu, orang yang tak kukenal itu menanyaiku. Tadi bapak makan apa? Bapak kurang berolah raga ya? Pertanyaan itu pun tak kujawab. Kemudian, ia menyatakan bahwa aku terserang stroke stadium dua. Aku kaget. Apa benar aku terserang penyakit yang sama diderita oleh banyak kolegaku?

Setelah lama kupikir-pikir, bisa saja penyakit ini menimpaku. Lha wong, penyakit orang-orang yang berduit kan stroke. Wajarlah kalau penyakit ini juga menyerangku dan banyak warga kota yang menjadi kenalanku. Apalagi pada zaman sekarang orang-orang hidup serba berkecukupan, bahkan banyak orang yang berlebih.

Baru sehari aku di rumah sejak kemarin siang. Aku dinyatakan sembuh setelah dirawat selama tiga hari berturut-turut. Dalam masa pemulihan aku sepenuhnya hanya di rumah. Aku cuti kerja. Bawahanku di kantor pasti memakluminya. Sudah biasa aku cuti kerja dengan 1.001 alasan tentunya.

Pagi ini, seperti pagi-pagi yang dulu, aku menyempatkan sarapan. Menu sarapan berupa nasi goreng. Telur dadar, beberapa helai selada dan irisan tomat berada di atasnya. Ketika menyantap makanan, serbuan bau busuk menyerang. Makanan yang baru beberapa kali kukunyah, kumuntahkan seketika.

Pikiranku langsung tertuju kepada petugas pengais sampah. Segera aku ke luar rumah. Benar; perempuan itu lagi. Pengumpul sampah yang kurang profesional. Sampah tercecer di mana-mana. Geram rasanya.

Umpatan-umpatan kasar keluar dari mulutku. Tentunya kutujukan kepada perempuan itu. Dasar tak tahu diri. Bertugas ya dilakukan pada jam kerja. Jangan pada saat orang sedang sarapan. Dia diam tanpa kata. Kulihat ia tergesa-gesa memasukkan sampah-sampah itu ke dalam gerobak sampahnya. Perempuan itu menggunakan kedua tangannya untuk memungut sampah. Tidak lagi menggunakan dua bilah papan dan gancu. Kemudian, ia mendorong gerobaknya meninggalkan bak sampah di depan rumahku.

***

Sejak kejadian itu, aku tidak lagi menjumpai petugas pengumpul sampah mengambil sampah-sampah di depan rumahku. Kian hari sampah itu menumpuk bagai sebuah gunung. Selain mengganggu pemandangan, juga menimbulkan bau busuk yang amat sangat. Setiap kali pergi dan pulang kerja aku selalu disambut oleh pemandangan serupa itu. Bahkan sering kali kulihat banyak lava keluar dari timbunan sampah. Kini, setiap saat ketika berada di rumah, bau busuk selalu menyerangku. Hampir setiap saat aku muntah-muntah.
Aku sudah menghubungi pihak-pihak terkait untuk mengambil sampah-sampah di depan rumahku, khususnya Pak Lurah. Tapi, sampai aku dibawa ke rumah sakit, sampah itu masih menggunung. Karjo juga pernah aku suruh untuk membuang jauh-jauh sampah itu, tapi ia pinsan duluan setelah lima menit berada di dekat sampah itu.

Tak tahan aku terhadap kondisi ini. Penyakit stroke-ku kambuh dan penyakit-penyakit lain mulai menjangkitiku. Istri dan anak-anakku pun terserang berbagai penyakit. Khususnya yang menyangkut pernafasan dan kulit.

Suatu sore Pak Lurah menjengukku. Sebelumnya aku sendirian berada di kamar rawat ini. Istriku dan dua anakku berturut-turut dirawat di ruang sebelah. Pak Lurah menyatakan turut prihatin terhadap kondisiku. Pak Lurah memohon maaf karena belum bisa mengatasi masalah sampah di depan rumahku. Ia menginformasikan kepadaku bahwa masalah serupa juga dialami warga-warga lain. Masalah ini juga yang menjadi sorotan banyak media massa. Dari rapat di balai kota yang beberapa hari lalu diikuti oleh Pak Lurah, masalah sampah menjadi problem utama pemerintah kota. Kata Pak Lurah lagi, petugas pengumpul sampah di kota ini makin langka. Setelah banyak warga kaya, pekerjaan memungut sampah dianggap sangat hina.

“Pak Syukur yang biasa mengambil sampah di kelurahan kita sudah sebulan sakit. Tugas itu kemudian digantikan oleh istrinya. Tapi, entah kenapa sejak dua minggu lalu ia tak lagi bekerja. Ketika diminta untuk bekerja lagi mengumpulkan sampah, ia tak mau lagi. Bahkan dengan iming-iming peningkatkan gaji hingga dua kali lipat. Ia menolak. Kata istri Pak Syukur, ia memilih tidak bekerja dan hidup miskin daripada dihina dan diumpat-umpat. Aku tak tahu apa yang dimaksud,” terang Pak Lurah sambil memeragakan kejadian ketika ia menemui istri Pak Syukur tadi pagi.

Mendengar penjelasan Pak Lurah, sontak aku terkaget. Masalah ini ternyata timbul gara-gara aku. Yang mengumpat kepada petugas pengumpul sampah itu adalah aku. Ya, aku, seorang pegawai yang bekerja di dinas pemerintah kota yang mengurus tentang kesejahteraan warga. Ternyata akulah penyebab kebusukan itu. Akulah sumber bau busuk itu.

Merasa tidak ada lagi yang perlu Pak Lurah sampaikan kepadaku, ia pamit pulang. Kepergian Pak Lurah menjadikan aku serius berpikir dan merenung.
Kehadiran orang miskin sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang dalam kehidupan sosial masyarakat. Mereka tidak dapat dihilangkan atau dimusnahkan. Aku sadar bahwa menghargai orang lain secara manusiawi adalah sesuatu yang paling penting.

Semarang, 21 Februari 2009

Tidak ada komentar: