Sabtu, 15 Agustus 2009

“Jacky Chan” dalam film Indonesia

Menonton film “Merantau” mengingatkan saya terhadap film-film laga yang dibintangi Adven Bangun dan Barry Prima yang pernah menjadi fenomena pada dekade 90-an. Film yang disutradarai dan naskahnya ditulis oleh Gareth Evans, serta menampilkan nama-nama Iko Uwais, Sisca Jessica, dan Christine Hakim sebagai pemain, ini premier pada hari ini Kamis (06/08). Saya berkesempatan menonton film ini bersama seseorang yang spesial.

Bukan karena ada orang yang spesial ketika saya menonton film ini, tapi memang film yang satu ini layak untuk mendapatkan standing applaus. Bukan hanya dari saya, tetapi juga banyak penonton lain.

Menariknya film Merantau bukan terletak pada sisi cerita, melainkan dari sisi laganya. Pada awalnya sebelum menonton, saya membayangkan film “perkelahian” yang murahan. Ternyata dugaan saya keliru. Tehnik “berkelahi” ditampilkan habis-habisan di sini. Saya melihat “Jacky Chan” dalam film Indonesia dengan berbagai kelincahannya itu.

Dari sisi cerita, Merantau bercerita tentang Seorang tokoh utama yang bernama Yuda (Iko Uwais), seorang ahli bela diri Silat Harimau dari Minangkabau, Sumatra Barat. Yuda yang sama seperti pemuda pemuda daerahnya yang lain akan menjalani budaya warisan nenek moyang mereka yaitu “Merantau,” meninggalkan segala kenyamanan di kampung halaman mereka dan menuju ke hiruk pikuknya kota besar Jakarta sebagai sarana penempa mental dan pendewasaan, juga harap harap bisa mendapatkan kesuksesan yang menciptakan nama besar saat mereka kembali ke kampung halaman nantinya.

Dalam perantauannya, tentunya tidak semuanya berjalan mulus tapi begitu banyak rintangan yang harus dihadapinya. Yuda yang sempat tidak memiliki tempat tinggal selama di Jakarta bahkan kadang tidak yakin akan masa depan apa yang bakal didapatnya disana. Nasib kemudian mempertemukannya dengan Astri, seorang anak yatim piatu yang hampir menjadi korban perdagangan manusia ke Eropa yang dijalankan oleh psikopat bernama Ratger dan tangan kanannya, Luc.

Demi menyelamatkan sang gadis bersama adiknya yang bernama Adit, Yuda pun akhirnya terlibat dalam kisruhnya permasalahan bisnis hitam yang melibatkan anggota gangster dan penjahat2 berbahaya ini. Menyadari kalau upaya pelarian diri mereka akhirnya juga akan sia sia saja, Yuda tidak punya pilihan lain lagi selain menghadapi para penjahat itu dalam sebuah pertarungan maut dengan mengandalkan keahliannya dalam menggunakan ilmu bela diri warisan sang leluhur.

Cerita semacam ini sudah banyak diangkat oleh sutradara-sutradara lain. Artian merantau sendiri identik dengan “mengadu nasib” seorang anak kampung di kota besar. Pengaduan nasib ini, ya, kalau tidak sukses, ya, hancur. Bukankah cerita ini sudah umum?

Seperti yang saya katakan di awal, kehebatan film ini bukan di cerita, melainkan di laganya. Adegan adu jotos sangat asyik dan mendebarkan. Aksi kejar-kejaran, meloncat ke atas kontainer, meloncat dari atas gedung ke gedung lain, bukan menjadi pemandangan yang aneh di film ini. Justru aksi-aski tersebut menghiasi hampir setiap waktu. Hingga saya berani menyimpulkan bahwa Merantau benar-benar film laga, bukan film drama.

Sehingga tak heran jika Gareth Evans menomor-duakan sisi cerita, karena memang sangat berkonsentrasi menyuguhkan adegan “perkelahian tangan kosong” yang memikat. Membagakan lagi, laga yang ditampilkan merupakan sebuah seni bela diri asli bangsa Indonesia, yaitu silat.

Di sini, film ini memberikan nilai lebih terhadap silat yang notabenenya asli Indonesia. Yang jelas, bagi Anda yang suka film laga yang kaya akan tehnik-tehnik bertarung, maka tak usah bimbang untuk menonton film ini.

Tidak ada komentar: