Kamis, 27 Agustus 2009

Cerpen Eko Pujiono

Sarjan sama sekali tak nampak di rumah pak Subadi saat melangsungkan acara pernikahan anaknya, si Romlah. Kejadian ini sudah cukup menghebohkan seisi kampung.
Adatnya jika salah seorang tetangga memiliki gawe, seperti mantu yang dilakukan oleh keluarga pak Subadi, baiknya tetangga yang lain ikut datang ke rumahnya untuk membantu atau hanya sekedar meramaikan. Istilahnya disebut rewang. Tapi, bukan itu yang membuat geger seisi kampung. Pasalnya pak Subadi pernah menolak lamaran Sarjan untuk meminang Romlah, satu tahun yang lalu. Ada yang menyebutkan Sarjan masih sakit hati, sehingga tak mau datang ke rumah pak Subadi. Adapula yang ngomong begini, “Kasihan ya si Romlah, gara-gara bapaknya, dia harus kawin dengan laki-laki yang tak dikenalnya. Heh, kalian tahu nggak, kalau kaki yang laki ada ciri-nya? Tadi saja tidak mau diwisuhi oleh Romlah. Lihat nggak mukanya? Padahal, hih…., mukanya juga tidak ganteng-ganteng amat. Dibanding Sarjan, jauh…., kalah deh!”

Adapula yang hanya diam saja mendengar berbagai spekulasi tentang Sarjan. Ada yang lebih ekstrim dengan memaki-maki dan menyalahkan pak Subadi.

“Dasar pak Subadi itu buta, tidak bisa membedakan mana yang sekiranya cocok dan sesuai dengan keinginan anaknya, Romlah. Katanya, dulu sejak SMA Romlah dan Sarjan sudah berpacaran. Apa ini tidak sama saja dengan zaman Siti Nurbaya, gila tidak?”
Yang lain bilang begini, “Kalau pak Subadi mau lebih melek, Sarjan sudah cukup mapan. Dia jadi pegawai di kantor kecamatan, sudah negeri lagi. Anaknya sopan, rajin, pokoknya kalau saya punya anak perempuan, pasti akan saya suruh kawin sama Sarjan. Tidak pakai lama-lama, langsung saja kukawinkan kalau Sarjan mau.”

Itu baru beberapa omongan yang beberapa hari ini semenjak pak Subadi punya gawe, beredar di sudut-sudut kampung. Omongan-omongan itu diperbincangkan mulai dari pagi sampai malam hari. Di warung-warung, di depan rumah, di sawah, di pasar desa, sampai di pinggir kali. Kejadian ini membuat keluarga pak Subadi terpukul. Karena rata-rata banyak yang menyalahkan pak Subadi. Mereka lebih bersimpati pada Sarjan.

Tentang Sarjan sendiri yang pegawai kantor kecamatan, umurnya sudah dua puluh lima tahun. Badannya tinggi tegap, kulitnya kuning agak gelap. Rambutnya selalu klimies tersisir rapi. Pakaian selalu masuk. Unggah-ungguh-nya baik. Berkepribadian. Ia tinggal di kampung ini seorang diri di rumah milik sendiri. Sarjan aslinya bukan dari sini, tetapi dari kampung seberang kali. Ia pindah kemari karena kampung ini lebih dekat dengan kantor kecamatan daripada kampungnya yang harus menyeberang kali segala. Ia tinggal nyetater motor vespa butut warisan bapaknya yang telah meninggal tiga tahun lalu.

Sebenarnya Sarjan lebih memilih tinggal bersama ibunya dan dua orang adik perempuan di kampungnya sendiri. Pasalnya, disini apa-apa harus ia lakukan sendiri. Dari masak, makan, nyuci pakaian, membersihkan rumah, sampai hiiiiih… tidur sendiri.
Enam tahun lalu, setelah satu tahun ia lulus dari SMA, Sarjan coba-coba ikut tes CPNS untuk formasi pegawai rendahan bidang administrasi perkantoran. Ijazah SMA-nya sudah cukup untuk melamar. Tidak ada badai, tidak ada tsunami, tidak ada topan, tidak ada lesus, Sarjan diterima dan ditempatkan di kantor kecamatan yang sampai sekarang ia bekerja. Untung tidak ada pengumuman ulang yang marak menghiasi seleksi CPNS beberapa tahun belakangan ini. Jadi, lolosnya Sarjan tidak ada anulir. Beberapa kali bapaknya berkata pada Sarjan begini, “Bejane awak ora ono sing bisa ngalahake—kemujuran seseorang tidak ada yang bisa mengalahkan.” Begitu ujarnya sambil menepuk-nepuk pundak Sarjan dan masih selalu dapat diingat-ingat oleh Sarjan. Maka setelah positif lolos, oleh bapaknya dibuatkan selamatan kecil dengan satu ingkung ayam (satu ayam utuh) dan jajanan pasar sebagai pelengkapnya.

Soal geger, tidak hanya di kampung ini. Ternyata di kantor kecamatan, juga begitu. Semua rekan kerja kantor membicarakan Sarjan. Apalagi sejak kejadian ini, Sarjan tidak menampakkan batang hidungnya, baik di kantor kecamatan, maupun di kampungnya. Sarjan hilang, lenyap ditelan oleh bumi. Ditambah hilangnya Sarjan, maka semakin seru dan geger memperbincangkan tentang Sarjan. Semakin banyak spekulasi-spekulasi yang dapat diperbuat. Ada yang mengait-ngaitkan antara kejadian yang satu dengan kejadian lain yang dialami oleh Sarjan. Bahkan ada yang mengaitkan dengan kejadian di masa kecil Sarjan. Kini, pamor Sarjan menjadi melambung. Ibarat artis, Sarjan sedang naik daun di puncak lidah orang-orang, menjadi pusat perhatian, menjadi bahan omongan, gosip, sampai menjadi bahan untuk cuci mulut pembuang selilit setelah makan. Sarjan, nama yang cukup singkat. Ada dua “a”-nya. Tapi, tidak sesingkat mengekspos dirinya saat ini.

Di kantor kecamatan, Sarjan hanya meninggalkan secarik kertas bertandatangan dan bermeterai segala. Isinya tentang permohonan cuti selama beberapa waktu yang tidak dapat ia tentukan berapa lama waktunya. Apakah satu minggu, dua minggu, satu bulan, dua bulan, satu tahun, tidak dicantumkan. Alasannya bukan sakit, karena sehari sebelumnya Sarjan terlihat sehat-sehat saja masuk kerja. Alasan yang ia utarakan berbunyi seperti ini:

“Demi Tuhan, pokoknya saya minta cuti entah sampai kapan. Saya mohon. Kalau tidak diberi, maka sama saja membunuh saya di waktu yang sangat mendesak ini. Please diberi, kalau tidak, awas! Yang lain jangan meri. Trim’s pak camat.”
Pak camat ikut-ikutan klojotan dan terpukul menyaksikan ulah Sarjan yang sampai segila ini. Ia ikut-ikut nimbrung membincang Sarjan. Yang membuat pak camat merasa terpukul adalah apa yang dituliskan Sarjan dalam surat permohonan cutinya. Begitu tidak sopan. Tidak mencerminkan kepribadian Sarjan yang begitu sopan dan lemah lembut, but….

Sebenarnya pak camat sudah tahu apa yang hendak diulah oleh sarjan. Sehari sebelumnya Sarjan sudah membincang apa saja yang hendak dilakukannya selama cuti pada pak camat. Pak camat hanya manthuk-manthuk saja mendengar apa yang disampaikan oleh Sarjan berikut argumen-argumen yang dilontarkan dengan begitu cerdasnya dan terlebih dengan sopannya. Pak camat mengamini saja. Pak camat ikut-ikutan bertingkah seperti yang lain, tak lain, tak bukan, hanya lagak kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu biar semakin heboh.

Di kampungnya sendiri, malah ibu dan dua saudaranya juga ikut menghilang bersama Sarjan. Tetangga di sekitarnya tidak ada yang tahu kapan dan dimana mereka pergi. Seperti hantu mereka menghilang. Ada beberapa tetangga melihat terakhr kali ketika sekeluarga itu sore hari sebelumnya, sedang nyekar di kuburan bapaknya Sarjan. Baru tujuh hari dari hari pertama Sarjan hilang—lebih tepatnya sejak dari hari pak Subadi melangsungkan pernikahan anaknya—Sarjan tiba-tiba menampakkan batang hidungnya. Kampung semakin heboh lagi, Sarjan terlihat sedang membonceng seorang gadis dengan vespanya. Orang yang melihat langsung tercengang menyaksikan Sarjan membonceng gadis yang sangat cantik. Gadis itu berkerudung, berkulit kuning langsat. Perawakakan tubuhnya ideal. Pokoknya waahhh, top B-G-T, top banget deh.

Maka orang itu langsung pergi ke warung, kemana saja yang penting ada orang yang dapat ditemuinya untuk memberitahukan akan apa yang baru saja dilihatnya. Warga ada yang percaya, ada yang setengah percaya, dan ada yang menyangsikan. Padahal, si pembawa warta itu ngotot memberitahukan yang sebenar-benarnya apa yang baru saja dilihatnya. Berita itu cepat menyebar, bahkan sudah sampai di kantor kecamatan. Di kantor juga begitu, suasana menjadi tak karuan. Maka segera diutus seseorang untuk mencaritahu tentang apa saja yang telah dilakukan Sarjan yang telah membuat geger penghuni bumi, langsung ke rumah Sarjan. Yang diutus adalah Mamat, teman dekat Sarjan di kantor kecamatan. Dengan segera Mamat dengan meminjam sepeda motor dinas pak camat langsung menuju rumah Sarjan.

Sesampainya di rumah Sarjan, ternyata sudah banyak orang yang hendak mengorek keterangan dari Sarjan. Termasuk pak Subadi, pembawa warta dan tiga orang yang menyangsikan Sarjan pulang dengan seorang gadis. Mereka sangat ingin tahu bagaimana yang sebenarnya. Setelah berjubel di depan pintu sambil memanggil si empunya rumah, mereka semua diterima oleh Sarjan. Dan langsung dipersilahkan duduk di kursi di ruang tamu yang beberapa meter tepat menghadap pintu masuk.

Aksesori di ruangan ini cukup sederhana. Hanya terlihat gambar-foto presiden dan wakilnya nampang di dinding ruangan, beberapa foto Sarjan dan keluarga, kalender dan jam dinding yang kini telah menunjuk pukul sepuluh kurang lima menit. Ada masing-masing satu jendela di dinding kanan-kiri rumah ini yang terbuka lebar, sehingga cahaya dan udara bebas keluar masuk. Ada lemari panjang berisi buku koleksi Sarjan yang dijadikan penyekat ruangan ini dengan ruang dalam. Rumah Sarjan memang tak terlalu luas. Untuk keluarga kecil, pasti sudah cukup. Yang luas adalah bagian pekarangannya yang ia tanami apotek hidup dan ada kolam ikan di belakang rumah. Sebuah sumur di kanan rumah, dekat dengan bagian kamar mandinya.

Ruangan yang tak begitu luas kini nampak sempit sekali dipenuhi oleh orang. Kursi sofa yang mengelilingi meja kecil—yang hanya cukup menompang enam bokong orang—diduduki oleh enam orang. Sementara itu Sarjan masuk ke dalam untuk mengambil satu kursi lagi untuknya di ruang makan pribadinya.

“Begini lho dik Sarjan, bukan maksud mencampuri kehidupan dik Sarjan, kami semua ini datang ke sini ingin tahu apa saja yang dilakukan adik ini selama sekitar seminggu ini,” terang pak Subadi, “soalnya kampung ini menjadi geger semenjak kepergian dik Sarjan.”

“Ya, Jan,” Mamat menyahut seperti burung perkutut, “di kantor juga heboh banget. Kemana sih kamu?”

Yang lainnya juga turut seperti burung perkutut. Manut dengan manggut-manggut meminta kejelasan dari Sarjan.

“Saya pergi ada urusan penting,” jawab Sarjan dengan singkat.

“Jadi, kamu tidak sakit hati saat Romlah saya nikahkan dengan orang lain?”

“Ya, tidak pak Subadi. Lha wong Romlah mungkin sudah bukan jodoh saya, kok saya harus ngoyo.”

“Terus kamu ada urusan apa?”

“Saya….., ah, hanya urusan pribadi yang sangat penting dan mendesak.”

“Apa?” tanya Mamat penuh penasaran.

“Menikah!”

Kontan semua yang mendengar perkataan Sarjan yang singkat dan tegas itu menjadi kaget dan setengah mematung.

“Jadi bener kamu pulang bawa gadis, cantik lagi?,” tanya salah seorang yang paling sangsi.

“Gadis itu istri kamu Jan,” tanya si pembawa warta.

“Ya!,” jawab Sarjan. “Oh, ya, mari saya kenalkan dengan istri saya. Sebentar…” sambil Sarjan bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam.

Semua orang di ruang tamu itu menjadi tak sabar untuk melihat istri Sarjan. Mereka sudah pasang kuda-kuda dalam bola matanya untuk menyaksikan gadis yang menjadi pilihan Sarjan. Persiapan kuda-kuda itu ternyata mental setelah Sarjan dan istrinya keluar. Semua kaget setelah tahu bahwa yang menjadi istri Sarjan adalah Imah, anak gadisnya pak camat.

Sementara itu Sarjan dan Imah hanya senyum-senyum sendiri menyaksikan orang-orang yang di depannya kaget dan melongo saja.

“Begini, saya tidak punya maksud apa-apa dengan apa yang saya perbuat ini dengan tanpa memberitahu dulu pada tetangga dan warga sekitar. Saya mohon maaf jika dari ulah saya ini ada yang membuat tidak berkenan. Apa yang saya lakukan ini hanya memenuhi apa yang diamanatkan oleh bapak saya sebelum meninggal, bahwa ketika saya melangsungkan pernikahan harus disaksikan oleh beberapa orang saja dari keluarga saya dan keluarga calon istri saya. Katanya ini sudah menjadi tradisi yang dijalankan oleh keluarga garis keturunan bapak. Mau tidak mau saya harus mematuhi amanat dari bapak. Apalagi disampaikan sebelum tiba ajalnya.”

Semua orang menjadi-jadi melongo mendengar penjelasan dari Sarjan. Maka untuk menghilangkan longoannya, mereka minta ijin pamit pulang. Tapi, dalam hati bukan alasan itu mereka minta undur pulang. Mereka sudah tidak sabar setelah mendapatkan bahan omongan untuk membicarakannya yang akan menghebohkan kampung tentang Sarjan. Istrinya Sarjan adalah anaknya pak camat.

Hanya Mamat yang tidak minta undur pulang. Masih ada pertanyaan yang mengganjal dalam pikirannya.

“Jan, kenapa pak camat ikut-ikutan heboh mengenai cutimu? Terus surat itu?”
“Oh itu, itu pasti pinter-pinterannya bapak camat. Soal surat, saya tidak pernah menulisnya.”

“Pak camat seminggu ini masuk kantor terus, kapan kalian menikahnya?”

“Ya, baru kemarin, hari Minggu. Hari-hari sebelumnya saya dan keluarga pergi ke rumah saudara dan sanak famili bapak dan ibu saya untuk meminta restu darinya. Kamu tahu kan, rumah mereka berada di luar kota semua.”

“Kok bisa istri kamu itu Imah, anaknya pak camat?”

“Itu rahasia, kalau mau tahu tanya sama bapak camat saja sendiri.”

“Ya, ya…, mentang-mentang sudah jadi mantunya pak camat.”

“Bang Mamat,” Imah menyela, “cepet pulang ke kantor dong, ada urusan pribadi yang harus kami tuntaskan. Kalau tidak pulang, awas nanti saya adukan sama bapak.”

Sambil menyeringai tawa, “Ya, kalau saya lama-lama di sini, nanti ganggu. Saya ngerti kok.”

“Kami tidak ngusir lho Mat.”

“Ha, ha, ha…, ha….,ha.., “ semua tersimpul dalam tawa.

Atas kejadian ini, kampung akan tetap heboh dan geger lagi. Tapi, tidak dengan artis tunggal lagi. Kini, artisnya adalah Sarjan dan Imah.

Purwodadi, 17 Oktober 2006.

Tidak ada komentar: