Rabu, 26 Agustus 2009

Kepengarangan Agus Vrisaba dalam Cerpennya Berjudul Mancing dan Ibu

A. Pendahuluan
Siapa Agus Vrisaba? Mungkin, tidak banyak yang tahu. Tidak banyak catatan tentang dirinya. Laki-laki kelahiran Klaten, 15 Mei 1941 dengan nama Kho Ping Hwie, itu meninggal pada 17 Februari 1992 setelah kepindahannya ke Tawangmangu pada akhir tahun '80-an. Pada pertengahan tahun '70-an, Agus menikahi Indrawati Vrisaba, kemudian pindah dan bermukim di Bali.

Agus adalah anak kedua dari delapan bersaudara, 5 laki-laki dan 3 perempuan. Ayahnya berasal dari Klaten, ibunya dari Purwokerto, keduanya adalah pedagang kelontong. Masa kecilnya tidak bahagia, tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Ini boleh jadi disebabkan perilakunya yang nakal dan bandel, suka membantah dan memberontak terhadap perintah orang tua. Suka bertengkar deisgan kakaknya, yang selalu dibela oleh orang tuanya.

Menurut Antonius Kho, saking tak tahan dengan kebandelannya, Agus kecil (kelas 3 SD) akhimya disekolahkan dan diasramakan di sebuah sekolah Katolik di Semarang, tetapi baru tiga bulan ia melarikan diri. Seluruh keluarga tak tahu, Agus naik apa dari Semarang untuk tiba lagi di Klaten. Karena tak mampu membendung marahnya kepada Agus, Ayahnya kemudian menitipkan Agus kepada pamannya di Purwokerto. Lulus SMP, kemudian melanjutkan SMA di Klaten, sempat kuliah di Yogyakarta satu semester dijurusan sastra.

Pada awal pemikahannya, dengan idealisme yang tinggi, ia memutuskan hidup sepenuhnya sebagai penulis. Sejak saat itu, dalam situasi yang serba sulit secara ekonomi, dari tangannya mengalir deras karya-karya berupa puisi, cerpen, novelet, nukilan kisah para tokoh, dan karya terjemahan lainnya.

Karya-karyanya diterbitkan oleh Kompas, Sinar Harapan. Belakangan juga di Suara Pembaharuan, Vista, Jawa Pos, Bali Post, Intisari, Surabaya Post, Suara Indonesia, Xtra, termasuk sebelum itu di Zaman, dan juga berbagai terbitan daerah lainnya.
Penerbit Buku Kompas (PBK) berupaya menghadirkan kembali karya-karyanya dan menyuntingnya dalam sebuah buku kumpulan cerpen tunggalnya yang pertama berjudul Dari Bui Sampai Nun tahun 2004. Agus sendiri hingga akhir hayatnya, belum sempat membukukan karya-karya. Hanya ada satu cerpennya yaitu Sodom dan Gomorah, diikutsertakan dalam antologi Dua Kelamin bagi Midin, yang diterbitkan PBK tahun 2003.

B. Permasalahan
Persoalan dalam makalah ini adalah bagaimana kepengarangan Agus Vrisaba dilihat dari cerpennya berjudul Mancing dan Ibu?

Untuk menjawab persoalan itu, penulis menggunakan metode Ganzheit. Dalam metode Ganzheit sang kritisi bertindak sebagai orang kedua dalam suatu pembicaraan yang akrab. la menghadapi karya sastra tanpa memasukkannya ke dalam kotak-kotak yang sudah tersedia. Ia membiarkan karya sastra bebas, hidup, bergerak terus secara unik, seakan sebagai suatu pribadi, tersendiri, sebagai subjek lain. Pada hakekatnya berdialog dengan karya sastra bukan berdialog dengan suatu hasil teknik, tetapi dengan pengarangnya sebagai pribadi. (Budiman dan Mohamad, 1978)

Dua cerpen tersebut terdapat dalam kumpulan cerpen Agus Vrisaba berjudul Dari Bui Sampai Nun yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (PBK) tahun 2004. Sebelumnya, Mancing dipublikasikan Kompas, Minggu, 8 Juni 1986, dan Ibu dimuat dalam harian Kompas, Minggu, 10 Januari 1988.

C. Pembahasan
Tokoh utama dalam cerpen Mancing adalah "Aku", "Istriku", dan Karjo Mancing. Sementara itu, terdapat tokoh figuran, yakni: Mbok Mardi, Mertuaku, Ibuku, Iparku, dan dua temanku.
Alur maju yang digunakan oleh Agus Vrisaba dalam cerpen ini menjadikan cerita mudah dicerna. Runtutan peristiwa satu ke peristiwa lain seolah tidak ada jeda. Cerita mengalir begitu saja bagai air.

Sudut pandang orang pertama membuat Agus Vrisaba leluasa menceritakan tokoh-tokoh dalam cerpen Mancing. lajuga mudah mengungkapkan perasaan dan pemikiran tokoh "Aku" dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada. Sayangnya, Agus tidak memiliki keberanian untuk menentukan sikap dalam menghadapi tokoh-tokoh cerpennya. Agus cenderung menganggap tokoh "Aku" sebagai "anak emas", yang pertama dan utama. Akibatnya, tokoh-tokoh lain dalam cerpen itu hanyalah sebagai pelengkap-penderita.
Tidak ada satupun tokoh yang dihadirkan Agus, memiliki keberanian untuk menentang keras terhadap segala yang dilakukan oleh "Aku". Agus selalu membuat tokoh "Aku" sebagai pemenang. Pertentangan antar tokoh mengesankan hanyalah sebagai pemanis cerita. Toh, Agus selalu menjadikan "Aku" melenggang-kangkung dengan pendirian dan keinginannya. Akibatnya, konflik dalam cerpen Mancing tidak tampak jelas. Bahkan, seolah-olah tidak ada.

"Istriku" yang sedari awal tidak setuju dengan keinginan "Aku" untuk menggantungkan hasil hidup dari memancing, setidaknya tidak bisa mencegah keinginan suaminya itu. Agus Vrisaba selalu menjadikan tokoh "Istriku" menuruti segala keinginan tokoh "Aku". Seperti ketika "Aku" nganggur dan hanya duduk-duduk di pinggir kali untuk mancing hingga barang-barang perhiasan sekotak penuh pemberian orang tua "Istriku" habis terjual untuk ongkos makan, "Istriku" tidak bereaksi berlebih.

Kalau istriku mengomel-ngomel karena aku malas cari duit, aku punya alasan untuk itu. Agar orang bisa kembali ke Firdaus, kataku, maka harus berhenti mencari uang. Isriku percaya penuh kepada Injil. Kutunjukkan dengan cermat ayat-ayat di dalam Injil yang menunjang pendapatku itu.

"Istriku" adalah tipe perempuan setia. "Istriku" sebagai penurut segala keinginan "Aku". Dan, "Aku" selalu berhasil merayu istrinya.
Aku selalu berhasil membujuk-bujuk Istriku.
"Istriku" mau ketika diajak pidah tempat tinggal ke Bali menuruti hobi mancing "Aku". Dapat dipastikan "Istriku" mau juga ketika diajak "Aku" pindah ke Uhak di Wetar, Maluku Tenggara.
Biarpun begitu, "Aku" sebenamya adalah laki-laki yang sederhana. "Aku" selalu menuruti semua yang dikatakan oleh guru memancingnya, Karjo Mancing.
Tapi mancing membutuhkan sikap menerima, kata Karjo Mancing, maksudku menerima apa adanya. Kalau kau cuma mendapat seekor, terimalah dengan perasaan syukur seperti kalau kau diberi rezeki belasan ekor.

"Aku" memiliki tekad untuk mengikuti apapun yang dikatakan oleh Karjo Mancing.
... Kukatakan kepada istriku bahwa kalau aku hisa menerima apa adanya, barulah hidupku hebas dari gangguan kecewa, sesal, sedih, jengkel, marah dan bend. Aku kepengin hidup seperti itu.

Lewat tokoh "Aku", Agus Vrisaba ingin menunjukkan bahwa dibutuhkan keberanian untuk dapat hidup sederhana.
... Dia kepengi seperti aku, tapi tak bisa. Dia bilang untuk hidup sederhana seperti aku, butuh keberanian.

Melalui tokoh "Aku", Agus ingin menyatakan bahwa dirinya adalah hamba yang bersyukur.
Namun aku masih tetap mancing. Tuhan Maha Pemurah. Masih saja aku dapat ikan.

Agus juga menyatakan bahwa mancing adalah sebuah pilihan hidup.
Persoalannya bukan begitu, kataku. Mancing bagiku menyangkut soal sikap hidup. Kalau aku jadi orang kaya lebih baik aku tidak mancing.

Agus menulis cerpen Mancing karena ia menilai bahwa perilaku masyarakat terhadap lingkungan sangat keterlaluan. Pada waktu itu marak terjadi kegiatan memortas dan menyetrom sungai. Perusakan lingkungan semacam ini lebih disebabkan oleh orang-orang kota.
Anak-anak orang kaya di kota sekarang punya hohi pergi ke desa-desa membawa portas. Sungai-sungai di portas untuk memuaskan hobi mereka mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya. Kemudian mereka beli aki mobil dan menyetrom sungai. Segala jenis ikan mati diportas dan disetrom.

Hal itu tidak hanya terjadi di satu daerah saja, malah sudah terjadi dimana-mana. Hal ini sebagai bukti mentalitas serakah masyarakat kita.
Tapi belum lama aku di Bali, penyakit memortas sungai berjangkit pula di sana. Toko-toko peralatan pancing menjual pula portas. Kemudian penyakit menyetrom sungai berjangkit pula.

Pilihan hidup tokoh "Aku" untuk memancing, mungkin juga adalah pilihan Agus untuk senantiasa menjaga lingkungan dengan baik. Bukankah lingkungan hidup yang baik adalah tempat hidup yang baik pula?
Masih sama memakai sudut pandang "akuan", dalam cerpen Ibu Agus Vrisaba bercerita tentang hubungan seorang anak dengan ibunya. Kedekatan anak-ibu rupanya tidak selalu sama dengan hubungan bapak-anak.
Setelah dua puluh tahun "Aku" tidak pemah lagi pulang ke rumah, pada hari duka itu kesampaian juga. "Aku" agak kaget menyaksikan ibunya sudah sedemikian tuanya. Bagi Agus, lewat tokoh "Aku", sosok ibu selalu menenteramkan.
... Dan pada saat lenganku digapit oleh Ibu itu, aku merasakan perasaan tenteram yang telah dua puluh tahun hilang dari hatiku.

Justru sebaliknya, hubungan anak-bapak itu sangatlah buruk. Malah bagi Agus lewat tokoh "Aku", ia tidak menganggap laki-laki itu sebagai bapak setelah pengusiran itu. Pada kehidupan nyata, setelah lulus SMP Agus pernah "dititipkan" kepada pamannya di Purwokerto karena sang bapak tidak mampu membendung kemarahannya terhadap Agus.
Bukan, bantahku dalam hati, dia bukan ayah kandungku. Dan aku teringat ketika aku minggat dari rumah. Tapi sekarang lelaki yang pernah kubenci karena telah merampas kebahagianku itu telah tiada, terbujur kaku dan tak berdaya.

Ketika "Aku" menikah, empat bulan lalu, sang Ibu sekali pun tidak peroah tahu seperti apakah menantunya. Cantikkah? "Biasa-biasa saja, " jawabku tanpa senyum. Lama tidak bertemu, ternyata menimbulkan kekakuan pada "Aku".
Aku sendiri tak tahu, mengapa aku menjadi begitu kaku terhadap Ibu. Padahal dalam hati auku mendambakan hubungan mesra seperti dulu-dulu...

Berbeda dari cerpen Mancing, Agus memakai alur flashback untuk menceritakan masa kecilnya. Kemesraan antara ibu-anak itu memang benar adanya. "Aku" setiap kali pulang sekolah langsung menuju kios ibunya. Di kios itu, setelah makan siang, "Aku" mengajak ibunya bermain dam-daman atau macanan atau tiga. Kalau kios sudah tutup, keduanya pulang bersama-sama. Sebelum tidur "Ibu" mendongengi "Aku". Setiap hari seringkali mereka melakukan aktivitas sehari-hari berdua hingga kehadiran seorang laki-laki yang kemudian menjadi ayah tin bagi "Aku".
Sejak saat itu, benih kebencian "Aku" terhadap Pak Lugito, nama ayah tiri "Aku", mulai tumbuh. "Aku" mempertanyakan kesetian Ibunya kepada mendiang Ayahnya yang meninggal ketika "Aku" berumur tiga tahun.
"Itu berarti Ibu tidak setia kepada mendiang Ayah," kataku.

"Aku" menganggap Pak Lugito sebagai orang ketiga dan membuat jarak hubungan antara "Aku" dan Ibu. "Aku" juga merasakan bahwa Pak Lugito juga tidak suka dengan "Aku". Orang yang menjadi pelarian "Aku" adalah Bu Sastro, tetangganya yang seorang janda.
Lewat tokoh "Aku" Agus mengungkapkan sakit hatinya kepada Ayah tirinya itu. Bahkan "Aku" memutuskan minggat dari rumah.
Aku katakan kalau ayah tiriku masih di rumah besar itu, untuk selama-lamanya aku tak akan pulang.

Dari dua cerpen Agus Vrisaba, Mancing dan Ibu, dapat diketemui kesamaan di antara keduanya. Pertama, soal sudut pandang; Agus menggunakan "akuan". Hal ini menjadikan Agus leluasa menyampaikan perasaannya ke dalam cerita. Imbas dari itu, didapatkan kesan kebencian seorang anak terhadap bapak tirinya yang sangat terlalu seperti dalam Ibu. Ego pengarang pun terlalu masuk ke dalamnya.
Berbeda dengan cerpen Mancing, Agus berusaha menyembunyikan diri. Ia tidak sevulgar dalam cerpen Ibu. Mancing lebih mirip lika-liku kehidupan Agus hingga ia memutuskan untuk hidup dari menulis—menjadi penulis—sepenuhnya.
Hal itu menimbulkan kesan bahwa kedua cerpen itu adalah kehidupan nyata Agus Vrisaba—mungkin juga dengan cerpen Agus lainnya.
Pengguanaan sudut pandang berimbas kepada hal kedua, soal konflik. Di sini ditemui kadar emosi yang berbeda. Luapan emosi yang berbeda menjadikan kadar konflik berbeda. Dalam cerpen Ibu konflik batin terkesan sangat mencekam. Sementara itu dalam cerpen Mancing konflik tidak jelas. Bahkan terkesan tidak ada.
Ketiga, soal latar. Latar tempat dalam dua cerpen itu yang paling menonjol adalah di rumah. Sementara latar waktu tidak begitu jelas, kecuali rentetan biografi seseorang.
Keempat, soal alur. Meski dalam dua cerpen itu alur yang digunakan Agus berbeda, tetapi pada intinya sama, yaitu linear atau lurus. Di dalam Mancing menggunakan alur maju, sementara dalam Ibu menggunakan alur mundur atau flashback. Linear di sini adalah tidak ada pencabangan.
Kelima, tema yang diangkat Agus adalah kehidupan keseharian. Sangat pas sekali jika disematkan predikat penulis realis kepada Agus Vrisaba. Bahkan jika membaca dua cerpen Agus itu dan biografi hidupnya, kemudian membandingkan, akan ditemui banyak kesamaan. Oleh sebab itu, tidak salah jika dikatakan bahwa membaca cerpen-cerpen Agus sama halnya dengan membaca catatan kehidupan Agus Vrisaba itu sendiri.
Justru ini menjadi kelemahan Agus. “Aib” diri sendiri dipublikasikan kepada khalayak umum. Bukankah bisa menjadi bumerang bagi Agus sendiri?

D. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai penulis cerpen Agus Vrisaba menggunakan sudut pandang orang pertama atau akuan, sementara konflik cerita bergantung kadar luapan emosi Agus Vrisaba. Latar tempat yang paling menonjol adalah di rumah dan Agus menggunakan alur linear. Tema-tema cerpen Agus Vrisaba adalah kehidupan keseharian.

1 komentar:

Tanjung mengatakan...

Agus vrisaba bapak mertuaku