Rabu, 26 Agustus 2009

Ayat-Ayat Cinta: Karya Pop atau Sastra?

Dunia literatur Indonesia kembali semarak dengan hadimya novel berjudul Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Jebolan Universitas Al Azhar, Kairo, ini menulis novel setebal 403 halaman yang sampai saat ini masih hangat diperbincangkan.

Novel yang telah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, menyandang predikat nasional best seller. Ribuan bahkan jutaan orang telah membaca novel ini. Novel yang mencapai cetak ulang sebanyak 33 kali ini diterbitkan oleh Penerbit Republika, Jakarta, bekerja sama dengan Pesantren Basmala Indonesia, Semarang, sejak tahun 2004.
Masyarakat Indonesia telah terjerat fenomena Ayat Ayat Cinta. Mulai dari kalangan akademisi, pekerja sampai pejabat pemerintahan. Baik itu laki-laki maupun perempuan. Entah remaja, muda, sampai tua. Mengamati kondisi ini, muncul sebuah pertanyaan: apakah novel Ayat Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy merupakan karya bemilai sastra ataukah hanya sekedar karya populer?

Bernilai sastra
Sebuah karya dapat dikatakan memiliki nilai sastra jika memiliki ciri sastra dan memenuhi kaidah sastra. Sebagaimana dikatakan Herman J. Waluyo, (1994: 56-58 ) bahwa kaidah sastra atau daya tank sastra terdapat pada unsur-unsur karya sastra tersebut. Pada karya cerita fiksi, daya tariknya terletak pada unsur ceritanya, yakni cerita atau kisah dari tokoh-tokoh yang diceritakan sepanjang cerita yang dimaksud. Selain itu, faktor bahasajuga memegang peranan penting dalam menciptakan daya pikat, kemudian gayanya dan hal-hal yang khas yang dapat menyebabkan karya itu memikat pembaca. Khusus pada cerita fiksi, ada empat hal lagi yang membantu menciptakan daya tank suatu cerita rekaan, yaitu : 1) kreativitas, 2) tegangan (suspense), 3) konflik, dan 4) jarak estetika.

Ciri sastra yang akan kita pahamkan di sini adalah ciri-ciri sastra yang pemah dikemukakan oleh para ahli sastra atau para praktisi sastra. Weliek & Warren (1989:22) menyebutkan: 1) menimbulkan efek yang mengasingkan, 2) fiksionalitas, 3) ciptaan, 4) tujuan yang tidak praktis, 5) pengolahan dan penyampaian melalui media bahasa, 6) imajinasi, 7) bermakna lebih, 8) berlabel sastra, 9) merupakan konvensi masyarakat, sebagai ciri-ciri sastra.

Selain itu, Lexemburg, dkk. (1984:9) menambahakan beberapa ciri lagi, yaitu: 1) bukan imitasi, 2) otonom, 3) koherensi, 4). sintesa, dan 5) mengungkapkan yang tak terungkapkan sebagai ciri sastra yang lainnya. Dengan demikian sudah teridentifikasi empat belas ciri sastra. Tentu pendapat lain dapat pula ditambahkan, seperti pendapat yang dipegang pada zaman Romantik, bahwa sastra itu merupakan luapan emosi spontan, sedangkan menurut kaum Formalis, sastra selain menunjukkan cirinya pada aspek sintaktik, juga pada grafiknya.

Sastra Populer
Karya populer sering disebut juga dengan karya pop atau ngepop. Suatu karya dikatakan bernilai populer jika tidak memiliki wama lokal tempat yang menjadi latar tempat dalam cerita. Yang dimaksud wama lokal di sini adalah penggunaan bahasa setempat, kearifan lokal atau nilai adi luhung daerah. Selain itu, tidak memiliki latar sosial budaya yang kuat, dan juga tidak bemilai historis.

Dapat dikatakan pula bahwa karya populer, dari sisi cerita, bisa terjadi (berlatar) di manapunjuga tempat (latar) di belahan bumi ini, dan kapan pun bisa terjadi. Dilihat dari segi penikmat/pembaca, karya pop lebih banyak digandrungi atau dibaca oleh banyak orang. Alasannya, karya pop lebih menitik-beratkan kepada aspek hiburan semata. Istilah lain sebagai pelipur lara semata. Tidak kurang, tidak lebih.

Ayat Ayat Cinta
Novel karya Habiburrahman El Shirazy yang satu ini menceritakan kehidupan Fahri, pemuda Indonesia yang sedang menempuh studi S2 di Universitas Al Azhar, Kairo. Fahri berasal dari latar belakang dari kalangan keluarga yang sederhana dan dia dibesarkan dalam lingkup lingkungan yang agamis. Fahri digambarkan sebagai tokoh pria ideal. Selain rupawan, ia juga cerdas. Baik dalam hal agama (Islam) maupun akademiknya.
Ayat Ayat Cinta dapat dikatakan sebagai karya yang bemilai sastra. Hal ini didasarkan bahwa dalam novel ini Habiburrahman El Shirazy, sang penults, mampu menggambarkan sedetail mungkin suasana dan keadaan yang terjadi di Kairo. Kang Abik, sapaan penulis, mampu mengkombinasikan kebudayaan dan kebiasaan orang Kairo ke dalam alur cerita dengan menggunakan gaya bahasa penceritaan yang mengalir dan memberi kesan ke pembacanya.

Habiburrahman El Shirazy menggunakan latar cerita yang sangat berkarakter dengan menggambarkan cuaca sangat panas yang mampu membuat ubun-ubun kepala mendidih. Debu-debu yang berterbangan diterpa angin yang seakan-akan menampar wajah dan pemukiman warga menjulang seperti kubus yang ditata berurutan kemudian bangunaan Universitas El Azhar berdiri megah. Hal ini menguatkan bahwa Latar cerita tidak dapat digantikan dengan tempat yang lain karena ceritanya memiliki latar sosial budaya yang sangat kuat.
Orang Mesir memang suka bicara. Kalau sudah bicara ia merasa paling benar sendiri. (hal 36)
Biasanya orang Mesir sangat susah berbahasa Inggris dengan fasih. Kata 'friend' selalu mereka ucapkan 'bren'. Huruf 'f jadi 'b'. (hal 42)

Dalam Ayat Ayat Cinta, penults menggunakan catatan kaki untuk memperjelas dan mempermudah pembaca menikmati konflik yang terjadi dalam cerita sehingga para pembaca seakan mampu merasakan dirinya terbawa ke dalam alam Kairo yang digambarkan oleh penulis.

Novel ini juga dapat dikatakan sebagai karya populer dengan melihat aspek penikmat atau pembacanya. Novel tersebut sangat digandrungi oleh berbagai kalangan di belahan negara ini serta mungkin juga di belahan bumi yang lain. Hal ini dibuktikan dengan konflik cerita yang melulu berkutat tentang cinta.

Selain itu juga diperkuat oleh cerita tidak bernilai historis. Jika dilihat dari segi cerita, cerita yang ada dalam karya Habiburrahman-El-Shirazy yang satu ini dapat terjadi kapan pun juga tidak terikat dalam suatu budaya tertentu.

Kesimpulannya adalah Ayat Ayat Cinta merupakan karya yang bernilai sastra populer.

Tidak ada komentar: