Sabtu, 15 Agustus 2009

Kerancong Riwayatmu Kini

Tombo ati iku lima wernane
Kaping pisan moco qur’an sak maknane
Kaping pindho sholat wengi lakon ana
Kaping telu wong kang sholeh kumpul ana
Kaping papat weteng iro ingkang luwih
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo bias ngelakoni
Insya Allah gusti pangeran ngijabahi

Oleh Eko Pujiono

Lagu berjudul “Tombo Ati” ciptaan K.H. Bisri Mustofa di atas yang juga sempat dipopulerkan oleh Opick baru-baru ini, malam itu awal tahun baru 1429 H, dilantunkan Atun Tias (58) berserta empat wanita seumurannya dengan merdu mendayu. Iringan grup musik keroncong “Kawula Alit” turut membius malam satu Suro, mengajak para pendengarnya untuk mencermati makna lagu yang terkandung. Tombo Ati menjadi pembuka pementasan yang terkesan seadanya itu. Di atas panggung berukuran 4x7 m setinggi tidak lebih dari lutut orang dewasa itu, mereka menampilkan kebolehannya. Kecilnya panggung yang didominasi warna hijau muda, memaksa kelima wanita itu menyanyi di atas lantai di depan panggung sederhana itu.

Usai lagu Tombo Ati, riuh tepuk tangan dari penonton turut menyemarakkan suasana malam itu di tengah-tengah lapangan kampung di salah satu sudut Kota Semarang. Beberapa penonton berseloroh meminta lagu. “Gambang Semarang” menjadi lagu kedua yang dinyanyikan Atun Tias bersolo ria memenuhi permintaan penonton. Suasana malam itu menghangat. Dini hari baru saja dimulai.

Seusai menyanyikan lagu itu, penulis berkesempatan berbincang-bincang dengan wanita yang menjadi bintang panggung. Dengan pakaian setelan warna hitam, rambut sepunggung hitam mengembang, dipadu aksesoris yang tidak mencolok, serta modal suaranya yang merdu, Atun Tias menjadi pusat perhatian pada malam itu.

Atun Tias menuturkan jenis musik keroncong mulai benar-benar ia geluti sejak tahun 1997. Sebelumnya, Yu Atun (:Ayu Atun, panggilan akrabnya) sudah suka sekali mendengar lagu-lagu keroncong yang sering diputar di RRI (Radio Republik Indonesia) Jawa Tengah kala itu. Rasa cintanya pada jenis musik yang satu ini dikarenakan kekhasan yang dimiliki. “Kalau sudah nyetel RRI yang didengar pasti keroncong. Keroncong itu slow tapi ngelaras,” ungkapnya dengan diselingi tawa.

Sejak tahun itu keroncong menjadi pilihan sumber penghidupan bagi dia dan anak-anaknya, selain berjualan (menjual rumah), sesaat setelah ditinggalkan sang suami untuk selamanya. “Awal mulanya latihan ke sana kemari. Dulu, di Semarang, setiap malam ada latihan keroncong. Malah hampir setiap kelurahan punya grup keroncong,” kenangnya.

Yu Atun yang kini tinggal di Karanganyar Legok, menyebut beberapa nama grup keroncong yang biasanya terdiri dari 12-15 orang, yang masih dapat ia ingat. Sinar Muda, Irama Dewangga, Kehakiman, Kawula Alit dan Melati Suci. “Sebenarnya masih banyak lagi,” imbuhnya.
Seingatnya, dulu tidak hanya puluhan, malah ada ratusan grup musik keroncong pernah eksis di Semarang. Kini, hanya tertinggal sekitar 35 yang baru-baru ini daftar ulang (mencatatkan diri) di Hamkre (Himpunan Artis Musik Keroncong Semarang).

Ibu dari 9 anak dan nenek dari 17 cucu ini juga menyebutkan beberapa tempat yang sering menjadi tempat latihan untuk mengolah vocal dan menghafal lagu-lagu baru. Tidak hanya lagu keroncong yang sudah popular, lagu barat, langgam, campursari, dangdut hingga lagu pop macam “O’o.., kamu ketahuan pacaran lagi, dengan si dia (Mata Band)” menjadi tantangan tersendiri bagi Yu Atun agar dapat ia nyanyikan dengan merdu.

“Jomblong Legog, di Pasar Kambing, Candi Lama, Candi Presil, Jangli, Kelud, Dr. Cipto-Kantor Kehakiman, Kebon Harjo, Bang Anom, biasanya setiap malam menjadi tempat latihan. Biarpun sering latihan, hampir tiap malam, seneng rasanya. Kalau sudah ketemu (teman-teman/rekan latihan), seneng rasanya. Bahkan kadang-kadang lebih banyak kangen-kangenan dan guyonan sama teman-teman dari pada latihannya. Kalau sudah guyonan, cekekekan. Pokoke seneng,” cerita Yu Atun.

Yu Atun tidak pernah memasang tarif dalam setiap kali diajak pentas. Ia akan menerima berapa saja uang yang diberikan kepadanya usai ditanggap. “Saya ndak pernah ngarani (pasang tarif: red). Biasanya mereka (yang meminta untuk pentas/penanggap) menyesuaikan dengan kemampuan dan jam terbang penyanyi. Jadi saya terima apa adanya. Diberi sedikit, ya, diterima. Diberi banyak, ya, alhamdulillah,” ungkap Yu Atun yang tidak tahu pasti kapan ia akan berhenti dari keroncong yang sudah lama digeluti.

Ia turut prihatin mengamati kondisi pada saat ini: keroncong yang mulai kurang diminati. Yu Atun punya pengalaman tersendiri. Demi keroncong dapat diminati oleh anak muda, ia merelakan mengalah dalam suatu lomba pentas keroncong tingkat Jawa Tengah. “Saat lomba di RRI yang dimenangkan yang masih muda, biarpun ada salah-salah sedikit tidak apa-apa. Biar ada bibit-bibit baru,” ujarnya.

Bob Sartomo (78) pimpinan grup musik keroncong yang pentas, Kawula Alit, berinisiatif membentuk grup itu karena seringnya bertemu dengan rekan-rekan pecinta musik keroncong yang kemudian menjadi para personelnya. Karena para anggotanya terdiri dari orang-orang dari kelompok ekonomi bawah, maka dipilihlah nama Kawula Alit. “Kawula Alit terdiri dari orang-orang pas-pasan,” ungkapnya.

Kecintaan terhadap musik keroncong dimulai sejak ia masih kecil. “63 (tahun 1963) saya sudah ikut-ikutan. Kumpul-kumpul main keroncong,” kenangnya.
Pria yang telah dikaruniai 2 putra, 3 cucu, dan 1 buyut yang kini tinggal di Wonodri Kopen, sehari-harinya adalah pengangguran. “Kalau ada, dimakan. Kalau tidak, ya, sudah. Lha wong penganggur. Saya makan dari (penghasilan bermain) keroncong dan anak-anak saya,” ungkapnya datar.

Melihat kondisi saat ini, keroncong yang mulai surut, Bob Sartomo tetap yakin keroncong akan terus ada. “Penerus tetap ada, biarpun (keroncong) tidak tenar,” selorohnya. Menurutnya keroncong harus dilestarikan. Caranya dengan membuat keroncong dipakai yang muda-muda.

Keroncong
Keroncong adalah sejenis musik Indonesia yang memiliki hubungan historis dengan sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado. Sejarah keroncong di Indonesia dapat ditarik hingga akhir abad ke-16, di saat kekuatan Portugis mulai melemah di Nusantara. Keroncong berawal dari musik yang dimainkan para budak dan opsir Portugis dari daratan India (Goa) serta Maluku. Bentuk awal musik ini disebut moresco, yang diiringi oleh alat musik dawai.

Dalam perkembangannya, masuk sejumlah unsur tradisional Nusantara, seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan. Pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini sudah populer di banyak tempat di Nusantara, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya. Masa keemasan ini berlanjut hingga sekitar tahun 1960-an, dan kemudian meredup akibat masuknya gelombang musik populer. Meskipun demikian, musik keroncong masih tetap dimainkan dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan Malaysia hingga sekarang.
Alat-alat musik keroncong yang sekarang ini lazim dimainkan dalam suatu pertunjukkan musik keroncong adalah Violin (Biola), Seruling (Flute), Cuk (Ukulele), Cak (Tenor Banjo), Gitar, Selo (Cello), dan Double-Bass. Keroncong mungkin menambah alat-alat lain seperti alat gitar Hawaii, akordian atau vibrofon.

Di Indonesia kita mengenal pencipta lagu keroncong yang ternama di antaranya Ismail Marzuki, Gesang R. Maladi, Oey Yok Siang, R. Sutedjo, Arimah, Budiman B. J., S. Padimin, L. Hidayat, S. Poniman, Teruma Hadi, Iskandar dan Mochtar Embut dan pada masa sekarang Soeharto A. H., Riyanto. Tentunya kita tidak melupakan sosok Waljinah dan Mus Mujiyanto, penyanyi dan musisi keroncong yang terkenal itu.

Salah satu tokoh Indonesia yang memiliki kontribusi cukup besar dalam membesarkan musik keroncong adalah bapak Gesang. Lelaki asal kota Surakarta (Solo) ini bahkan mendapatkan santunan setiap tahun dari pemerintah Jepang karena berhasil memperkenalkan musik keroncong di sana. Salah satu lagunya yang paling terkenal adalah Bengawan Solo. Lantaran pengabdiannya itulah, oleh Gesang dijuluki "Buaya Keroncong" oleh insan keroncong Indonesia, sebutan untuk pakar musik keroncong.

Asal muasal sebutan "Buaya Keroncong" berkisar pada lagu ciptaannya, Bengawan Solo. Bengawan Solo adalah nama sungai yang berada di wilayah Surakarta. Seperti diketahui, buaya memiliki habitat di rawa dan sungai. Reptil terbesar itu di habitanya nyaris tak terkalahkan, karena menjadi pemangsa yang ganas. Pengandaian semacam itulah yang mendasari mengapa Gesang disebut sebagai "Buaya Keroncong".

Keroncong di Malaysia
Di Malaysia musik keroncong ramai dimainkan oleh para pekerja buruh dari Indonesia, terutama dari Jawa. Penduduk dari Jawa, tidak ketinggalan juga membawa bersama kesenian termasuk seni musik gamelan, musik untuk wayang kulit, kuda kepang, barongan, hamdulok, katoprak, silat dan sebagainya.

Sejak mulai masuknya musik keroncong di Semenanjung Malaya (Malaysia) pada penghujung abad 19 oleh orang-orang dari Indonesia, khususnya dari Jawa yang bekerja di sana, keroncong pun mulai berkembang dan mulai diminati oleh penduduk setempat.
Dikalangan kaum Baba dan Nyonya, lagu keroncong sangat digemari. Di Indonesia, ramai keturunan Cina yang meminati lagu keroncong dan ada antara mereka yang menjadi pencipta terkenal.

Kawasan-kawasan yang banyak terdapat kegiatan musik keroncong adalah di tempat-tempat di mana terdapat ramai orang Jawa dan keturunannya seperti di negeri Johor, di pantai barat negeri Selangor dan Perak.

Pada mulanya lagu-lagu keroncong yang dimainkan oleh orang setempat adalah lagu-lagu yang berasal dari Indonesia. Akan tetapi lama-kelamaan, setelah Perang Dunia Kedua, ada pencipta lagu yang mencipta lagu-lagu keroncong bercorak Melayu seperti Zubir Said, Ahmad Jaafar, P. Ramlee, Mohd. Wan Yet, Johar Bahar, Sudar Mohammad, Zainal Ibrahim dan pada akhir-akhir ini Mahzan Manan dan Ariff Ahmad.

Pada tahun lima puluhan, di negeri Johor khususnya di Johor Bahru telah terbentuk beberapa grup musik keroncong seperti ‘Suara Timur Keroncong Orkes’ di Kampung Stulang Darat, ‘Pepat Keroncong Party’ di Kampung Tambatan dan Mohd. Amin Johor Bahru, dan ‘Mawar Puteh Keroncong Party’ di Kampung Chik Ami Ngee Heng yang diketui oleh Encik Omar bin Abu Samah. Ketika itu, musik keroncong biasanya dipersembahkan di majelis jamuan atau pesta. Kini keroncong telah mulai bertukar corak, sesuai dengan peredaran masa dan selera terutama cara persembahannya. Gubahan musik keroncong dibuat untuk permainan pancaragam (orkestra) dan kumpulan gitar rancak.

Di Malaysia program pengembangan musik keroncong telah dilaksanakan sejak tahun 1997. Program ini bermula dengan pengambilan 5 orang tenaga pengajar keroncong dari Indonesia. Dari sini muncul pembentukan bengkel-bengkel musik atau tempat latihan musik keroncong. Bengkel ini telah diadakan dengan peresmiannya pada 15-18 Juni 1999 di Pusat Kegiatan Seni, YWJ.
Bengkel-bengkel musik keroncong itu pun melahirkan banyak grup musik keroncong di beberapa buah daerah, antara lain di Johor seperti Batu Pahat, Johor Bahru, Kluang, Kota Tinggi, Pontian, Mersing dan Segamat.

Sepanjang tahun 2000, sering diselenggarakan pertandingan musik keroncong dan nyanyian lagu-lagu keroncong di seluruh daerah negeri Johor oleh Dewan Kesenian di sana, yakni Yayasan Warisan Johor. Setiap tahun perlombaan keroncong semacam ini rutin dilaksanakan.
Hal itu sebagai salah satu usaha untuk mengembangkan musik keroncong di Malaysia. Melalui langkah-langkah yang inovatif, kreatif dan berkelanjutan, dengan didukung oleh semua pihak diharapkan musik keroncong akan muncul sebagai musik alternative yang banyak digemari.

Keroncong di Indonesia
Mengamati kondisi musik keroncong yang mulai memudar di Indonesia, khususnya di Semarang, seperti yang dituturkan oleh Atun Tias dan Bob Sartomo di atas, rasa-rasanya sulit sekali mengembalikan kejayaan keroncong seperti pada masa emasnya, sekitar tahun 60-an. Keprihatinan seperti itu pastinya akan mencuat manakala membandingkan dengan perkembangan keroncong di Malaysia.

RRI yang dahulu sangat santer memperdengarkan lagu-lagu keroncong, kini hanya menyediakan waktu satu jam dalam satu minggu untuk memutar lagu keroncong. Saat ini kita dapat mendengar lagu-lagu keroncong setiap hari Minggu pukul 14.00-15.00 di RRI Semarang. Hal ini sebagai pertanda sedikitnya (menurunnya) minat masyarakat terhadap musik keroncong.

Dengan demikian saat ini di Indonesia keroncong sedang mengalami fase reduksi. Berbeda di Malaysia yang sedang dalam fase perkembangan ke arah yang diharapkan, yakni keroncong digemari oleh penduduknya seiring pembinaan yang berkelanjutan dengan diadakannya perlombaan-perlombaan musik keroncong.
Jika keadaan ini dibiarkan begitu saja, dan kita sama-sama menutup mata, maka jangan kaget kalau suatu saat nanti keroncong dijadikan ikon pariwisata dan kebudayaan Malaysia, persis yang terjadi pada Reog Ponorogo yang diklaim sebagai kesenian barongan.

Yu Atun dan Bob Sartomo muda harus dirangsang untuk mulai eksis menggeluti musik keroncong. Generasi muda yang nanti memegang tongkat estafet pengembangan segala sesuatu yang ada di negeri ini, termasuk musik keroncong, harus mulai bergeliat menumbuh kembangkan bakat dan minat yang dimiliki, khususnya di bidang musik keroncong.

Pemerintah dan masyarakat juga perlu ikut campur tangan agar musik keroncong tetap eksis. Jangan sampai kita berguru pada Malaysia untuk dapat belajar musik keroncong, padahal dulu Malaysia mendatangkan guru keroncong dari Indonesia. Berjayalah musik Keroncong Indonesia.

Tidak ada komentar: