Kamis, 27 Agustus 2009

Korupsi Sudah Membudaya

Apakah korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini? Sehingga peringatan Hari Anti-Korupsi Se-Dunia diadakan di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Sabtu (9/12). Apakah ini menjadi bentuk satir terhadap Indonesia?
Ada dua kemungkinan pokok yang dapat dimungkinkan, selebihnya terserah Anda bagaimana mempersepsikannya. Pertama, di negeri ini korupsi memang sudah membudaya. Sehingga untuk meng-antikorupsi-kannya juga harus dengan pendekatan kebudayaan. Kedua, persoalan intern panitia karena sudah menjadi keputusan bahwa kegiatan dilaksanakan di tempat tersebut. Ini mungkin karena di kantor-kantor pemerintahan merasa enggan untuk menjadi tempat kegiatan semacam itu. Persoalan tempat bisa saja dianggap sebagai semacam satir.
Definisi korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Gejalanya dimana para pejabat badan-badan Negara menyalah gunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidak beresan lainnya. Korupsi juga dapat berarti penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan. Korupsi memerlukan dua pihak, yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Dari sudut pandang hukum, perbuatan korupsi mencakup unsur-unsur: melanggar hukum yang berlaku, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara, memperkaya pribadi/diri sendiri. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas/kejahatan.
Berbicara korupsi dalam ranah budaya, maraknya korupsi di negeri ini sebagai identifikasi bahwa korupsi sudah membudaya. Ada pertanyaan yang menggelitik dalam ruang pikir kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Disampaikan dengan pekik atau lemah; korupsi atau mati? Dengan tegas atau lembut; berantas korupsi atau budayakan korupsi? Dengan bahagia atau bertetes-tetes air mata; biarlah-sudahlah korupsi—toh semua “sama-sama” korupsi?
Ironis, tragis, miris, mistis; sudah cukupkah menggambarkan atau hanya sekedar mendiskripsikan? Entah dan terserah. Toh adanya apa adanya, seperti itu jua. Tidaklah pernah melegakan nafas kita.
Mengenai Peringatan Hari Anti-Korupsi Se-Dunia 9 Desember yang digelar oleh Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Jateng, Sabtu (9/12), diisi dengan pergelaran wayang dongeng yang dimainkan oleh seniman Trontong Sadewo dan orasi budaya oleh KH Mustofa Bisri.
Ki Trontong menampilkan lakon yang berjudul Asu Malang Kadal. Dalam dongengan yang dibalut dengan guyonan segar dan sentilan-sentilan berbau satir, diceritakan di suatu negeri binatang yang bernama Broto Sejati bertakhta seorang raja gagah dan bijaksana bernama Sinuwun Macan Gembong. Tegas, jujur, dan berani adalah sifat utama sang raja di samping bijaksana. Sinuwun Macan Gembong sangat antikorupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, karena memiliki sifat yang semacam itu, Sinuwun dibenci para pejabat bawahannya, terutama Patih Asu, dan penasihat kerajaan bernama Menthok. Dua pejabat kerajaan itu dikenal serakah dan suka korupsi.
Asu sejati di kerajaan Broto Sejati memiliki sifat yang serakah, bermuka dua, dan menghalalkan segala cara untuk menggulingkan pemerintahan yang syah. Melalui aksi profokasi, fitnah keji, tipu-tipu dan kekerasan, berhasillah Sinuwun digulungkan dari tahktanya. Untuk menyelamatkan diri, Sinuwun melarikan diri ke hutan belantara. Kesengsaraan hidup pun dijalaninya.
Begitulah sepenggal kisah yang dibawakan oleh Ki Trontong dengan apik. Dalam lakon itu, Trontong ingin menggambarkan, jadi orang jujur dan bijaksanan di zaman korupsi sekarang ini sangat sulit. Bahkan, seorang raja dengan segala kekuasaannya pun tak mampu bertahan kala dia tetap bertahan pada kejujuran dan sikap bijaksananya.
Sementara itu, KH Mustofa Bisri dalam orasi budayanya, mengungkapkan bahwa pangkal dari segala tindak korupsi adalah karena ketidakberdayaan dalam menangkis kecintaan terhadap dunia secara berlebihan.
“Biasanya orang yang bicara korupsi itu memfokuskan pada koruptor dan perilaku-perilakunya. Jarang sekali yang berbicara mengenai sumber dari kejahatan yang namanya korupsi. Di kalangan kepolisian, saya dengar dari polisi, ada rumus yang terkenal di sana, yang disebut N K. N itu niat, K itu kesempatan. Kata polisi, terjadinya kriminal, korupsi dan sebgala macam ini karena kumpulnya N dan K, niat dan kesempatan. Meskipun orang berniat korupsi tapi tidak punya kesempatan, tidak terjadi tindak korupsi. Meskipun ada kesempatan tapi tidak ada niat korupsi, tidak akan terjadi.
Sekarang dalam hal korupsi, masalahnya kesempatan begitu luas. Bahkan segala cara orang untuk memperluas kesempatan itu. Mulai dari aturan sampai segala macam. Sehingga sementara niat ini yang ngopeni jarang sekali, yang membyuka kesempatan banyak sekali. Sehingga dimana-mana ada kesempatan korupsi, niat tidak pernah diopeni, ya ikut-ikutan milih yang enaknya tadi. Karena yang lain-lainnya banyak yang niat korupsi, pengin tidak korupsi sendiri kayaknya kok ora pathi pantes (tidak begitu pantas).
Menyintai dunia yang berlebih-lebihan atau menyintai materi yang berlebih-lebihan, itulah pokk daripada kesalahan, sumber daripada kesalahan.,” terang kiai yang sering disapa akrab dengan Gus Mus.
Korupsi menjadi ironi; jika tidak korupsi, yang lain mengenyangkan diri dengan cara korupsi. Korupsi menjadi teka-teki; bagaimana mencari solusi pencegahannya? Banyak cerita tentang korupsi, tapi tak pernah berhasil membasmi korupsi. Gara-gara keengganan atau karena memang sudah tradisi? Semua menjadi pertanyaan dan tak pernah ada jawabnya. Korupsi adalah tanda tanya. Siapa yang berani bertanya, itu menjadi jawabannya. Tanyakan pada diri sendiri, kapan terakhir kali tidak korupsi? (Eko Pujiono)

Tidak ada komentar: