Sabtu, 15 Agustus 2009

Sombong dan Aplikasinya

TULISAN INI mencoba menangkap realitas yang terjadi di sekeliling kita. Bahasannya cukup spesifik, sombong dan aplikasinya. Bidikannya adalah sisi positifnya. Alasannya, sudah biasa sombong diartikan sebagai suatu keangkuhan semata. Sesuatu yang buruk dengan hanya membanggakan diri tanpa mau tahu dengan yang lain. Hal lain yang positif belum diungkap.

Uraian ini dimulai dengan contoh perilaku yang mungkin ditunjukkan oleh diri kita atau orang-orang yang kita anggap sombong. Seseorang sebut saja ”S” sedang berkumpul dengan beberapa orang temannya di Perpustakaan Kampus. Mereka sedang mengerjakan tugas kuliah. Si S memakai arloji tangan mengkilap. Pakaian lengan panjangnya digulung ke atas sehingga semakin memperjelas bahwa S sedang memakai arloji yang sangat menawan itu. Sebatas yang diketahui oleh teman-temannya yang ada di situ, S tidak pernah memakai arloji. Ada yang berpikiran bahwa arloji itu pasti harganya sangat mahal.

Ilustrasi di atas hanya sebuah rekaman peristiwa yang terjadi dalam kehidupan keseharian kita. Hal itu hanya seper sekian yang ada di sekeliling kita. Masih banyak hal-hal lain yang bisa saja pernah kita alami, mirip atau belum pernah terjadi sama sekali. Kita mungkin juga pernah mengalami hal yang sedemikian itu dengan objek yang berbeda, misalnya handphone, perhiasan, atau sepeda motor baru.
Ada beberapa pendapat mengenai hal tersebut di atas. Pertama, bahwasannya itu merupakan wujud dari kesombongan semata. Kedua, ahhh..., itu hanya biasa saja; tidak ada maksud apa-apa. Ketiga, yang menilai saja yang iri. Agar dapat dengan mudah mengidentifikasi persolan itu, alangkah baiknya kita mengurai arti sombong itu sendiri dari beberapa sudut pandang.

Hakekat sombong
Secara historis, kesombongan yang pertama kali dan dijelaskan oleh Al Qur’an, bermula dari peristiwa pengusiran Iblis dari syurga karena, lantaran niat sombongnya, enggan sujud kepada Nabi Adam a.s tatkala diperintahkan oleh Allah s.w.t. untuk sujud hormat kepadanya. Sebenarnya apa hakekat dari sombong itu?
Dari hadist Rosululloh Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh H.R. Muslim bahwa yang dimaksud dengan kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendah-rendahkan orang lain.

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, "Orang yang sombong adalah orang yang memandang dirinya sempurna segala-galanya, dia memandang orang lain rendah, meremehkannya dan menganggap orang lain itu tidak layak mengerjakan suatu urusan, dia juga sombong dari menerima kebenaran dari orang lain". (Jami'ul Ulum Wal Hikam 2/275)

Raghib Al-Asfahani rahimahullah berkata, "Sombong adalah keadaan seseorang yang merasa bangga dengan dirinya sendiri, memandang dirinya lebih utama dari orang lain, kesombongan yang paling dahsyat adalah sombong kepada Rabbnya dengan cara menolak kebenaran (dari-Nya) dan angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik berupa ketaatan maupun dalam mentauhidkan-Nya.” (Umdatul Qari` 22/140).

Dari uraian di atas, kita bisa mendefinikan bahwa hakekat sombong adalah sifat yang menganggap dirinya sempurna segala-galanya, menolak kebenaran yang datangnya dari orang lain, dan menganggap rendah dan remeh orang lain.

Sumber kesombongan
Setidaknya ada lima sumber yang dapat menyebabkan seseorang bersifat sombong, yakni: Pertama, NASAB KETURUNAN. Orang yang punya nasab keturunan yang tinggi menganggap hina orang yang tidak memiliki nasab tersebut, sekalipun ia lebih tinggi ilmu dan amalnya. Kadang sebagian mereka menyombongkan diri lalu menganggap orang lain sebagai pengikut dan budaknya, sehingga ia enggan bergaul dan duduk bersama mereka.

Kedua: HARTA KEKAYAAN. Hal ini biasanya terjadi di kalangan para raja, pemimpin, para konglomerat, pengusaha, tuan tanah, dan para pejabat negara serta keluarga mereka. Mereka membanggakan kedudukan dan hartanya sehingga merendahkan dan melecehkan orang lain. Orang-orang semacam ini bila tidak bertaubat akan berakhir seperti Qorun yang ditelan bumi karena kesombongan terhadap hartanya.

Ketiga: ILMU PENGETAHUAN. Demikian cepatnya kesombongan menjangkiti para ulama (kaum intelektual) sehingga seorang berilmu pengetahuan mudah merasa tinggi dengan ilmu pengetahuannya. Ia merasa paling mulia diantara manusia. Ia memandang dirinya lebih tinggi dan lebih mulia disisi Allah ketimbang yang lainnya. Hal demikian bisa terjadi karena ilmu yang didapat lebih berorientasi pada duniawi semata, tanpa dilandasi keikhlasan dan pensucian jiwa dalam menuntutnya. Sebab ilmu yang didapat dengan ikhlas karena Allah dan hati yang jujur akan melahirkan sikap tawadhu’ dan rasa takut kepada Allah.

Keempat: AMAL dan IBADAH. Orang-orang yang zuhud dan para ahli ibadah tidak terlepas pula dari nistanya kesombongan,kepongahan dan tindakan melecehkan orang lain. Dengan amal dan ibadahnya ia merasa yakin akan selamat, sementara orang lain akan binasa. Sabda Rasulullah SAW “Cukuplah seseorang dinilai telah berbuat kejahatan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim” (HR. Muslim)

Kelima: KECANTIKAN/KETAMPANAN. Kecantikan atau ketampanan seseorang bisa meyebabkan dirinya sombong dengan cara merendahkan dan menyebut-nyebut keburukan rupa orang lain.

Sombong dalam realita
Biasanya orang sombong diawali dengan adanya sesuatu yang dapat disombongkan, karena ia memiliki sesuatu yang patut disombongkan itu. Seperti disebutkan di atas. ”Kepemilikan” ini bersifat pribadi. Misalnya: rumah mewah pribadi, mobil mewah pribadi, ketenaran pribadi, ketampanan atau kecantikan pribadi, dan macam-macam yang bersifat pribadi.

Selanjutnya, orang sombong akan menunjukkan segala sesuatu kepunyaannya yang bersifat pribadi itu kepada orang lain, bahkan kalau bisa kepada semua orang. Kita mengistilahkannya dengan pamer. Kepameran ini ditujukan agar semua orang atau orang yang tertentu yang diinginkan menjadi tahu bahwasannya yang bersangkutan memiliki sesuatu itu.

Dari sini kemudian muncul istilah sombong karena yang diberitahu tidak memiliki sesuatu seperti orang yang telah dianggapnya sombong itu. Selanjutnya yang terjadi adalah merendahkan orang lain itu, dengan membanding-bandingkan kepemilikan yang dipunyai.

Tingkat kesombongan
Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain. Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Menganggap sombong
Kalau ada orang yang bercerita pacarnya ada 7 dan mobilnya banyak, ada BMW ada Jaguar, dan keluaran baru semua, sewajarnya kita yang mendengarkan merasa eneg. "Sombong sekali sih?", mungkin akan terbersit di dalam pikiran kita.
Tetapi, sombong tidak selalu tentang meninggikan diri sendiri. Orang juga bisa sombong dalam kekurangan. Entah memamerkan kemiskinannya. Atau kekurangannya. Kejombloannya atau suami yang sering dzholim. Ironis sekali: bahwa ketidakberdayaan dan ketidakmampuan-pun, ternyata, bisa menjadi sebuah aset untuk diceritakan, dengan tinggi hati. Dan itu terjadi di bawah sadar.

Bisa saja anggapan kita mengenai orang lain tentang kesombongannya adalah salah kaprah. Bisa saja kita dengan kekurangan yang dimiliki dan rasa ingin memiliki sama seperti yang dimiliki oleh orang itu, bahkan kalau bisa melebihinya, adalah penyebab kita menganggap orang lain sombong. Padahal apabila dicermati, sesuai dengan hakekat sombong, orang itu tidaklah sombong.

Tidak salah manakala ada sebagian orang yang menilai bahwa kesombongan itu relatif. Ada yang menilai sombong itu bermula dari niat yang datangnya dari hati. Kalau saja ada seseorang dengan ”kepemilikan” pribadi, seperti kelima (sumber sombong) tersebut di atas, tetapi ia tidaklah memiliki niat untuk menyombongkan diri, apakah ini bisa dikatakan sombong?

Apakah suatu kewajaran manakala kita yang menilai orang lain sombong malah memiliki rasa ingin memiliki, rasa iri yang luar biasa? Kemudian kita memiliki prasangka yang salah kepada orang lain itu. Menganggapnya sombong, dan kita sendiri merasa tidak memiliki dosa apa-apa, padahal memiliki rasa iri. Setelah itu menyebarkan prasangka yang belum tentu benar itu kepada semua orang. Apakah ini tidak menyebar fitnah dan bentuk pencemaran nama baik?

Ego dan kesombongan
Kehidupan manusia diawali dengan keadaan bayi yang penuh dengan ketidakberdayaan, karena pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan yang lemah dan tidak memiliki daya. Kemudian, Tuhan menganugerahkan berbagai macam kelebihan-kelebihan kepada manusia. Karena tidak menyadari akan hal ini, hingga menyebabkan manusia berperilaku sombong.

Orang sombong kebanyakan mengukur kehidupannya dengan materi, dengan sesuatu yang dapat dilihat secara fisik. Agungnya keadaan fisik dan melimpahnya materi, menjadikan manusia cenderung menjadikan hal itu sebagai daya dan kekuatan pada dirinya. Mereka tidak sadar bahwasannya manusia adalah makhluk spiritual. Materi hanyalah perabot keduniawian saja yang melekat pada jasad. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemenuhan kebutuhan jasad kita disebabkan ”setir” atau kontrol yang dilakukan oleh ego.

Dari ego yang berlebih inilah yang menjadi akar dari kesombongan. Pada tataran yang lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan kepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal ini berubah menjadi kebanggaan (pride), kita sudah berada sangat dekat dengan kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.

Belajar tidak sombong
Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati. Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan.

Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual. Kesejatian kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan (ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong.

Pandangan seperti ini akan membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala “tampak luar” lainnya. Yang kini kita lihat adalah “tampak dalam”. Pandangan seperti ini akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.
Kedua, kita perlu menyadari bahwa apapun perbuatan baik yang kita lakukan, semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri. Kita memberikan sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apa yang kita sombongkan dan ngapain juga sombong?

Oleh sebab itu, kita haruslah bisa memanfaatkan kesombongan. Entah sombong yang berada pada diri kita sendiri maupun pada diri orang lain. Kalau saja kita tidak menganggap orang lain sombong, sehingga orang lain sewajarnya tidaklah menganggap diri kita ini sombong. Kita bisa jadikan kesombongan sebagai teman belajar yang baik mengenai kehidupan untuk mencapai hidup yang sejati. (dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: