Kamis, 27 Agustus 2009

KABAR BURUNG DARI LANGIT

Cerpen Eko Pujiono

LANGIT MASIH SEPERTI YANG KEMARIN ketika kabar itu merebak di seantero sekolah. Kabar itu dibicarakan setiap saat. Terlebih ketika jam istirahat dan jam kosong pelajaran.
Para siswa berkelompok, empat sampai delapan orang. Putra-putri. Mereka tersebar di penjuru sekolah. Di kelas, di perpus, di kantin, di bawah pohon, dan di sudut manapun yang asyik buat ngobrol. Bicaranya kasak-kusuk ala acara gosip di televisi. Weleh-weleh bagai diskusi politik. Tapi, lebih mirip kampaye parpol untuk merekrut partisan.

Tidak jelas siapa pembawa berita itu. Yang jelas berita itu mengalahkan gosip-gosip selebritis paling hot sekalipun. Kabar itu menyebar dari mulut ke mulut. Via SMS. Sangat cepat. Secepat komet Halley kalau meluncur ke bumi. Bak virus. Melumpuhkan aktivitas di sekolah.

Siswa dari kelas sepuluh sampai kelas duabelas, semuanya sibuk membicarakan kabar itu. Guru-gurupun mulai terpengaruh, meski sok jaim. Di setiap pelajaran, Bapak-Ibu guru menyelipkan khotbah keagamaan. Ada yang singkat dan ada pula yang panjang. Topik utamanya tentang surga-neraka, kehancuran bumi dan kemusnahan manusia, amal baik dan buruk, serta ajakan beramaliah sesuai tuntunan agama.

Kabar itu diiringi kehisterisan, ketakutan, dan segala macam perasaan lainnya. Bercampur aduk. Seperti es campur. Anehnya, tingkah mereka pun sekarang menjadi bodoh, eh heboh. Masak Junet yang dikenal suka berkelahi kini sukanya ke mushola. Dia mengajak teman-teman gengnya. Tidak hanya Junet Cs, malahan hampir semua siswa yang beragama Islam turut ke mushola. Walhasil saat sholat Dzuhur, mushola sekolah penuh. Bahkan harus rela antri dan berdesak-desakkan. Bagi yang non-muslim, mereka membuat jema’at tersendiri. Melantunkan senandung do’a-do’a dan puji-pujian.

***

Aku dipanggil menghadap Kepala Sekolah. Entah untuk urusan apa. Dag, dig, dug…, detak jantungku.

“Bapak memanggil saya?” sambil agak menundukkan badan ke arah Pak Kadir yang sedang duduk di belakang meja kerjanya.

“Ya, Jat. Silahkan duduk.”

Aku duduk di sofa, di dekat meja kerja Kepala Sekolah.

“Ada apa, ya, Pak?” tanyaku.

“Begini, sekolah kita sedang merebak adanya isu. Isu ini menimbulkan dampak buruk. Bisa dibilang sudah sangat meresahkan,” kata Pak Kadir sambil memainkan pena antiknya.

“Maaf, Pak. Bukankah malah membuat sekolah kita menjadi religius,” aku menyela.

“Ya, memang. Tapi, tidak bagi kegiatan belajar mengajar. Pikiran siswa semuanya terpecah memikirkan itu. Mana sempat memikirkan pelajaran.”

“Betul juga, Pak. Lalu?”

“Kamu sebagai Ketua OSIS, aku perintahkan untuk mengusut siapa yang menyebarkan isu ini. Ketemu tidak ketemu, kamu harus melaporkan informasi sekecil apapun mengenai perkembangan yang terjadi. Bagaimana?”

Aku terdiam. Pandanganku menerawang ke langit-langit. Mana bisa aku melakukannya. Aku sangsi.

“Soal biaya ini-itu jangan kuatir. Sudah saya siapkan. Mau? Mau? Mau?”
Aku tersenyum kecil sambil menganggukkan kepala. Segera aku meninggalkan ruang Kepala Sekolah. Dalam perjalanan ke kelasku, terbayang kepiawaian Detektif Conan dalam mengungkap kasus. Aku punya kesempatan untuk menjadi seperti dia. Wuih.., Conan, tokoh kartun Jepang idolaku.

***

Sudah seminggu aku melakukan investigasi isu ini. Hasilnya, tiga nama aku kantongi. Felisa, Saipul, dan Junet. Aku sudah melaporkan mereka ke Kepala Sekolah dan diperintahkan untuk memanggil mereka. Segera mereka aku bawa untuk menghadap Pak Kadir.

Felisa aku sangka karena dialah biang gosip di sekolah. Semua gossip yang beredar di sekolah ini pasti sumbernya dari dia. Mulai dari gossip artis, film, fesyen, dan apapunlah, pasti Felisa tahu. Kutahu Felisa kedapatan sedang membicarakan isu itu beberapa kali dengan siswa lain. Mungkin Felisa ingin membuat sensasi.

Sementara Saipul kusangka karena dia adalah Ketua Rohis di sekolah. Alasannya sederhana. Dulu mushola yang terletak di pojokan sekolah, sering sepi. Kesannya angker. Tidak ada siswa yang mau berjamaah. Datang saja enggan. Setelah ada isu itu, Saipul sering mengajak teman-teman untuk beramal baik, salah satunya dengan sholat dan memanfaat mushola untuk keperluan ibadah. Kini, mushola selalu berjibun dipenuhi orang. Entah untuk sholat berjamaah, ngaji atau diskusi kecil-kecilan soal Islam.
Junet memiliki pengaruh besar di sekolah. Di adalah ketua geng di sekolah. Banyak siswa yang takut kepadanya. Aku sendiri sungkan kepada Junet. Perawakannya tinggi besar. Kepalan tangannya mantap. Para siswa banyak yang memanggil Junet dengan sebutan “Big Boss”. Apa yang dia katakan, pasti diamini oleh siswa lain. Sudah banyak kejadian, Junet menghajar siswa yang tidak sepaham dengan dirinya.

Di ruang Kepala Sekolah, siang itu usai istirahat kedua, aku bersama ketiga orang itu, menghadap Pak Kadir. Di ruang yang tak seberapa luas ini, suasana tegang mencekam. Tidak ada yang berani bicara. Sambil duduk, Pak Kadir sepertinya sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan. Aku tak coba bersuara.
Pak Kadir mengamat-amati tiga orang yang datang bersamaku. Satu per satu. Dari ujung rambut sampai ujung sepatu.

“Silahkan duduk,” pinta Pak Kadir yang rasanya sudah kadaluwarsa.

Kakiku terasa pegal berdiri lama. Jantungku mulai berdetak kencang. Aku duduk di sebelah Saipul. Aku tegang menunggu apa yang bakal terjadi. Pak Kadir kini berdiri.

“Saya mendapat laporan bahwa salah satu dari kalian adalah penyebar isu yang telah meresahkan sekolah kita. Saya ingin kalian mengaku. Siapa yang menyebar isu itu?” tanya Pak Kadir dengan rona wajah yang menakutkan.
Sumua diam. Lama. Tidak ada yang berani menjawab.

“Kalau kalian tidak ada yang mau mengaku, baiklah, saya interogasi satu per satu. Saipul, kamu tahu isu ini dari siapa?”

“Aku.., akuuu, Pak. Aku tahu dari Felisa, Pak. Info itu kemudian aku gunakan untuk mengajak teman-teman supaya rajin ke mushola. Demi Allah, aku hanya menyebar kabar itu demi kabaikkan, Pak,” jawab Saipul dengan ucapan terputus-putus.

“Felisa, kamu tahu dari siapa?”

“Aku tahu dari Junet. Ketika itu pas di kantin, Junet memberitahuiku mengenai hal ini.”

“Wah, lagi-lagi kamu Junet yang membuat kekisruhan di sekolah kita. Kapan kamu mau insaf? Kenapa kamu tadi tidak mengaku saja. Ternyata, kamu biang keroknya.” Pak kadir meradang.

“Maaf, Pak. Aku tahu info itu dari seseorang. Dia mengirimiku SMS. Aku masih menyimpan SMS itu. Sebentar,” Junet mencari sesuatu di sakunya, “ini, Pak.”

Junet memperlihatkan HPnya kepada Pak Kadir. Sejurus Pak Kadir mengamati dengan cara seksama dan dalam tempo yang tidak sesingkat-singkatnya. Pak Kadir menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya memerah.

“Jatmiko, kamu baca SMS ini. Mungkin kamu tahu nomor pengirimnya,” perintah Pak Kadir.

Kuraih HP Junet.

Bc korn hr ni. Tgl 12-12-2012 KIAMAT. Sbrkn k tmn2.
Sender: +628500011333
Message center: +628550000000
Sent: 15-Jan-2009 06:29:43

Aku terperanjat kaget. Ya ampiiuuunnn, itu kan nomor HPku. Maksudku mengirim SMS itu hanya ingin agar teman-teman membaca artikel bagus tentang kiamat di koran itu. Kenapa jadi begini?

“Kamu tahu nomor itu?” tanya Pak Kadir lagi.

“Punyaku….,” jawabku sambil menunduk.

Kucuri pandang. Pak Kadir, Junet, Saipul, dan Felisa, melihatku dengan melotot. Wajah mereka menyala bagai lampu merah bangjo. Aku mendengar suara gigi gemeretakkan. Aku tidak bisa membayangkan hukuman yang akan kuterima. Pak Kadir terkenal seorang yang sangat galak. Wah…, mampus aku!

Semarang, 14 Maret 2009

Tidak ada komentar: