Sabtu, 15 Agustus 2009

Menatap Waria Kota Semarang

Jika berkesempatan datanglah ke Jembatan Barito Semarang untuk sekedar mengamati situasi dan kondisi di sana selepas pukul tujuh malam. Di tempat ini biasa dijumpai wanita berdandan menor bersuara besar (waria). Amatilah fenomena (waria) ini bukan sebagai masalah atau penyimpangan sosial.

Selama ini waria dipahami sebagai makhluk yang telah keluar dari garis kodratnya. Bahwa kodrat manusia itu hanya ada dua, sebagai pria atau wanita. Menjadi waria berarti menyalahi kodrat. Hujatan ”kembali ke jalan yang benar” sering mereka terima, maka seolah-olah menjadi waria adalah sesuatu yang salah. Oleh karena itu, tiada perlakuan yang lebih pantas bagi waria selain untuk dilecehkan dan dipandang sebelah mata.

Perlakuan semacam itu sadar-tidak-sadar sering diberikan oleh kebanyakan orang terhadap waria. Dandanan yang sering ditampilkan oleh seorang waria sungguh kadang membuat orang lain menganggap sebagai hal yang gila dan aneh. Bedak dan lipstik tebal, dada yang dibuat menonjol, pakaian seronok, jakun besar, serta otot yang agak kekar menjadi tampilan kebanyakan waria.

Atas dasar ini maka orang lain merasa pantas untuk memberikan perlakuan semacam itu. Mereka juga dicap oleh masyarakat sebagai kaum yang meresahkan masyarakat. Mereka selalu saja diidentikkan dengan kejahatan, alat pemuas seks, dan pengamen jalanan.
Hal ini menimbulkan sekat yang mengkotak-kotakkan antara waria dan orang normal kebanyakan. Imbasnya peluang kerja yang agak lumayan yang bisa mereka masuki mungkin sebagai penata rambut dan busana atau sebagai pelawak yang kehadirannya hanya untuk diolok-olok oleh para penontonnya.

Penyebab
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan seorang pria memutuskan untuk menjadi ”wanita”. Pertama, faktor yang datang dari dalam diri seseorang. Faktor ini dipengaruhi oleh gen yang secara hereditas diturunkan dari orang tuanya. Hal ini berupa dorongan alamiah untuk berperilaku seperti wanita. Sehingga seorang pria akan merasa nyaman manakala telah berperilaku seperti wanita termasuk juga dalam hal berbusana.

Kedua, faktor yang datang dari luar. Faktor ini dapat berupa desakan ekonomi, pengaruh pergaulan, dan lingkungan. Desakan ekonomi terjadi karena sebagai seorang ’wanita’ akan lebih diterima untuk pekerjaan sebagai tukang salon atau penata rias daripada jika dilakoni oleh seorang pria.

Mengenai faktor lingkungan, hal ini sama terjadi pada kasus anak pelacur yang ditumbuhkan di lingkungan prostitusi. Karena tidak ada wanita yang lahir langsung jadi pelacur. Dan kewariaan adalah saudara kembar pelacuran. Lingkungan yang salah telah menumbuhkan seseorang menjadi waria.

Bisa juga waria diakibatkan bila peran ibu dalam mengasuh anaknya lebih besar dan memperlakukan anak laki-laki layaknya perempuan. Mungkin dalam kehidupan keluarga mayoritas perempuan sehingga jiwa yang terbentuk adalah jiwa perempuan. Sehingga harus dijauhkan bahwa menjadi waria adalah sebuah kodrat.

Sikap
Ada sebutan lain untuk kalangan waria, yakni banci. Banci atau waria memiliki pengertian yang sama yaitu bersifat laki-laki dan perempuan; laki-laki yang bertingkahlaku dan berpakaian seperti perempuan; dan pria yang mempuyai perasaan sebagai wanita.

Project Pop lewat lirik lagunya juga telah menyatakan eksistensi banci. ”Jangan ganggu banciiii.!/jangan ganggu banciiii..!/jangan ganggu banciiii....!/jangan, ganggu....!?” merupakan penggalan lirik lagu itu. Project Pop kian mengakrabkan kosakata banci di telinga kita. Dan sepertinya, bukan hanya kosakatanya saja yang makin dekat dengan kita, tapi juga wujud aslinya.

Sering tidak disadari, secara verbal banci sering dilontarkan oleh orang. Semisal ketika seorang laki-laki tidak dapat menunjukkan sifat laki-lakinya, semisal tidak dapat menunjukkan keberaniannya memanjat pohon, maka sering diejek sebagai banci. Ejekan ini bukan semata-mata sebatas kata melainkan menunjukkan bahwa pria yang feminim telah jamak ada.

Oleh sebab itu penyikapan hadirnya banci atau waria itu harus dilakukan secara proporsional. Pembatasan peran waria dalam kehidupan sehari-hari sama saja dengan mendeskreditkan kaum yang selama ini termarjinalkan itu. Diakui memang selama ini persoalan yang sering disoroti sehingga memunculkan stigma negatif adalah waria yang melacurkan diri. Mereka menjajakan dirinya sebagai Penjaja Seks Komersial (PSK).

Perlu juga dicatat bahwa tidak semua waria menjadi PSK, maka dari itu waria semacam ini tidak patut jika disudutkan. Penyempitan kesempatan waria untuk berperan aktif di berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, sosial, kesenian, ataupun politik sama saja dengan menafikkan diri sendiri bahwa negara ini adalah negara demokrasi yang berlandaskan pada hukum.

Kaum waria juga mempunyai hak yang sama dengan orang-orang normal. Di dalam hukum, setiap warga negara dilindungi oleh hukum termasuk waria. Jadi selama kaum waria tidak melanggar norma-norma hukum, norma agama, norma susila, hak-hak mereka harus dijunjung tinggi.

Jika masyarakat menganggap waria adalah pilihan yang salah atas pilihan seseorang, maka perlu juga diluruskan. Diajak secara dialogis dan persuasif, bukan dengan jalan menyudutkan mereka dengan memandang sebelah mata adalah salah satu alternatifnya.
Pemerintahpun juga harus turut menyumbangkan peran sertanya. Jika saja waria disebabkan oleh desakan ekonomi, maka perbaikan ekonomi harus dilakukan. Pemerataan kesempatan kerja juga perlu diberikan kepada waria. Sehingga hadirnya waria yang cenderung meresahkan lambat-laun akan teratasi.

Tidak ada komentar: