Sabtu, 15 Agustus 2009

Ode Ranting Cemara

Kaca itu telah pecah
Kupecahkan dengan tanganku
Bayang-bayangku tinggal kepingan
Ribuan jutaan

Kupungut, menjadi luka
Menyisakan itu dalam ingatan

Kubuang, menjadi sia-sia

Ode, aku masih ingat. Ketika ranting cemara di depan hati jatuh ke bumi. Sepagi itu. Dulu. Kau ambil dengan tangan terbuka. Kau serahkan kepadaku. Aku lega. Kau pilih aku. Bukan orang lain. Bukan wanita-wanita berpandang jelita.

Ode, aku masih ingat. Ranting cemara itu aku simpan dalam relung. Kutelan tanpa mengunyah. Kumasukkan ke dalam sebuah ruang rahasia tempat berdiam perasaan. Kau membangkitkannya, dalam remang kenyataan, jiwa bahagia perlahan timbul. Mengembang bak balon ditiup anak kecil. Begitu bahagia anak itu melihatnya. Lalu, menyimpulnya dalam senyum. Begitupula dengan aku.

Ode, aku sadar. Ranting cemara itu layu, meski aku setiap hari menyiraminya. Dengan do’a-do’a suci dalam setiap sujud. Dengan harapan-harapan indah dalam setiap nafas. Dengan mimpi-mimpi dalam lelap tidur. Namun, sia-sia. Kau adalah putih air suciku. Satu-satunya penyiram ranting cemara dalam hati. Sayang, kehadiranmu tak pernah ada. Kau jauh. Lama.

Ode, aku ingin menjangkaumu. Senyumku, ketulusanku, kejujuranku, dan ketaatanku akan kujadikan mantra pemikat. Datanglah. Tersenyumlah. Beri aku ranting cemara lagi. Kemanakah engkau? Ditelan bumikah?

Ode, aku akan menjadi seorang penurut. Seperti pintamu. Dulu. Tak banyak yang kuharap. Hanya ranting cemara sebuah yang jatuh di depan hati. Satu saja.

Ode, aku menunggu. Jika tak kau punya ranting cemara, berilah ranting yang lain. Ranting mawar yang elok itu, namun berduri. Aku menanti. Aku bersedia memasukkan ke dalam sebuah ruang rahasia tempat berdiam perasaan. Meski lebih indah dari cemara, mawar tetaplah berduri. Keindahanmu meski menyakitkan, akan kutahan. Aku sabar.

Ode, datanglah. Aku hancur kepingan.
Ribuan jutaan

Kupungut, tiada guna!

(Semarang, 16-05-2009, 1:50)

Tidak ada komentar: