Rabu, 26 Agustus 2009

Kartini

Mendengar nama ini apa yang terbayang dalam benak kita? Wanita, pejuang, pelopor, emansipasi, hari Nasional; apa pun yang ada dalam pikiran kita, itulah yang kita ketahui tentang sosok Kartini. Untuk menyelami lebih jauh tentang Kartini, marilah kita tengok kehidupan, pemikiran dan perjuangan Kartini lebih dekat lagi.
Kartini lahir pada 21 April 1879 atau 28 Rabiul akhir 1808 di Mayong Jepara. Tak jelas siapa yang memberi nama itu padanya. Waktu itu ayah Kartini masih menjabat sebagai Asissten Wedana onderdistrik Mayong, kabupaten Jepara.

Ayah Kartini yang mempunyai jabatan yang cukup tinggi untuk ukuran pribumi, tentu Ayahandanya memiliki tanah dan rumah yang luas sebagai fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kolonial kala itu. Tapi justru Kartini tidak lahir di rumah yang luas itu. Malahan Kartini lahir di rumah kecil yang berada di bagian belakang rumah ayahandaanya. Ibu kandungnya yang bernama Ngasirah merupakan ”selir” dari ayahandanya yang bernama Raden Mas Ario Sosrodiningrat. Saudara Kartini berjumlah sebelas. Dua adik kandung yang terdekat dengannya bernama Rukmini dan Kardinah.

Sampai usia 12 tahun, Kartini menerima pendidikan dari Sekolah Dasar Belanda (Bel .: Europeesche Lagere School) yang hanya dikhususkan bagi anak pribumi dari keluarga ningrat, Belanda Indo, dan Belanda asli. Di rumahnya ia juga diajari tata krama Jawa dan pelajaran agama Islam. Setelah itu, sesuai adat Jawa yang berlaku pada saat itu, dia harus menjalani masa pingitan sampai menunggu saat dilamar oleh seorang pria bangsawan yang sederajat.

Dalam masa pingitannya, sebagian besar waktunya ia habiskan untuk membaca buku. Hatinya akan sedikit senang bila ayahnya dan saudara-saudara kandungnya membawakan buku untuknya. Dari sekian banyak buku yang Kartini baca, salah satu buku yang sangat berkesan dalam dirinya adalah Minnebrieven karangan Multatuli yang juga pengarang Max Havelar. Dari buku itu Kartini mengetahui akibat buruk dari penindasan Belanda terhadap bangsa Indonesia.

Lewat surat yang dikirim Kartini kepada Nyonya Abendanon, ia menceritakan kegelisahan dan keprihatinan seorang gadis cilik bernama Kartini—dirinya sendiri, dalam menjalani masa pingitan. Berikut ini merupakan petikan suratnya:

“Si gadis cilik berumur 12,5 tahun sekarang, dan tibalah masa baginya untuk mengucapkan selamat jalan bagi kehidupan bocah yang ceria: meminta diri pada bangku sekolah yang ia suka duduk di atasnya; pada kawan-kawannya orang Eropa, yang ia suka berada di tengah-tengahnya. Ia sudah dianggap cukup tua di rumah, dan harus kembali taklik pada adat kebiasaan negerinya, yang memerintahkan gadis-gadis muda tinggal di rumah, hidup dalam pengucilan yang keras dari dunia luar sedemikian lama, sampai tiba masanya seorang pria diciptakan Tuhan untuknya datang menuntunnya serta menyeretnya ke rumahnya”

Namun Kartini lebih prihatin lagi akan bangsanya sendiri ketika membaca tulisan tentang berbagai kemajuan di banyak negara Barat, yang juga mencakup kemajuan di bidang pendidikan kam wanita di sana. Buku De Vrouw en Socialisme (Wanita dan Sosialisme) karangan August Bebel menyadarkan Kartini akan kodrat yang sama antara wanita dan pria sebagai manusia.

Dalam surat yang disampaikan pada temannya, nona Zeehandelaar, ia menyimpulkan bahwa kaum wanita berperan penting dalam kehidupan suatu bangsa. Maka, tidak mungkinlah suatu bangsa akan maju sepenuhnya bila kaum wanita tidak berpeluang sama dengan kaum pria dalam hal pendidikan, dsb.

Saat dipingit ia juga sempat menuliskan gagasan pikiran dan cita-citanya bagi kaum wanita bangsanya dalam surat-menyurat kepada sahabat-sahabatnya, baik di Jakarta (dulu: Batavia) maupun di negeri Belanda; diantaranya suami-istri Mr. J. H. Abendanon (Direktur Departemen Pengajaran, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan), Nona Zeehandelaar, dll.

Kartini sempat mengajukan bea siswa untuk melanjutkan studinya di negeri Belanda, namun karena pada tahun 1903 Kartini menikah, maka beasisiwa itu dialihkan untuk pemuda pintar yang bernama Agus Salim. Kartini menikah dengan bupati Rembang bernama Raden Mas Adipati Ario Joyodiningrat. Sebagai istri bupati, Kartini lebih dapat merealisasikan cita-citanya dengan membuka sebuah sekolah untuk gadis-gadis Jawa. Ia juga memperkenalkan ukir-ukiran pada perajin kayu di Jepara yang hampir mengalami kebangkrutan ketika itu pada negeri Eropa, khususnya Belanda lewat artikelnya Van een Vergeten Uithoekje (Dari Pojok yang Dilupakan).

Sayang, Kartini tak sempat berkarya lama karena tahun 1904 meninggal dunia. Tak lama sepeninggalannya, surat-suratnya diterbitkan oleh Mr. JH. Abendanon dalam suatu buku yang berjudul Door du Istenis tot Licht, dalam terjemahan bahasa Indonesia dikenal dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” oleh Armijn Pane. Kepustakaan lain tentang Kartini serta surat-surat Kartini antara lain: Letters of Javanese Princess Raden Ajeng Kartini (terjemahan kumpulan surat-surat Kartini), Panggil Aku Kartini Saja (1962) oleh Pramudia Ananta Toer.

Atas prakarsa Mr. C. Th. Van Deventer (pengacara dan penganjur politik etis) di Belanda kemudian didirikan Kartinifonds yang bertujuan membantu pendirian seklah-sekolah untuk wanita di Indonesia. Sebagai penghargaan atas kepeloporannya, Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Setiap tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari Nasional dan secara lebih akrab dikenal sebagai Hari Kartini. (Eko Pujiono)

Tidak ada komentar: