Kamis, 27 Agustus 2009

PADA SUATU MALAM DI SUATU TEMPAT

Cerpen Eko Pujiono

LANGIT DI ATAS Kota Semarang dihiasi awan putih yang berarak. Sinar mentari angkuh menyerbu penghuni bumi. Aku masih sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk kampus. Peluh tak kuhiraukan.

Peluit sesekali aku semprit. Meminta perhatian pengendara. Ada saja yang parkir seenaknya. Adapula yang mengendarai kendaraan dengan kencang. Tidak mengiraukan kondisi sekarang, penuh pejalan kaki dan kendaraan lain. Hal ini membuatku gemas.
Suasana yang panas seperti ini, membuat orang menjadi tak sabaran. Inginnya cepat-cepat. Segera keluar dari kungkungan panas yang menyengat. Memang lebih enak berada di suatu tempat yang nyaman. Di dalam ruangan ber-AC atau di bawah rerimbunan pohon, sambil mengobrol dan minum es degan.

Kulirik jam di tangan kiriku. Baru pukul 11.45. Berarti, jam istirahat 15 menit lagi. Aahh, berarti pula sebentar lagi pemandangan berjejalan mahasiswa segera akan terjadi. Mereka tumpah ruah usai jam kuliah. Dari ruang kelas menuju ke tempat parkir dan kemudian menghambur entah kemana. Bagi yang berjalan kaki maka mereka langsung akan segera aku sambut. Menggunakan bunyi peluit tentunya. Sebagian dari mereka berjalan seenaknya. Bergerombol dan memakan jalan. Kendaraan yang hendak keluar, harus rela merayap. Ini adalah tugasku. Mengatur mereka agar terjadi suasana yang tertib.

Aku menghapus peluh yang keluar di muka dan leher. Topi besar yang aku kenakan tidak cukup menahan terik. Tak terasa, riuh mahasiswa telah lengang dari pandanganku. Pakaian dinas yang aku kenakan ini, di beberapa bagian juga tampak basah oleh keringat. Aaahh, aku menghela nafas panjang.

Sejak tiga hari yang lalu, aku meminta kepada atasanku agar aku bisa bertugas di area parkir dekat pintu utama kampus. Bagi aku yang sudah 20 tahun bekerja di kampus ini, permohonan yang sepele semacam itu pasti bakal dikabulkan dengan mudah. Biasanya, aku berjaga di area gedung sebelah. Permintaanku itu langsung dikabulkan. Jarang yang mau bertugas di lokasi ini. Selain panas karena memang sedang musim kemarau, juga dijadikan lalu lalang semua orang yang hendak keluar-masuk kampus. Tentunya sangat padat dan perlu pengawasan ekstra.

Sebetulnya kalau tidak ada suatu persoalan, aku juga enggan bertugas di lokasi ini. Namun, bagaimana lagi. Sejak peristiwa itu, pikiranku sering tidak karuan. Ketika hendak tidur saja pun sulit. Kejadian itu selalu terbayang. Mengacaukan hari-hariku. Aku tidak bisa melakukan apapun dengan baik. Selalu ada-ada saja yang membuat setiap yang aku kerjakan jadi tak beres. Konsentrasiku selalu terpecah mengingat peristiwa itu.

Aku ingin lepas dari persoalan ini. Uang 200 ribu di dompetku ingin segera kukembalikan. Uang itu terasa panas. Uang yang lumayan banyak bagiku itu sebenarnya sudah menjadi hak mutlakku. Mahasiswa itu telah memberikan dua lembar uang pecahan seratus ribuan kepadaku. Ia memasukkan sendiri uang itu ke dalam saku celanaku. Menurutku ia sudah ikhlas. Asalkan aku tidak berbicara kepada siapapun tentang peristiwa itu.

Keberadaanku di sini untuk mencari mahasiswa itu untuk mengembalikan uang ini. Karena itu, aku rela berpanas-panas ria di sini. Meski sudah kukerahkan seluruh perhatianku untuk mengamati orang yang lalu-lalang di sini, aku belum juga menjumpai batang hidung mahasiswa itu.

Aku masih ingat betul bagaimana ciri-ciri mahasiswa itu. Tubuhnya tinggi besar. Berkulit putih. Hidungnya agak mancung. Rambutnya hitam agak keriting. Ia waktu itu mengenakan celana jeans hitam dan kemeja panjang bergaris warna putih. Dari dialek pembicaraannya, aku tahu darimana asal mahasiswa itu. Ia memiliki tanda. Sebuah tahi lalat kecil di bawah kelopak matanya sebelah kanan. Aku ingat persis.

Sebetulnya, aku sudah ingin berbicara mengenai peristiwa itu kepada atasan atau rekan-rekanku. Mungkin mereka bisa membantu. Namun, jika aku bicara maka aku telah menyalahi janji dengan mahasiswa itu. Serba salah aku jadinya.
Dasar aku memang bodoh!

Menyesal aku menerima uang itu. Kalau bakal begini jadinya, membuat aku merasa bersalah, mending aku laporkan peristiwa itu. Tinggal berkata sesungguhnya kepada atasanku tentang peristiwa itu. Setelah itu, peristiwa itu menjadi urusan atasanku dan mahasiswa yang sudah tiga hari kucari-cari dan tidak ketemu itu.
Mungkin waktu itu aku sedang sial.

***

Di salah satu lantai gedung kampus, sekitar pukul delapan malam. Suasana sepi. Di sini hanya ada aku, dia (seorang lelaki), dan perempuan itu.

“Mohon bapak menerima ini,” kata lelaki itu sambil memasukkan sesuatu ke dalam kantong celanaku. Aku berdiri dan masih lengkap memakai seragamku.

Aku tidak tahu apa yang ia masukkan itu. Yang aku tahu, ia bersama seorang perempuan. Aku tidak melihat wajahnya. Perempuan itu menunduk. Belum sempat aku berbicara, lelaki itu sudah berkata-kata lagi. Matanya berair.

“Mohon bapak tidak melaporkan apapun yang bapak lihat. Seolah tadi tidak pernah terjadi,” sambil menyeka matanya, “jika bapak melapor, kami berdua bakal celaka. Kasihanilah kami berdua. Sebentar lagi aku akan diwisuda. Aku pasti batal lulus kalau rektorat tahu.”

Lelaki itu memeluk erat kakiku. Memandang ke arahku dengan penuh harap. Matanya merah. Air mata meleleh di pipi dan pelipis matanya. Aku tak kuasa menyaksikan pandangan mata lelaki itu. Kubuang pandangan dan kulihat perempuan itu berjalan menjauhi kami berdua. Perempuan itu berjalan membelakangiku. Ia membawa tas cangklong hitam. Sesekali kulihat dari belakang, ia merapikan rambutnya denga tangan.
Perempuan itu tanpa suara berjalan perlahan meninggalkan kami berdua. Aku tidak berusaha mencegah. Perempuan itu sudah menuruni tangga. Kini tidak terlihat lagi tubuhnya yang ramping itu.

Kembali, pikiranku tertuju pada lelaki yang sedang memeluk erat kakiku.
Aku tidak dapat berpikir. Sebaiknya aku harus apa? Entah…., rasa ibaku luluh. Aku tahu dia salah, tapi … Rasa kebapakanku diuji.

“Baiklah…,” kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutku dengan berat, “jangan kau ulangi lagi. Siapa namamu?”

Pertanyaan itu langsung ia jawab dengan penuh suka cita. Ia berkali-kali mengucapkan terima kasih kepadaku sambil mencium tanganku. Sejurus kemudian ia memberesi barang-barangnya. Sekali lagi ia mencium tanganku dan mengucapkan terima kasih. Aku masih terbengong dan belum tahu nama lelaki itu.

Ketika tersadar, aku mengembangkan senyum kecil dan menyaksikan tempat ini sepi. Lelaki itu sudah pergi meninggalkanku. Segera aku pergi memeriksa ruangan di lantai ini setelah itu mematikan lampu yang masih menyala. Gelap sudah dan akupun menuruni tangga. Bergegas pulang ke rumah. Kutemui istri dan anak-anakku yang sedang asyik menonton televisi.

***

Panas mentari berangsur-angsur hilang. Kendaraan yang tadi tumpah ruah di lokasi ini pun berangsur-angsur sepi. Aahh, lega rasanya. Hari ini tugasku telah selesai setelah hampir seharian ikut mengamankan dan menertibkan kendaraan di acara wisuda kampus. Aku duduk sendiri di bawah sebuah pohon. Kucoba meregangkan tubuh yang kaku sambil tetap memperhatikan sekitar. Kuhela nafas panjang sesekali. Kusaksikan tempat ini sudah lengang. Tumpah ruah manusia dan kendaraan sudah tidak ada lagi.

Tiba-tiba seorang lelaki memakai pakaian wisuda lengkap menghampiriku. Aku tidak tahu siapa dia. Dia melempar senyum kepadaku. Kubalas dengan senyuman sekadarnya sambil menahan bingung.

“Terima kasih, Pak, tadi aku ikut diwisuda. O ya, ini undangan untuk bapak. Bapak mungkin berkenan untuk hadir dalam pernikahan kami,” ucap laki-laki itu sambil menyodorkan kertas berwarna merah muda bersampul plastik transparan.

Aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan dan lakukan ini. Belum ingat aku, siapa dia. Ketika aku sekuat tenaga mengingat-ingat, ia sudah hilang dari hadapanku.
Semilir angin membelai wajahku. Kudengar suara klakson mengudara. Sebuah minibus berjalan meninggalkan lokasi ini. Kulihat sebuah tangan keluar dari jendela mobil. Tampak melambai-lambai ke arahku.

“Sontoloyo, itu kan laki-laki yang sudah empat bulan kucari-cari,” teriakku dalam hati.

Sambil kupandangi undangan merah muda itu, tiba-tiba hatiku berbisik, ”Aku akan hadir pada hari bahagiamu. Akan kukembalikan uangmu. Uang yang telah membuat pikiran dan perasaanku berkecamuk. Semoga kalian berbahagia….”
Dompet di saku belakang celanaku terasa kian panas. Bagai disulut nyala api secara perlahan. Pertistiwa itu kembali teringat. Aku kembali tersenyum kecil…

Semarang, 18 Februari 2009

Tidak ada komentar: