Sabtu, 15 Agustus 2009

Dian yang Tak Kunjung Padam

Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati.

BUNYI PEPATAH ITU persis menggambarkan awal kisah cinta antara Yasin dan Molek dalam novel Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Pertemuan pada pagi buta itu, Yasin berada perahu di atas Sungai Musi bertemu pandang dengan Molek yang berada di belakang rumah hendak mandi.
O, jeling mata yang menambat! Engkaulah tali yang tak dapat dilihat, tak dapat diraba, tetapi … terang mengikat. (hal 5)

Sejak saat itu, pikiran dan perasaan Yasin tak karuan. Di acara pernikahan Saudaranya yang tinggal di Dusun Pananggiran selama lima hari lima malam dan di situ banyak muda-mudi menari-nari dan berpantun ria seraya mencari pasangan, Yasin semakin tersiksa hatinya. Pikirannya hanya tertuju kepada satu nama, Molek.
Untung Yasin tidak termasuk orang pada masa itu yang tidak bisa baca-tulis. Untuk mengungkapkan rasa cintanya, Yasin menulis surat. Yasin meletakkan surat itu di dinding tempat mandi, di belakang rumah Pak Mahmud. Molek memiliki kebiasaan mandi paling awal.

Menerima surat itu, Molek sangat bahagia. Sejak kajadian itu, perasaan dan pikiran Molek juga tak karuan. Mereka ternyata saling jatuh cinta. Lalu, Molek pun menulis surat balasan dan meletakkan di tempat yang sama. Surat dari Yasin yang pertama itu Molek simpan baik-baik. Ia menyimpannya di dalam kutangnya.
Lebih dahulu surat itu mesti disimpannya baik2 sebagai suatu benda yang tiada ternilai harganya. (Hal. 55)
Sejak saat itu mereka rutin berkirim surat.

Sekali2, kalau Yasin datang ke Palembang maka mereka itupun berkirim2an suratlah. Masing2 mencurahkan isi kalbunya diatas kertas, penuh cinta berahi, se-olah2 telah sekian lalanya mereka menahan rindu dan hasyrat yang tiada ter-kira2. (hal 61)
Tentang Molek adalah putri terakhir Raden Mahmud, bangsawan di Palembang. Ia sudah empat tahun berkurung (dipingit). Sementara Yasin adalah orang Uluan, anak seorang janda yang tiada kaya. Penghasilan untuk hidup sehari-hari didapat dari menjual para yang harganya sangat murah dan pisang.

Jelas sekali status sosial mereka berdua dipisahkan oleh jurang yang sangat lebar. Inilah yang kemudian menjadi ujian bagi cinta suci mereka. Adat-istiadat orang Palembang pada waktu itu melarang terjadinya percampuran antara darah bangsawan dan orang Uluan. Meski begitu, Molek lebih memilih cintanya kepada Yasin daripada kebangsawanannya.

Sebagai seorang perawan yang berkurung, ia tahu berapa besar kesalahannya melanggar adat-istiadat; ayah-ibunya atau sanak-saudaranya yang lain tak dapat tiada akan menyiksa dia, apabila mereka tahu apa yang di kerjakannya itu. (hal. 57)
Hingga suatu hari Molek mendengar percakapan Raden Mahmud dan Cek Sitti, kedua orang tuanya. Molek hendak dikawinkan sebelum mereka berdua pergi naik haji. Kabar ini langsung diberitahukan kepada Yasin agar ia cepat-cepat dipersunting.
Yasin pun segera memberitahu ibunya dan meminta bantuan familinya di Pananggiran untuk melamar Molek. Banyak halangan yang harus diterima oleh Yasin dari kerabatnya sendiri.
“… Bagaimana juapun banyak harta kita, kita tinggal si Ulu busuk, si Ulu yang tiada tahu adat, dan sebagainya.” (hal 67)

Awak hina dan miskin hendak meminang orang yang kaya lagi bangsawan. Benar, tak ada ubahnya seperti si cebol yang hendak mencapai bulan … (hal 91)
Pada gilirannya, lamaran itu pun ditolak oleh keluarga Raden Mahmud. Raden Mahmud dan Cek Sitti tidak sudi memiliki menantu orang Uluan.

“… Anakku biarlah tiada bersuami sampai tuanya, daripada aku menerima orang Uluan serupa itu menjadi menantu.” (hal 75)
Dan, keduanya mengetahui hubungan antara Molek dan Yasin. Bagi orang tua bangsawan itu adalah aib hubungan itu.
Aib se-aib2nya terasa olehnya perbuatan anaknya itu, ber-kasih2an dengan seorang bujang Uluan. Lebih suka lagi ia kehilangan tangan sebelah daripada menderita malu sebesar itu. (hal 80)

Sebelum berangkat haji, Raden Mahmud dan istrinya menikahkan Molek dengan Sayid Mustafa, orang Arab yang kaya. Pada malam sebelum pernikahan, Molek dan Yasin membuat rencana kabur. Gara-gara suatu peristiwa dan keragu-raguan di antara keduanya, rencana itu kepergok. Yasin harus menerima kenyataan bahwa Molek telah menjadi istri orang lain. Meski begitu, tak kikis cinta mereka berdua.
Cinta yang dikandungnya itu ialah cinta yang mulia, cinta yang suci. Cinta yang serupa itu tak dapat dipadamkan, cahayanya kekal se-lama2nya. (hal 79)

Dalam surat untuk Yasin, Molek menulis:
Kakandaku! Adinda sanggup menanggungkan siksa apa juapun, tetapi adinda tiada dapat memutuskan cinta adinda kepada kakanda. (hal 87)
Hidup bersama orang yang tidak dicintai bagai suatu siksaan. Tubuh Molek kurus dan sakit-sakitan. Ia memutusakan untuk mengakhiri hidupnya daripada menjalani siksaan semacam itu. Sejak kematian Molek, Yasin hidup menyendiri di Gunung Seminung. Bak seorang pertapa.

STA lewat tokoh Molek ingin menunjukkan bahwa manusia itu sama saja. Dalam surat terakhir untuk Yasin, Molek menulis:
Semuanya sama, tak ada yang lebih tinggi dari yang lain, karena sekalian perbedaan itu perbuatan manusia belaka, manusia yang angkuh, yang menyangka segala dunia dan alam ini dijadikan Allah bagi dirinya sendiri. (hal 125)
Di bagian lain, Molek juga menyatakan itu.

“Tidak, yang serupa itu tiada adil, manusia sama saja, tiada berbeda …” (hal 67)
Novel setebal 134 halaman dan berlatar awal abad ke-19 ini oleh STA berusaha menembus celah adat-istiadat yang kaku di Palembang. STA berusaha mendobrak perbedaan kelas sosial yang berbeda antara manusia. Penulis ingin menyatakan bahwa manusia itu sama.

Bagi STA lewat tokoh Molek menganggap bahwa cinta yang suci datang dari Allah dan tak berpenghalang oleh apapun dan siapapun.
Cinta yang suci seperti cinta kita, ialah pemberian Allah dan sekalian perbuatan Allah itu tiada dapat dirusakkan oleh perbuatan manusia. Bukankah kebangsawanan itu perbuatan manusia belaka, manusia yang angkuh dan sombong? (hal 87)

Tidak ada komentar: