Kamis, 27 Agustus 2009

Sastra yang Paling Moderen

Oleh Eko Pujiono

Pada dasarnya karya sastra diciptakan dari, oleh, dan untuk manusia. Hal ini didasarkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengemban ”misi suci” tertentu. Dan, pada dasarnya setiap manusia diberi ”misi” itu berbeda dengan manusia yang lain. Setiap manusia memiliki ”misi” yang khas. Kekhasan untuk mendapatkan ”kemuliaan”.

Tidak ada universalisme dalam kehidupan manusia. Manusia itu berbeda satu sama lain. Bukan berarti dengan perbedaan itu akan menjadi bahan pertentangan. Tidak ada yang baik dan buruk dalam hal perbedaan. Setiap orang harus memahami perbedaan. Perbedaan inilah yang menjadi warna keindahan kehidupan manusia. Nilai estetik hanya dapat diperoleh ketika seseorang dapat memahami perbedaan.

Tak heran jika ditemui seseorang memiliki ”wajah” yang berbeda-beda. Satu ”roh” di dalam ”wadag” yang berbeda-beda. Inilah contoh indahnya perbedaan. Bisa lebih fleksibel, beraneka ragam. Setiap perbedaan yang dimiliki oleh menusia bukan untuk melengkapi perbedaan yang dimiliki manusia lain. Manusia dilahirkan ke dunia ini sudah dalam kondisi yang lengkap. Tanpa satu kekurangan apapun. Inilah sisi lain untuk mendapatkan ”kemuliaan” itu tadi. Memahami perbedaan.

Oleh sebab itu, tidak boleh ada pengkotak-kotakan manusia. Entah dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, hobi, umur, berat badan, pekerjaan, pandangan hidup, sikap, dan lain sebagainya. Manusia itu berbeda. Tidak boleh dibeda-bedakan dengan mengklasifikasikannya.

Manusia itu adalah pribadi yang lepas. Bebas. Jika ada pribadi yang memiliki beban, itu karena pilihannya sendiri. Bukan didasarkan oleh kehendak Tuhan. Jika ada manusia yang menangguk beban suatu peribadatan agama, itu karena pilihan manusia itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia tidak ”gila” ingin disembah makhluk ciptaanNya sendiri. Tuhan itu membebaskan manusia. Manusialah yang menentukan pilihan. Karena manusia memang memiliki banyak pilihan. Dan, setiap pilihan memiliki beban dan konsekuensi masing-masing.

Setiap pilihan manusia akan berimbas kepada persoalan tertentu. Karena suatu pilihan, setiap manusia akan merasakan sesuatu, memikirkan sesuatu, mengatakan sesuatu, melakukan sesuatu, dan sesuatu-sesuatu yang lain, termasuk beban dan konsekuensi atas pilihannya itu.

Oleh karena itu, sastra tidak boleh memberikan pilihan kepada penikmatnya. Karya sastra harus sudah tuntas. Sudah lengkap, meski berbeda. Kenapa begitu? Karya sastra yang memberikan pilihan, yakni belum tuntas, belum lengkap, belum final, akan memberikan beban kepada kepada pembacanya. Bukankah setiap pilihan memiliki beban dan konsekuensi masing-masing. Karya sastra harus menghindari itu, karena karya sastra bukan beban untuk manusia. Manusia sudah memiliki banyak beban, meski itu atas pilihannya sendiri, jangan ditambah beban lagi.

Maka dari itu, karya sastra harus lepas dari tuntutan. Entah tuntutan ”ke dalam” maupun ”ke luar”. Entah berasal dari/kepada pengarangnya sendiri. Di samping itu, karya sastra juga tidak boleh dituntut. Karya sastra harus menjadi karya sastra itu sendiri. Yang bebas, endependence, tidak terikat terhadap suatu apapun. Tidak bercabang ataupun mendua.

Jalan keluarnya, karya sastra harus membawa dan memberikan pesan. Pesan dari, oleh, dan untuk manusia. Supaya manusia mengingat kembali hakekat manusia, nilai-nilai kemanusiaan, kekhasan manusia, misi suci untuk mencapai kemuliaan.
Jika pesan ini tak tersampaikan, juga bukan menjadi persoalan. Bukankah karya sastra tidak boleh menuntut.

Pada dasarnya manusia tidak memiliki hak dan kewajiban di dalam kehidupan di dunia ini. Manusia ”terjerembab” ke dalam persoalan hak dan kewajiban, itu disebabkan oleh pilihan manusia sendiri.

Dalam struktur karya sastra, hal itu diwujudkan ke dalam tema, tokoh dan penokohan, sudut pandang, latar, alur, konflik, dan pesan. Kesemuanya itu berorientasi kepada manusia yang memiliki kekhasan tentunya. Dalam hal tema, karya sastra haruslah bertemakan manusia. Apapun yang berkaitan dengan manusia yang hidup dalam realitas. Termasuk manusia dalam sejarah, bukan manusia dalam impian.

Dalam hal tokoh dan penokohan, setiap tokoh harus dapat mencerminkan pribadi dan karakter yang berbeda. Tokoh adalah gambaran manusia yang sudah lengkap. Ia dapat berkarakter berbeda-beda dan berubah-ubah, asalkan itu merupakan satu bagian tak terpisahkan dari satu tokoh.

Sementara sudut pandang mestilah dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap tokoh, dan terhadap suatu persoalan.

Latar harus dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap sesuatu yang berada di luar diri tokoh. Meski berada di luar, latar harus dapat memberi esensi terhadap tokoh. Tidak mbalelo terhadap keberadaan tokoh. Tidak mengingkari eksistensi tokoh sebagai penggambaran manusia yang utuh dan lengkap.

Alur tidak boleh bercabang ataupun mendua. Alur adalah sesuatu yang lurus. Tidak berbelok. Boleh maju ataupun mundur. Alur adalah sesuatu jalan yang tidak membingungkan. Meski ada kemisteriusan yang melingkupi, alur haruslah sesuatu yang lurus dan jelas jika dipandang secara keseluruhan.

Tidak ada komentar: