Rabu, 26 Agustus 2009

Dua Cerpen dalam Antologi Cerpen


Oleh Eko Pujiono

Dua Cerpen mahasiswa IKIP PGRI Semarang telah diterbitkan di dalam sebuah buku antologi cerpen berjudul Bila Bulan Jatuh Cinta. Keduanya mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Adalah Fitriani Kurniatun Chikmah lewat cerpen berjudul Bapak dan Setia Naka Andrian lewat cerpen Bukan Jelmaan Adam. Fitriani Kurniatun Chikmah adalah mahasiswi asal Bantarbolang, Pemalang, lahir 8 Juni 1987, dan sekarang ngekos di Karangtempel.
Sementara itu, Setia Naka Andrian lahir di Kendal, 4 Februari 1989. Naka, begitu sapaan akrabnya, pernah menjadi juara I penulisan puisi dan juara II penulisan cerpen dalam lomba yang digelar Hima PBSI. Sajak-sajak Naka kerap dimuat di majalah Ganesa, Kendal. Berikut ini ulasan terhadap cerpen dua teman kita ini.

Bapak
Menghitung “jasa” Bapak kepada anaknya. Itu yang hendak dilakukan Fitriani Kurniatun Chikmah (FKC) lewat cerpen Bapak. Bisakah? Tidak!
Penghitungan ini dianalogikan dengan tokoh “Aku” yang mencoba menghitung keriput di wajah dan helai uban di kepala bapaknya. Sungguh aku tak mampu menghitung walau jari-jari semua manusia di dunia ini kejadikan media.
Alur flashback yang digunakan FKC membuat sedikit bingung. Lompatan waktu yang begitu jauh dan cepat sedikit-banyak membuat otak berkonsentrasi untuk menghubungkan peristiwa satu dengan peristiwa lainnya dalam kurun waktu yang berbeda.
Jika jeli dan bersabar kita akan menemukan benang merahnya.
Bagi “Aku” sosok bapak pada awalnya adalah seseorang yang keras hati dan suka memaksakan kehendak. Seperti ketika “Aku” baru lulus SMK dan hendak merantau ke Jakarta, “Bapak” dengan tegas melarang. “Justru kalau kamu nggak mau kuliah, kamu ngerepotin Bapak!”
Sosok Bapak yang sangat mulia bagi “Aku” baru diketahui ketika masa kuliah. Aku kuliah di sebuah perguruan tinggi di kota yang sangat panas. Aku berpikir bahwa materi tanpa sebuah ilmu akan hampa. Dan Bapak pengin kedua sisi itu ada pada diriku kelak.
Dan, ketika “Aku” mengetahui bahwa Bapaknya mengusahakan biaya kuliahnya dari pinjam sana-sini dan hasil kerja keras Bapak dan Ibunya di sawah dan kebun menambah keyakinan itu. Bapak adalah sosok yang paling mulia bagi “Aku”.
Setelah lulus, menyandang gelar sarjana, dan telah bekerja, “Aku” hendak membalas semua jasa dan pengorbanan yang telah diberikan oleh Bapak kepadanya.
Kelemahan FKC dalam cerpen ini adalah penggunaan kata dan kalimat dalam dialog Bapak. KFC belum bisa membedakan dialog-dialog yang mestinya digunakan oleh seorang Bapak yang tinggal di kampung dan seseorang yang tinggal di kota. Dialog Bapak misalnya, menggunakan kata-kata: nggak, maafin, ngebahagiain. Dialog Bapak akan bisa lebih hidup jika menggunakan dialog yang memakai bahasa lokal kampung setempat. Hal ini akan mengangkat nilai lokalitas daerah setempat.
Meskipun begitu, cerpen ini telah mampu menyajikan obsesi seorang anak yang hendak membahagiakan orang tuanya. Dan, inilah obsesi FKC. Ingin membahagiakan kedua orang tuanya, khususnya Bapak.

Bukan Jelmaan Adam
Cerpen Bukan Jelmaan Adam (BJA) karya Setia Naka Andrian (SNA) dibuka dengan “puisi” in the sarangkatahati, tertanggal December 30, 2008. Dalam paragraf-paragraf selanjutnya, SNA menggunakan kata-kata puitis sebagai senjatanya.
Sebetulnya, ceritanya sederhana. Seorang laki-laki bernama Adam meminta putus dari Rani. Alasannya klise. Tidak direstui orang tua. Kedua orang tua Rani adalah keluarga yang terkenal paling terpandang di kampung.
Cerita ini mengingatkan kisah cinta Siti Nurbaya dan Samsul Bahri dalam novel Sitti Nurbaja dan kisah cinta Molek dengan Yasin dalam novel Dian Yang Tak Kunjung Padam karangan S.T. Alisjahbana. Bedanya, dalam kedua novel itu kisah cinta mereka berujung pada kematian dan tidak mengenal kata “putus”.
BJA mengenal kata itu. Adamlah yang memutus Rani pada suatu malam yang sepi di sebuah taman yang dikelilingi nyala lilin-lilin.
“Aku merasa tidak cocok buat kamu. Aku bukan orang yang tepat buat kamu (,) Rani. Masih banyak cowok lain yang lebih tampan dan lebih pantas buat kamu!”
Dengan nada “egois” BJA mengalihkan penyebab putusnya hubungan itu. Keputusan ini diambil karena memang Adam bukanlah “Adam” yang merajut cinta dengan Hawa. Aku bukan jelmaan Adam… yang mampu menanam cinta. Namun, bukan itu. Penyebabnya jelas sekali karena Rani berasal dari keluarga “mampu” dan Adam tidak.
Jika hubungan itu diteruskan, maka sama halnya dengan Adam harus rela diinjak-injak harga dirinya. Kau ingin mempermalukanku dan menjatuhkan bahkan menginjak-injak martabatku juga keluargaku di hadapan mereka?
Meski begitu, SNA berhasil dalam membuat simbol. Seperti, cinta yang disimbolkan sebagai nyala lilin dalam gelap malam. Karena nyala itu adalah perlambang dua jiwa yang menyatu. Symbol keagungan kesejatiannya. Begitu tulis SNA.
Sementara itu, malam diartikan sebagai teman bagi lilin. Penyempurna cahayanya. Bila tanpa malam pastilah nyala lilin takkan berarti apa-apa.
Bulan dan bintang “hanya” sebagai teman malam. Meski begitu, bulan dan bintang tidak dapat mengerti malam. Menurut SNA lewat tokoh Rani, malam itu kedamaian, penyempurna hari, di kala insan butuh perlindungan. Setelah terang begitu sombong dan terik yang selalu menyalahkan.
Dialog antar tokoh dalam BJA mengalir dan mudah dipahami, meski di beberapa bagian harus mengerutkan kening. Cerita ini tampaknya diilhami dari kisah percintaan Adam Hawa. Pada bagian awal, dialog Adam dan Rani tentang hubungan cinta Adam-Hawa sebagai pengantar. Sesudahnya, konflik dihadirkan lewat dialog. Pertentangan keinginan berimbas kepada kekecewaan.
Adam ingin menjadi “Adam”. Sayangnya, Adam tidak sekuat seperti “Adam” yang Rini kagumi. Memang Adam bukan jelmaan “Adam”. (Eko Pujiono)

Judul : Antologi Cerpen Bila Bulan Jatuh Cinta
Penerbit : Penerbit Gradasi
Tahun terbit : 2009
Tebal : 156 halaman

2 komentar:

Komunitas Sastra Lembah Kelelawar mengatakan...

sip, hehe
mas, yang antologi cerpenku kedua
"Bukan Perempuan" Obsesi Press STAIN Purwokerto minta di resensi juga gimana tuh?
hehe

Setia Naka Andrian mengatakan...

makasih