Sabtu, 15 Agustus 2009

Ngeker Musik Kontemplatif

Sebuah catatan dari Waroeng Diskusi 11 Juli 2009

MUSIK KONTEMPLATIF jika saya “keker-keker”, meminjam istilah Butet “Mas Clathu yang cluthak”, dari menyimak diskusi yang baru diselenggarakan oleh LPM Vokal IKIP PGRI Semarang di Gedung Perpustakaan IKIP PGRI Semarang, Sabtu (11/07), tak jauh beda dengan yang disebut sebagai musik alternatif. Mungkin ini pengertian yang sangat dangkal.

Seperti yang diungkap oleh Ramatyan Sarjono atau yang akrab disapa Pak Jon itu bahwa musik kontemplatif adalah musik yang mampu memberikan alternatif pilihan. Hal itu berangkat dari pendapat Drs. Nur Hidayat, M.Hum., mahasiswa S3 Susastra Universitas Gajah Mada, bahwa budaya massa yang secara radikal disuguhkan oleh televisi itu merupakan “antek” kapitalisme, telah menyajikan musik-musik yang telah “distandarkan”. Walhasil, mau tak mau penikmat musik dengan tanpa sadar menikmati musik yang seragam itu.

Oleh sebab itu, musik kontemplatif hadir untuk memberikan atau lebih tepatnya menawarkan suguhan alternatif untuk mengisi ruang dengar kita. Tak heran kiranya jika LPM Vokal dalam diskusi itu mengangkat tema “Musik Kontemplatif: Perlawanan terhadap Penyeragaman Selera Musik” karena dewasa ini menjamur tontonan musik di televisi yang menghadirkan musik “yang itu-itu saja”. Hal ini seperti yang disampaikan oleh saudara saya Bima Nanda yang pada kesempatan itu didaulat sebagai Ketua Panitia.

Membincang tentang makna musik kontemplatif itu sendiri, tampaknya di dalam diskusi ini belum ditemukan definisi yang pas. Pak Jon misalnya, masih nggrayangi beberapa pengertian yang dilontarkan oleh beberapa friend-nya di FB (facebook). Sementara, Pak Nur yang mantan Dekan FPBS IKIP PGRI Semarang itu langsung “Jogja” (jujug saja) dengan memutar musik-musik dari sederetan nama musisi—dari yang namanya sudah terkenal seperti Indra Lesmana hingga yang namanya asing di telinga. Hingga saya dan peserta diskusi akan berpikir, “O, musik kontemplatif itu yang seperti itu to?”

Meski begitu, asyik juga mendengar penuturan Pak Nur yang di luar dugaan itu. Tak disangka-sangka orang sekelas Pak Harjito, Kajur PBSID, terkagum pula terhadap kepiawaian Pak Nur dalam menguraikan banyak aspek dalam musik. Memang sangat jelas sekali bahwa referensi musik Pak Nur sangat melimpah. Kaset, CD, VCD hingga DVD, dari musisi lokal hingga yang luar, dari yang terkenal hingga yang belum pernah terdengar, dengan senang hati Pak Nur mau memperdengarkan kepada para peserta diskusi. “Daftar pustaka” yang dicomot oleh Pak Nur pun melimpah. Dia mengutip banyak pendapat tokoh. Dari Sujiwo Tejo, MH Ainun Najib hingga orang luar negeri yang saya sendiri tidak tahu siapa.

Pak Nur menggarisbawahi bahwa musik kontemplatif adalah musik yang dapat memberikan ruang kepada pendengarnya untuk dapat mengapresiasikannya. Mengutip pendapat Sujiwo Tejo, Pak Nur menuturkan bahwa sebenarnya musik barat itu tidak ada apa-apanya dibanding musik orang timur. Jika dilukiskan, musik orang timur, termasuk bangsa Indonesia, merupakan khazanah yang luar biasa, namun sayangnya belum digali secara optimal. Bisa dibilang musik kita (Indonesia) merupakan harta karun yang masih tersimpan di dalam goa-goa tempat manusia purba pernah tinggal (wah, ini saya lebaikan).
Tak kalah, Pak Jon membawa brayat-nya dari Jepara sana. Pak Jon memperkenalkan group musik bentukannya tiga tahun silam yang telah mengisi berbagai macam acara dari acara tingkat TK hingga Perguruan Tinggi, acara hajatan hingga sekelas festival. Nama group itu adalah MPU PALMAN BAMBOO'S INSTRUMENT.

Dalam sesi Tanya jawab, tak kalah seru. Tiga penanya, Mas Supriyanto, Naka, dan Jarum langsung memberondong kedua pembicara. Ketiga orang ini saya kenal sebagai beberapa dari sekian aktivis kampus. Naka misalnya, dia bergelut di Teater Gema dan anggota aktif Forum Lingkar Pena (FLP), sekaligus komandan group musik Disket Mayor (saya belum mendengar musiknya yang di-FB disebutnya beraliran Rock berembel-embel). Sementara Jarum sudah terkenal kiprahnya sebagai Ketua Hima Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Naka mengilustrasikan sekelompok orang yang bepenampilan seragam sedang berjalan ke arah utara dan ada seorang berpenampilan nyeleneh berjalan ke selatan. Ilustrasi ini tampaknya dia gunakan bagi Mpu Palman yang berani “beda”. Pada kesempatan itu group Mpu Palman mendendangkan sebuah lagu berjudul “Gambang Semarang”, sebuah lagu yang sudah sangat terkenal pada masanya dan bagi saya lagu ini sangat nglaras jika didengarkan sambil leyeh-leyeh.

Bagi Pak Jon, apa yang dilontarkan oleh Naka itu tidak salah adanya, tapi dengan satu catatan bahwa “beda” itu harus memiliki konsep yang jelas. Seperti group musik yang menggunakan kesemua alat musik terbuat dari bambu itu yang mencoba mengusung mocopatan yang diselaraskan dengan budaya pesisir. Jika tidak berkonsep maka kritikus musik pasti bakal “membabat”-nya dengan kritikan yang pasti sangat pedas. Soal nada, group ini menggunakan Laras Slenco, yang memang nyelenco dari Laras Slendro seperti pada gamelan pada umumnya.

Dengan pasti, Jarum mempertanyakan wujud perlawanan yang bisa diusung oleh musik kontemplatif. Padahal, menurutnya ada semacam efek domino berupa paradoks yang selama ini sudah terbentuk sangat kuat. Di satu sisi memang ada penyeragaman semacam itu, di sisi lain memang selera pendengar musik kita sukanya kepada jenis musik seperti yang dibawakan group band Wali, Kangen, Matta, dan CS-nya, yang seragam itu.

Menjawab pertanyaan ini kedua pembicara sepaham bahwa perlawanan yang dapat dilakukan terhadap penyeragaman selera musik, ya, dengan menawarkan alternatif musik yang benar-benar beda. Karena soal selera setiap orang memiliki kebebasan untuk memilihnya. Apakah mengikuti arus penyeragaman itu atau “melawan” dengan mendengarkan lagu-lagu “alternatif” yang bervariasi itu?
Kini, tinggal telinga kita mau mendengarkan yang mana.

Bagi saya banyak pilihan itu memang baik, meski terkadang membuat banyak orang menjadi sebuah dilema. Namun, saya yakin, pilihan akan menjadikan orang berpikir kritis. Dengan begitu, kita bisa menentukan mana musik “sampah” dan mana musik yang menginspirasi.

Jangan sampai anak-anak kecil cepat dewasa hanya gara-gara mendengar musik yang itu-itu terus. Sungguh celaka jika anak kecil sudah paham “Ketahuan, Selingkuh Sekali Saja, terus Cinta Terlarang, dsb.” Wah, bisa ruyam urusannya.

Sungguh sayang sekali musik-musik yang dibawakan musisi tanah air, seperti Guruh Gipsy, Iwan Fals, Indra Lesmana, Crisye, Sujiwo Tejo, Dwiki Dharmawan, Kla Project, dan “musisi tua” lainnya tidak silih berganti menghiasi layar kaca kita atau diputar di radio-radio. Jika tidak ada pilihan, siapapun itu, jelek sekalipun pasti mau mendengarkannya. Hal ini juga berlaku tidak hanya soal musik. Istilah lain, wedus dipupuri pasti banyak yang mau jika tidak ada pilihan lain. Mungkin suatu saat nanti suara ompreng bocor akan menjadi alunan musik yang sangat indah jika tidak ada pilihan musik lainnya.

Masih menjadi pertanyaan: apakah musik pop alternatif, rock alternatif, dangdut alternatif, keroncong alternatif, rebana alternatif, dan musik-musik alternatif lainnya tergolong ke dalam musik kontemplatif?
Wah, jadi ingat, entah ini kata siapa, bahwa musik kontemplatif itu yang bisa bikin manggut-manggut bukan geleng-geleng. Atau seperti kata Pak Nur bahwa musik kontemplatif itu yang dapat menyusun tenaga, bukan menghabiskan tenaga ketika mendengarkannya.

Biar tidak begitu bingung, oke…, tetap jaga kesehatan telinga biar tetap bisa jalan-jalan sambil mendengarkan musik. Pokoknya, Mak Nyosss. Salam dari saya, Ekopollac. Saya yang pakai kaos kuning ketika acara diskusi. Melawan penyeragaman pakaian, he…he…he…

Rentale Mas Ali, 12 Juli 2009 pukul 00:00

Tidak ada komentar: