Kamis, 27 Agustus 2009

BIRU di SAVANA

Oleh Eko Pujiono

“Pernahkah kamu keliru dalam mengartikan mengenai sesuatu?” tanya seekor burung elang kepada teman akrabnya, kelinci.

“Misalnya?”

“Soal cinta, aku tak paham apa sejatinya itu cinta.”

“Akupun sama. Ibuku tak pernah memberitahuku apa itu cinta. Kemudian guruku di sekolah dulu juga tak pernah menerangkan apa pengertian dari cinta.”

“Memangnya kamu pernah sekolah?”

“Kayaknya pernah. Pernah nggak ya? Kamu pernah lihat aku sekolah?”

Keduanya tertawa terbahak-bahak. Burung elang dan kelinci sedari dulu sudah berteman akrab. Tempat favorit mereka untuk bertemu adalah di pohon ini. Pohon yang hanya satu-satunya di tengah padang rumput yang terhampar hijau warnanya. Sebenarnya masih banyak pohon lain tumbuh di areal savana ini. Namun, pohon-pohon itu tumbuh di pinggiran padang, di lereng bukit yang tidak jauh di sisi padang luas ini, dimana sang surya kembali ke peraduannya.

Padang ini nampak asri. Di sebelah bukit adalah air mengalir dari sumber mata air yang mancur dari celah-celah bebatuan dari dalam lorong goa yang menyeruak ke dalam bukit itu. Airnya jernih, mengalir. Bukit kecil membawa air itu ke tempat yang lebih jauh dan lebih rendah posisinya.

Biasa, kedua sahabat antara elang dan kelinci melepas penat di pohon ini. Pohon yang tidak cukup rindang, karena memang kecil untuk ukuran pohon-pohon lain di hutan sana. Pohon ini hanya cukup menopang tubuh elang yang mlangkring di salah satu cabangnya. Sedangkan si kelinci—karena tidak bisa manjat pohon—duduk asyik di bawahnya. Di tanah yang sekelilingnya penuh rumput hijau sambil mengunyah-ngunyah beberapa untuk mengemil.

Oh ya, elang berjenis kelamin jantan dan kelinci berjenis kelamin betina. Untuk ukuran manusia, usianya baru menginjak usia remaja. Baru puber. Sejak kecil, keduanya sudah bersahabat. Mereka masih bertetangga. Si kelinci tinggal di balik semak di pinggir padang, dekat parit yang mengalirkan air. Sedangkan si elang tinggal di hutan. Awalnya, keduanya sering kali bertemu. Saat elang diajari induknya untuk terbang dan si kelinci diajari induknya berlari dengan lompatan-lompatan.
“Elang, kamu sedang jatuh cinta?” teriak kelinci setelah beberapa saat keduannya terdiam, membuncahkan suasana.

“Jatuh cinta? Aku tak tahu.”

“Kamu naksir siapa?”

“Aku tak tahu, aku bingung, aku tidak bisa mengungkapkan apa-apa. Perasaanku saja yang selalu memikirkan tentang seekor betina yang nantinya akan menelorkan dan menetaskan darah keturunanku. Tapi dia kan saudaraku.”

“Sudah memang seperti itu kan. Kita harus kawin dengan sejenisnya.”

“Tapi itu apakah ada unsur cinta? Aku mengartikan cinta adalah pangkal dari kebahagiaan. Tanpa cinta, apakah akan diperoleh bahagia?”

Si kelinci menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil seperti mendelik matanya, menelan rumput yang telah dikunyahnya. Kelinci terkenal dengan kecerdasan dan kelincahannya. Tak heran, si elang selalu minta arahan tentang berbagai hal. Seperti kali ini. Si elang setelah diberitahu oleh ibunya akan dikawinkan dengan saudaranya oleh bapaknya. Sebelum dipaksa bapaknya, elang diminta dengan baik-baik oleh ibunya.

Semalam si elang baru diberi tahu. Elang kaget harus berbuat apa. Menolak dengan melawan atau menerima dengan tulus ikhlas sebagai tanda balas budi terhadap apa yang selama ini diberikan oleh kedua orang tuanya kepadanya.

“Hmm…, aku tak bisa berpikir soal itu,” jawab kelinci dengan menunduk. “Mungkin aku akan mengalami hal yang sama seperti kamu nanti.”

“Kamu tahu kan saudaraku, sudah ingusan, tak pernah dandan, bulunya acak-acakan. Pokoknya mirip gelandangan deh.”

“Ya, aku tahu. Malah dia suka berak dan kencing sembarangan.”
“Terus, apa sejatinya arti cinta?”

“Entahlah,” si kelinci menghela, “aku juga sedang mencari pengetahuan tentangnya. Yang pasti, menurutku cinta bukan hanya sebuah kata, apalagi ungkapan. Cinta bukan hanya perasaan, pertautan rasa. Cinta adalah universal, universal cinta, cinta universal.”

“Maksudnya?”

“Kamu pikir, jangan hanya nanya doang. Aku juga mikir.”

Si kelinci menggaruk-garuk kepalanya. Si elang juga nampak berpikir. Angin padang rumput ingi juga berpikir. Angin berlalu-lalang dengan santainya. Sepoi yang terasa. Sengat mentari disapu oleh angin. Suara alam memaki sang terik lewat ceceruit binatang yang bersautan. Elang dan kelinci masih berpikir. Matanya kian belok ke kanan-kiri, ke ats-bawah, ke depan-belakang, ke semua penjuru mata angin. Hela nafaspun kian banyak terdengar. Mentari pun enggan menyaksikan pemandangan ini, apalagi dia dimaki-maki penghuni bumi, maka ia berangsur menggelincir ke ufuk barat. Keringatnya bercucuran. Tapi sayang tidak dijatuhkan lewat hujan yang sudah dinanti-nanti penghuni padang ini.

“Begini,” kelinci mencoba menjelaskan, ”cinta universal-universal cinta artinya setiap makhluk memiliki cinta dan merasakan cinta. Setiap waktu, setiap saat, di manapun tempatnya berada.”

“Terus?”

“Pernahkah kamu berpikir bahwa apa yang diberikan dan dilakukan oleh orang tua kita, dari kita bayi sampai seperti ini adalah perwujudan dari cinta. Mereka, orang tua kita, merawat, memberi makan, menyediakan tempat tinggal, membekali kita dengan ilmu, melatih untuk tetap hidup, mempertahankan hidup, mendidik, dan sebagainya. Tanpa memiliki cinta, apakah dengan ikhlas, rela melakukan itu semua kepada kita.”

“Apakah cinta hanya seperti itu? Hanya dari orang tua kepada anaknya.”

“Tidak! Sudah kubilang cinta itu universal. Menurutku cinta adalah pangkal dan muara dari semua hal. Dari yang kita pikirkan, yang kita rasakan, yang kita perbuat. Pokoknya semua yang menyangkut kita sebagai makhluk. Misalnya, ada perasaan benci, marah terhadap manusia yang suka menebang pohon secara membabi buta, memburu dan memangsa kita. Itu karena perasaan cinta kita terhadap kelangsungan kehidupan kita dan masa depan anak cucu kita.”

“Jadi cinta dapat juga diartikan hidup. Tanpa cinta berarti tidak hidup. Mempertahankan cinta berarti mempertahankan kelangsungan hidup kita. Bukankah begitu?”

“Lebih dari itu. Cinta juga yang akan mewarnai, memperindah dan memperkaya makana akan hidup kita ini. Bukan hanya milik kita pribadi, tapi juga apa yang ada di sekitar kita, termasuk anak cucu kita nantinya.”

“Aku jadi tak mengerti.”

“Begitulah cinta, tidak perlu harus dipahami, apalagi dimengerti. Cinta adalah pangkal dan muara segala hal. Karena cinta, ada rasa suka, bahagia meletup-letup, cemburu, marah benci, posesive, minder, malu, takut, muak, jijik, rindu, rasa menggangngu, menyakitkan, bodoh, cerdik, licik, pandai, jujur, bohong, khianat, amanah, sombong, dan semua hal yang lain. Semuanya ada di cinta.”

“Aku jadi bingung.”

“Bingung juga pangkal dari cinta. Kamu memikirkan cinta, kamu jadi bingung, muser-muser kepala, tujuh keliling muternya.”

“Ternyata sudah sore ya, tak terasa. Kira-kira masih ada tentang cinta yang dapat kamu sampaikan padaku.”

“Masih! Tapi aku tak tahu darimana aku akan mengawalinya dan kapan aku mengakhirinya. Lebih baik dicukupkan.”

Si kelinci langsung melompat-lompat menuju sarangnya. Si elang mengepakkan sayapnya. Terbang menuju hutan, tempat ia tinggal.

*******

Elang jadi menikah dengan saudaranya. Pesta kecil diadakan. Cukup meriah. Keduanya langsung membuat sarang, bulan madu, kawin. Bertelor dan mengeram. Pada saatnya telor-telornya menetas dan bayi elang yang merah keluar dari cangkang telornya. Si elang menjadi bapak. Perasaannya bahagia penuh suka cita. Ia pergi ke pohon di tengah padang untuk memberitahukannya kepada sahabatnya, si kelinci. Tapi si kelinci tak ada. Elang menunggu lama, tetap tak nampak si kelinci.Esoknya elang datang lagi dan tak jumpa dengan kelinci. Esoknya lagi. Esoknya lagi. Esoknya lagi. Tetap tidak berjumpa dengan kelinci. Sampai anaknya sudah cukup besar.

Terhadap anaknya, elang mulai dibuat kerepotan. Anaknya makannya mulai bertambah banyak. Sementara ular yang sebagai makanan pokoknya sudah mulai langka didapat. Elang bertambah bingung ketika pulang tidak membawa makanan hasil buruan. Anaknya merengek-rengek, menangis dengan suara melengking sangat kerasnya. Elang hanya bisa melepas sedikit bingungnya dengan mlangkring di pohon di tengah padang. Tapi, kawannya tetap tidak dijumpainya. Padahal ia ingin mencurahkan segala gundah isi perasaannya, kebingungannya.

Sore selepas hujan mengguyur padang rumput ini, kelinci nampak bercengkerama dengan air yang membasahi tubuhnya, di bawah pohon. Ia mengibas-ibaskan tubuhnya. Beberapa saat kemudian elang datang langsung mlangkring di salah satu cabang yang sudah biasa biasa digunakan untuk menunggu kelinci sehari-harinya.

“Apa kabar elang?” tanya kelinci, “sudah lama kita tak bertemu.”

“Sayang, kabar baik tidak ada menyertai diriku.”

“Ada apa?” tanya kelinci lagi dengan kaget.

“Banyak hal terjadi padaku. Tapi, aku ingin meminta sesuatu padamu.”

“Apa?”

“Aku butuh cinta darimu.”

“Apa kamu gila? Aku kelinci, kamu elang.”

“Tidak! Aku waras. Aku butuh cinta darimu untuk kelangsungan hidup anak-anakku, istriku dan aku sendiri yang sedari kemarin belum makan. Ular sudah tidak dapat aku temui. Aku mau cinta darimu.”

“Maksudmu?,” kelinci terbata-bata dan ketakutan. Ia memutuskan untuk berlari meninggalkan elang secepatnya. Ya, secepatnya.

Mata elang menjadi merah. Tajam. Naluri memburu kian memuncak dengan sasaran si kelinci. Sayapnya ia kepakkan dengan kuatnya. Segera iapun meluncur terbang mengejar kelinci. Yang dikejar berkelit dengan berbelok kesana kemari. Kelinci ingin menuju sarangnya. Kiranya disana akan aman. Menyadari akan apa yang akan dialakukan kelinci, elang semakin beringas. Ia mempercepat dan mempertegas laju terbangnya. Cakar-cakarnya sudah disiapkan dalam posisi mencengkeram. Tajam. Dan, “Creppp.” Cakar itu menghujam ke dalam tubuh kelinci. Kelinci itu mengerang kesakitan. Sakit oleh luka dari cakar elang, lebih sakit lagi perasaan yang dirasakan atas perbuatan sahabatnya sendiri.

“Kenapa kamu tega berbuat seperti ini padaku, sahabatmu sendiri?”

“Semua berpangkal dan bermuara dari cinta, seperti apa yang kamu jelaskan padaku dulu.”

“Kamu salah.”

“Salah juga pangkal dari cinta.”

Luka di tubuh kelinci mengeluarkan darah merah segar begitu banyaknya. Kelincipun mulai megap-megap. Nafasnya tak beraturan. Matanya membuyar tatapannya. Hampir gelap sekelilingnya. Tapi, ia masih tetap dengan jelas mengamati roman muka elang yang penuh dengan suka cita dan gembira.

“Elang,” kelinci berujar, “kamu terlalu egois menyoal cinta.” Kemudian dirasakannya semua menjadi gelap pekat. Si kelinci telah mati. Kelinci telah menjadi bangkai.
Maka segera bangkai itu dibawa terbang menuju sarang elang. Dipotong kecil-kecil dengan paruh elang yang sangat tajam. Potongan itu kemudian disuapkan kepada anak-anaknya. Sangat lahap. Istrinyapun ikut makan dengan lahap. Bangkai itu beberapa saat hampir habis dimakan dengan penuh lahap. Si elang yang juga sudah sangat lapar berkeinginan untuk memakan bangkai itu, biarpun itu kawannya sendiri. Malah elang juga lahap. Semuanya lahap. Hingga akhirnya tinggal kulit tempat melekat bulu kelinci dan tulang belulangnya saja yang tersisa. Sejak saat itu, kelinci menjadi makanan favorit elang. Elang selalu terngiang setiap memakan daging kelinci akan ungkapan dari kelinci sahabatnya, “Semua berpangkal dan bermuara dari cinta.”

Padang Syarifah, 17 Oktober 2006.

Tidak ada komentar: