Kamis, 27 Agustus 2009

Dia Anak Siapa?

Cerpen Eko Pujiono


“DIA ANAK SIAPA?” tanyaku, sepenuh pertanyaan. Mencari jawaban darimu, hai, kekasihku. Aku duduk di sampingmu, di samping dia.

Tiada kau jawab. Jawabanmu hanyalah bisu. Kelu. Kau hanya terbaring saja. Di salah satu ranjang sebuah rumah sakit yang khusus menangani persalinan. Kau terbaring. Tiada kau jawab pertanyaanku. Aku sudah menunggu. Tidak kau ucap sepatah katapun. Tanganmu hanya sibuk mengelus pipi bayi merah itu. Dia, terbaring di sampingmu. Di kanan-kirinya, guling kecil sebagai pembatas. Pipinya halus seperti pipimu.

Kutunggu jawaban. Masih tidak ada. Kini kusaksikan kau memainkan bibir kecil itu. Milik dia. Mirip punyamu. Dia, manusia kecil yang berselimutkan kain putih. Dia terpejam. Kulihat dia menggerakkan kepalanya. Terlihat seperti menggeleng. Masih kamu mainkan bibir kecil itu dengan jarimu. Bibir kecil milik dia, kau mainkan. Sama seperti kau bermain-main dengan pertanyaanku.

“Anak siapa dia?” kuulangi pertanyaan itu.

Pertanyaan yang sama, namun berbeda struktur kalimat. Perlakukan sama aku terima. Kau tidak menjawab. Menggerakkan bibir pun tidak. Tatapan matamu hanya ke langit-langit ruangan. Warnanya putih. Lalu, ke tubuh kecil yang terbungkus kain itu. Warnanya juga putih. Hanya beberapa kali kau arahkan pandangamu kepada diriku. Laki-laki yang sudah memacari kamu selama tiga tahun. Tidak kurang.

Aku masih menunggu jawaban. Beberapa patah kata kunantikan keluar dari mulutmu. Mulut yang memiliki bibir sama seperti milik dia. Aku mohon, satu kata saja. Biar aku puas. Biar aku bisa bertanya menggunakan pertanyaan lain. Pertanyaan yang berbeda. Supaya dapat kukuak siapa sejatinya dia. Bayi merah itu.
Kutaksir-taksir, tinggi dia hanya tiga puluh centimeter. Beratnya pun tak lebih dari dua setengah kilogram. Dia itu kecil. Pendek. Kira-kira sama sepertimu kalau sudah besar. Kulitnya putih. Sama seperti kulitmu.
Setelah puas kau mainkan bibir kecil itu, lalu berpindah ke hidung. Hidung yang mungil. Tidak mancung. Tidak pula pesek. Bisa dibilang proporsional. Persis sama seperti hidungmu. Eksotis. Memesona. Hidungmu adalah bagian dirimu yang membuat aku jatuh cinta. Hidungmu sama seperti hidung dia. Bayi kecil itu. Dia yang sedang tertidur di sampingmu. Dalam jangkauanmu. Dia yang dalam lindunganmu.

“Siapa dia?” tanyaku lagi.

Ayo jawab. Jangan hanya diam. Jawab, dia itu anakmu. Dari siapa? Laki-laki mana yang menidurimu? Siapa orang yang menelanjangimu? Membuka pakaianmu satu per satu. Membuka kancing bajumu. Melepasnya kemudian membuang ke lantai. Membuka rok panjangmu. Terlebih dahulu melepas kait rok dan menurunkan resliting itu.
Kemudian, laki-laki itu menikmati tubuhmu yang hanya berbalut BH dan cawat. Memelototi tubuh indahmu. Lalu, melepas BH dan cawat itu. Membuangnya ke lantai. Laki-laki itu juga telanjang. Melepaskan pakaiannya sendiri. Membuang ke lantai. Pakaian kalian berserakan.

Laki-laki itu menciumimu penuh nafsu. Di pipi, di dahi, di hidung, di bibir, di leher, di ... Di seluruh tubuh. Tidak terkecuali. Dan, tubuh yang putih itu, yang mulus itu, direngkuh. Penuh nafsu. Hanya nafsu!
Dimana kalian melakukan itu? Pastinya, di sebuah ruang tertutup. Tersembunyi dari norma-norma. Yang kedap suara sehingga tidak terdengar teriakan moralitas. Yang terdengar hanya lenguhanmu dan laki-laki itu. Bernafsu!
“Dia siapa?” tanyaku dengan pikiran yang mulai kacau.

Bagai bensin disulut api. Meledak. Namun, tidak seperti bom 11 September. Hanya letupan kecil. Hampir mirip mercon. Hanya letupan pikiran yang mulai kacau.

Lagi-lagi tidak kau jawab. Malah seolah tidak kau hiraukan. Aku hanya ingin tahu siapa bapak dia. Siapa yang telah menghamilimu?

Dari tadi kau hanya sibuk mengelus dia. Tanpa menghiraukanku. Pertanyaan-pertanyaan yang butuh jawaban darimu. Kini, kau mengelus alisnya dengan jari tengah tangan kananmu. Kau memiringkan badan. Menghadap bayi kecil itu yang berada di sebelah kirimu. Berbatasan dengan guling kecil. Kau elus alis bayi ituyang berwarna hitam, tebal, dan halus. Sama seperti alismu. Keduanya, alis punyamu dan alis punya dia, bak rembulan sabit tanggal muda.

Elusanmu turun ke kelopak mata dia yang sedang tertutup. Elusan dengan sangat lembut. Dari yang kiri, pindah ke yang kanan. Begitu terus. Hingga tanpa sengaja, elusan jari tengah tangan kananmu membangunkan bayi itu.
Kelompak matanya terbuka. Didahului tangisan khas bayi, namun hanya sebentar. Hanya dua sampai tiga detik.
”Cup... cup... cup... cup...” begitu ujarmu menghentikan tangisan anak kecil itu.

Itu ujaranmu yang aku dengar setelah lama kau membisu. Itu jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Apakah itu sebuah jawaban? Ahh, setidaknya kamu sudah mulai mau berujar. Mau mengeluarkan suara. Pasti sudah kelu tenggorokkanmu menahan diam.

Astaga! Mata anak kecil itu persis seperti matamu. Sorot matanya jernih, sejernih sorot matamu. Matanya bening, sebening matamu. Lensa matanya hitam, sehitam lensa matamu. Bulat. Sama seperti matamu. Pokoknya sama persis.
“Anak siapa?” tanyaku lagi dengan penuh harapan kamu mau menjawab.

Beritahu aku siapa nama laki-laki itu? Satu orangkah? Dua orang? Atau berapa? Kau sudah berhubungan badan dengan siapa saja. Jika kamu takut aku bakal menghajar laki-laki bejat itu, beritahu inisialnya saja. Dimana alamat rumahnya.

“Siapa?” tanyaku lagi dengan memohon kamu mau menjawab.

Aku ini kekasihmu. Tidakkah kau percaya akan cintaku. Akan kasih sayangku. Aku benar-benar cinta dan sayang kepadamu. Beritahu aku. Kamu melakukan itu atas dasar suka sama suka atau kamu dipaksa. Diperkosa. Oleh satu orang laki-laki atau beramai-ramai.

“Anak...?” tanyaku lagi, tapi aku sangsi akan kau jawab.

Oleh sebab itu, tidak aku tuntaskan kalimat tanya itu. Toh, lagi-lagi kamu tak akan jawab. Namun, arah pandangan matamu, pandangan mata yang sama seperti bayi kecil itu, kamu arahkan ke mataku. Sejurus, arah pandangan mata kita sebidang. Kita saling tatap. Tanpa bicara. Hening. Hanya terdengar tarikan dan helaan nafasku, nafasmu, dan nafas dia. Udara berebut menyesaki paru-paruku, paru-parumu, dan paru-paru dia.

“Dia...?” sambil kutunjuk bayi kecil itu. Tetap pandangan mataku dan matamu sebidang. Kau mulai sedikit demi sedikit buka mulut. Agak bergetar bibirmu. Bibir yang sama persis seperti bibir bayi kecil itu. Tiba-tiba matamu berkaca. Selang beberapa menit kemudian, tetesan mata yang putih itu tumpah dari matamu yang mirip dengan mata bayi kecil itu. Kau masih tetap tak memberikan jawaban. Bibirmu saja yang semakin hebat bergetar.
“Dia anak siapa?” kuulangi pertanyaanku. Tentunya aku tuntaskan kalimat tanyaku. Dengan kalimat yang memiliki struktur kalimat tanya yang lengkap.

Harapanku mendapatkan jawaban darimu kian terbuka. Mulutmu semakin membuka. Semakin bergetar. Masih tanpa suara. Berangsur-angsur kupandangi matamu yang sama dengan mata bayi kecil itu. Bibir, hidung, alis... Kupandangi wajahmu sama saja kupandangi wajah bayi kecil itu.

”Dia anakmu...,” jawabmu terbata, kemudian kamu balik bertanya, ”masih ingatkah kau waktu itu, di tempat itu?”

Kakiku bergetar. Semakin berat kaki ini menopang tubuhku. Di kepalaku berkelebat bayang-bayang itu. Waktu itu di tempat itu... Sembilan bulan lalu sebelum aku pergi jauh, di ... Di ruang rumah sakit ini aku dan kamu baru bertemu kembali. Ada dia...

Tidak usah kau jawab, ”Dia anak siapa?”


Semarang, 31 Desember 2008 (Untuk Hana dari mimpi 281208)

Tidak ada komentar: